Bandara Juanda ramai seperti biasanya. Mim tak bisa lagi menyembunyikan sedihnya. Sekuat tenaga ia tahan air mata itu, tapi akhirnya luruh juga. Ia peluk bapaknya erat-erat. Berusaha memantapkan hatinya. Keberangkatannya ke Jakarta sudah dipikirkannya masak-masak. Sudah ditimbang lebih kurangnya.
Sudah saatnya mengepakkan sayap. Bukan untuk sekadar pergi, tapi memulai perjalanan mencari makna diri. Bukan untuk menghindar, tapi berikhtiar menjadikan diri lebih besar.
Hidup sekali, harus jadi pemberani, begitu selalu pesan bapaknya.
Pak Dullah melepas pelukan Mim.
“Malu dilihat orang. Anak perawan kok gembeng.”
“Bapak jangan terlalu banyak merokok.” Mim bicara sambil menyeka air matanya.
Pak Dullah hanya menjawab dengan tertawa kecil. Berusaha menyimpan rasa kehilangan itu sedalam-dalamnya. Siapa orangnya yang tidak bakal bersedih. Bakal ditinggal pergi jauh anak semata wayang. Anak yang jadi cahaya mata. Hiburan dari segala kesedihan hidup yang datang susul menyusul bagai riak gelombang.
“Mim akan sering-sering telepon Bapak,” mata Mim masih membasah.
“Iya. Kalau ada apa-apa, langsung telepon bapak. Kalau tidak kerasan, segera pulang.”
Mim mengangguk. Lalu mengambil tangan bapaknya. Ia cium bolak balik, lalu berpamitan lagi. Kali ini tanpa menangis lagi, Mim melangkah berputar menuju pintu masuk calon penumpang. Pak Dullah berdiri mematung di situ, melihat lurus punggung putrinya memasuki ruang check in hingga kemudian berbelok dan tak terlihat lagi.
_______________
Sudah beberapa hari Alif tidak berangkat ke kampus. Berjam-jam ia duduk dengan gusar di depan komputer yang layarnya tetap putih, tak terisi apa-apa sejak tadi dinyalakan. Obrolan bersama ayahnya dalam perjalanan menuju Jogja membuat ia kehilangan semangat membereskan kuliah cepat-cepat.
“Segera selesaikan kuliahmu. Ayah setuju!”
Kalimat itu terus terngiang-ngiang dalam kepalanya. Ada apa dengan orang-orang tua ini. Boleh saja meeka tidak setuju kepada pilihan anak-anaknya, tapi mbok ya jangan begini caranya. Belum lagi berhasil mencari cara agar hubungan dengan Mim direstui, eh sekarang muncul Ranti.
Siapa yang tidak tahu kalau Ranti cantik dan menarik. Laki-laki pengidap trakhoma pun tahu itu. Tapi…di dunia ini ada Mim. Lagipula, Alif selalu menganggap Ranti adiknya sendiri. Mana mungkin bisa ia berhubungan kawin mawin dengan perempuan yang sejak kecil ia anggap sebagai saudara sedarah. Pening di kepala Alif makin bertambah derajatnya.
Cahaya pemandu di dalam hati itu terkibas-kibas angin. Ia tergoda oleh padam. Ingin sekali menyelamatkan nyalanya. Agar cinta yang sudah terbangun tidak menjadi sia-sia. Alif jatuh tertidur. Hati dan pikirannya kepayahan.
_______________
Mim memasuki ruang kantornya dengan degup jantung yang berlebihan. Ini hari pertamanya masuk kerja. Sebuah kantor media dan penerbitan yang sedang tumbuh pesat. Berisi anak-anak muda kreatif dan bertalenta.
Mim merasa sangat bersyukur bisa bergabung di perusahaan ini. Tanpa tes yang ribet, hanya wawancara kecil dan tugas menulis esai cepat dengan waktu 30 menit, ia dinyatakan lolos seleksi. Sebagai copy editor.
Mim masih asyik melihat-lihat pajangan cover-cover buku ukuran raksasa yang dipasang dengan cantik di tembok ruang lobby. Di tangan para ahli, semuanya terasa pas. Tembok biru muda itu dihidupi gambar-gambar bernuansa serba oranye. Biru dan Oranye. The complimentary color. Saling bertabrakan tapi menyatu. Sederhana tapi indah.
Sebuah langkah kaki yang mendekat mengejutkan Mim. Ia segera mengambil sikap siap sedia. Jangan sampai ia dianggap gagal di hari pertama kerja hanya gara-gara sikap teledor dan minim respons terhadap lingkungan di sekeliling.
“Hamimah Latifah?” perempuan itu menyapa dengan ramah. Mim mengangguk dan langsung menyodorkan tangannya untuk bersalaman. Namanya Nora. Ia staf di bagian Human Capital Development.
“Yuk ikut saya.” Nora bicara sambil melangkah memasuki pintu di belakang mereka. Mereka berjalan melewati sebuah koridor yang dibatasi ruang-ruang kaca. “Itu ruang editor. Nanti ruanganmu di situ. Tapi sekarang saya akan mengajakmu ketemu chief editor dulu. Kamu sudah ditunggu,” Nora terus berjalan dan Mim mengikuti di belakangnya.
Ruangan yang mereka tuju ternyata tidak tertutup. Benar kata Nora, Mim sudah ditunggu. Si pemilik ruangan itu sudah langsung menyambut saat keduanya baru berada di depan pintu.
“Silakan masuk.” Lelaki itu berjalan dari samping mejanya menuju arah pintu.
Nora mengangguk. Mim mengikuti.
“Arfan.” laki-laki muda berpenampilan rapi itu mengangsurkan tangan, mengajak Mim bersalaman.
Arfan? Mim langsung teringat Uwak Semarang dan bapaknya. Dan rencana perjodohan itu.
Nora menyenggol pinggang Mim dengan lembut. Membuyarkan apa yang sedang Mim pikirkan.
“Ha.. mimah,” Mim tak bisa menutupi kegugupannya. Arfan mempersilakan Mim duduk. Nora memohon izin meninggalkan ruangan.
“Welcome to Jakarta,” Arfan membuka kalimat setelah mereka berdua duduk berseberangan di sofa tamu.
“Apa kabar Pak Lik di Surabaya?” Arfan bertanya lagi.
“Alhamdulillah baik,” Mim menjawab sekenanya. Bibirnya tiba-tiba terasa kelu.
“Selamat bekerja. Semoga kerasan,” Arfan bicara sambil memencet nomor telepon. Tak lama kemudian Nora datang dan mengantarkan Mim menuju ruangan dan meja tempatnya bekerja.
Mengenalkannya kepada beberapa teman sedivisi dan menunjukkan beberapa ruangan yang berhubungan dengan pekerjaan Mim. Setelah itu gadis berkacamata itu balik lagi ke ruangannya.
Siang itu Mim belum mengerjakan tugas apapun. Ia dudu diam di depan meja kubik tempatnya bekerja. Raganya di Jakarta. Tapi pikirannya terbang ke Jogja. Tiba-tiba ia merindukan Alif. Bersambung… (AA)