Sebagai Rasul terakhir, Nabi Muhammad mengemban misi yang sangat berat. Selain diutus untuk menyempurnakan akhlak, Nabi Muhammad juga menjadi manusia terakhir bagi umat Muslim, yang dijadikan sebagai patokan dalam berhujjah masalah agama.
Nabi Muhammad sendiri mulai diangkat menjadi Rasul ketika berumur 40 tahun, tepatnya 15 tahun setelah beliau mengarungi bahtera rumah tangga dengan Sayyidah Khadijah. Naiknya Nabi Muhammad sebagai Rasul sendiri, ditandai dengan wahyu pertama yang beliau terima melalui malaikat Jibril.
Diceritakan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Urwah bin Zubair dari Sayyidah Aisyah, Nabi Muhammad mendapatkan wahyu ketika beliau sedang ber-tahannust (mengasingkan diri untuk beribadah kepada Allah) dalam gua Hira’, sebuah gua yang terletak di gunung Hira’, Makkah. Wahyu pertama yang turun ini merupakan sebuah titik tumpu dari proses penyempurnaan agama Islam, dan dalam fenomena proses turunnya wahyu yang pertama ini, ada beberapa catatan yang menarik untuk kita renungkan bersama.
Orisinilitas Wahyu
Pada peristiwa turunnya wahyu yang pertama, sebelum malaikat Jibril (selaku pembawa wahyu ilahi) menyampaikan pesanan dari sang khaliq, malaikat Jibril berujar kepada nabi, “iqra’ (bacalah!)’”, lantas nabi pun menjawab dengan balasan “mā anā bi-qāri’ (aku bukanlah orang yang dapat membaca).”
Setelah mendengar jawaban tersebut, malaikat Jibril pun memegang dan mendekap nabi sejenak, lantas mengulangi ujaran yang sama hingga tiga kali, dan Nabi pun menjawabnya dengan jawaban yang sama. Baru setelah itu, malaikat Jibril membaca serta mengajari nabi perihal wahyu yang disampaikan, yakni surah al-Alaq ayat 1-5.
Ujaran iqra’ dari malaikat Jibril yang diulang hingga tiga kali, serta jawaban nabi yang menyatakan bahwa beliau adalah orang yang tidak dapat membaca tersebut, memberikan gambaran bahwa malaikat Jibril dalam feneomena tersebut sedang memberikan penegasan bahwa Nabi Muhammad adalah sosok yang tuna aksara (tidak dapat membaca dan menulis).
Kondisi Nabi Muhammad yang tuna aksara (dalam bahasa Arab: ummī) ini memberikan indikasi bahwa wahyu dari malaikat Jibril yang kemudian disampaikan oleh Nabi Muhammad kepada para sahabat tidak mungkin salah atau bahkan direkayasa oleh Nabi Muhammad, karena beliau sendiri tidak dapat menulis ataupun membaca.
Hemat penulis, wahyu yang disampaikan oleh Nabi Muhammad merupakan murni wahyu dari Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril, sehingga tidak ada keraguan sama sekali didalamnya, seperti halnya yang diwahyukan oleh Allah dalam surah al-Baqarah ayat 2, dzālika al-kitāb lā rayba fīh.
Teladan Sayyidah Khadijah
Dalam proses turunnya wahyu yang pertama ini, ada bagian yang seringkali dipandang sebagai hal yang biasa saja, namun sebetulnya memiliki esensi yang mendalam ketika diulas lebih jauh. Bagian tersebut adalah ketika Nabi Muhammad turun dari gua Hira dengan kondisi sekujur tubuh yang menggigil dan dibalut rasa ketakutan seusai menerima wahyu dari malaikat Jibril.
Sesampainya di rumah, ketika Sayyidah Khadijah sudah berdiri di depan Nabi, nabi bersabda “Zammilūnī, Zammilūnī (Selimuti aku, selimuti aku)” (Dalam syarh kitab Shahīh Bukhārī, Fath al-Bārī, disebutkan bahwa yang dimaksud khitob jama’ dalam kalimat zammiluu disini adalah ahlun nabi, yang dalam peristiwa ini merujuk pada Sayyidah Khadijah). Lantas Sayyidah Khadijah memeluk dan menenangkan nabi hingga (diceritakan dalam riwayat hadist) ketakutan nabi pun menjadi hilang.
Bagian ini menunjukkan begitu hebatnya Sayyidah Khadijah sebagai istri nabi. Tanpa kehadiran seorang Khadijah, Nabi Muhammad mungkin saja akan larut dalam ketakukannya sepanjang malam. Tanpa keberadaan Khadijah, Nabi Muhammad mungkin kebingungan akan wahyu yang beliau terima.
Sebuah perilaku yang patut diteladani oleh kaum hawa yang telah menyandang status sebagai seorang istri, dimana ketika sang suami didekap suatu masalah, maka seorang istri harus menjadi orang pertama yang memasang badan untuk menenangkan suami, bukan malah acuh ataupun memperkeruh suasana. [MZ]