Masjid merupakan bangunan yang didirikan sebagai tempat untuk umat Islam dapat menjalankan segenap kewajiban atau peribadatannya. Oleh karena masjid merupakan tempat peribadatan umat Islam, maka masjid harusnya dirawat, dijaga dan dilengkapi segenap fasilitas-fasilitas yang dapat menunjang keperluan untuk beribadah. Allah SWT dalam Al-Qur’an telah berfirman.
اِنَّمَا يَعْمُرُ مَسٰجِدَ اللّٰهِ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ وَلَمْ يَخْشَ اِلَّا اللّٰهَ ۗفَعَسٰٓى اُولٰۤىِٕكَ اَنْ يَّكُوْنُوْا مِنَ الْمُهْتَدِيْنَ
Artinya: “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta (tetap) melaksanakan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada apa pun) kecuali kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS at-Taubah (9): 18)
Dengan demikian maka menjaga, merawat, dan melengkapi segenap fasilitas masjdi untuk menunjang kegiatan ibadah umat Islam sendiri dianjurkan oleh Allah SWT. Akan tetapi, terdapat salah satu masjid yang memiliki keunikan tersendiri jika kita mencoba melihat sejarahnya. Masjid tersebut adalah Masjid Baitul Muttaqin Kutorejo yang terletak di Kabupaten Mojokerto.
Masjid Baitul Muttaqin Kutorejo, selain dikenal sebagai tempat peribadatan umat Islam, ternyata dalam sejarahnya, tempat ini mengandung nilai toleransi beragama yang ada di baliknya. Masjid ini terletak di Kecamatan Kutorejo, tepatnya di Jl. Mayjen H. Soemadi No. 61, Dsn. Sambisari, Ds. Jatisari, Kec. Kutorejo, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur (61383).
Tepat di depan bagian masjid ini terdapat salah satu monumen pejuang asli Kutorejo. Monumen tersebut adalah Monumen Perjuangan Kompi Macan Putih atau Kompi Soemadi. Mayjen H. Soemadi (1925-1988) merupakan salah satu pejuang militer yang berafiliasi dengan Pasukan Pembela Tanah Air (PETA) di Surabaya. Sebagai upaya mengenang dan menghormati jasa-jasanya, masyarakat membuat monumen dan memberi nama jalan dengan nama Mayjen H. Soemadi.
Sebelum berganti nama menjadi Masjid Baitul Muttaqin, masjid ini memiliki nama yang unik, yaitu Masjid Onderan. Nama Onderan diambil dari nama kecamatan yang saat pemerintahan zaman Belanda. Kecamatan Kutorejo pada zaman Belanda memiliki nama Onder Distrik atau oleh masyarakat Jawa setempat disebut dengan nama Onderan.
Distrik Onderan Kutorejo didirikan pada tahun 1902, tepatnya saat pemerintah Kabupaten Mojokerto memindahkan pusat pemerintahan dari yang awalnya berada di onder distrik Madiopuro, Mojosari Kidul menjadi pusat pemerintahan di Onder Distrik Koetoeredjo. Meskipun sepertinya dipindahkan, distrik Onderan Kutorejo masih menjadi bagian dari distrik Mojosari.
Sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Jawa pada zaman dahulu bahwa dalam mendirikan masjid tidak dapat dijauhkan dari pusat pemerintahan desa. Maka sama halnya yang dilakukan dalam membangun Masjid Onderan ini. Masjid Onderan ini memiliki jarak 50 meter di sebelah Timur dari pusat pemerintahan Kecamatan Kutorejo pada masa itu. Namun dalam perkembangannya, pusat pemerintahan kecamatan Kutorejo dipindahkan di sebelah Timur Masjid dengan jarak sekitar 100 m.
Masjid yang dulunya bernama Onderan ini memiliki fasilitas yang lengkap layaknya masjid-masjid besar biasanya. Masjid tersebut dulunya memiliki menara tinggi yang berada di sebelah utara masjid. Selain masjid tersebut memiliki nilai sejarah yang telah didirikan sejak zaman Belanda, masjid tersebut memiliki cerita unik yang sering kali dihubungkan dengan nilai toleransi beragama.
Konon, terdapat keuarga Tionghoa dari daerah Kapasan, Surabaya yang turut memberikan kontribusi pada masjid tersebut berupa bantuan materi dan mimbar. Keluarga Tionghoa tersebut sering kali disebut sebagai keluarga The Boen Keh. Mimbar yang diberikan oleh keluarga The Boen Keh tersebut memiliki bahan dasar kayu jati, yang mana kualitasnya tidak dapat diragukan lagi.
Mimbar yang awalnya digunakan oleh Keluarga The Boen Keh sebagai meja atau altar sembahyang memiliki hiasan ornamen dengan bentuk naga yang melilit dari bagian bawah kanan dan kiri kaki mimbar.
Di sisi lain, bagian tersebut saling bertemu hingga membentuk setengah lingkaran. Ornamen yang demikian merupakan salah satu nilai yang khas yang hanya dimiliki oleh keluarga Tionghoa saat itu. Sumbangan yang diberikan oleh keluarga The Boen Keh tersebut sering kali dijadikan wujud dari toleransi beragama yang ada pada saat itu.
Akan tetapi, setelah masjid tersebut diganti dengan nama Masjid Baitul Muttaqin Kutorejo, seketika itu juga hiasan ornamen khas Tionghoa tersebut dihilangkan dengan cara dipotong kepalanya dan menyisakan bagian badan hingga ekornya saja. Hal ini dilakukan karena atas dasar ajaran agama Islam saat itu yang tidak membolehkan adanya bentuk makhluk sebagai hiasan untuk mencegah adanya pemberhalaan. Selain mimbar, menara yang berada di sebelah utara Masjid Baitul Muttaqin tersebut juga dibongkar dan dilakukan renovasi.
Meskipun demikian, mimbar pemberian keluarga The Boen Keh tersebut masih digunakan hingga saat ini dan tidak dirubah dengan mimbar yang lain sebagai bukti bahwa mimbar tersebut adalah pemberian dari keluarga dari Tiongkok. Masyarakat Kutorejo juga tidak pernah mempermasalahkan bahkan mengharamkan adanya mimbar tersebut. Dengan demikian, adanya mimbar tersebut merupakan salah satu bukti perwujudan toleransi, dari masa lalu hingga saat ini.