Mim buru-buru membuka tas punggung yang ia taruh dekat kaki di bawah meja. Mengambil dompet di saku tas bagian dalam. Nora sudah berteriak memanggilnya. Menunggunya di lorong, untuk menuju kantin bersama-sama. Sempat Mim ingin membereskan buku dan benda-benda lain di atas mejanya, namun urung. Panggilan Nora untuk yang ketiga kali membuatnya langsung melesat menuju arah suara.
Ia harus sampai sebelum gadis itu merangkul pundaknya erat-erat sambil berceramah konyol tentang kerasnya hidup di Jakarta dan ancaman kubur bagi orang-orang yang suka membuat temannya menunggu dan menyepelekan waktu.
Sudah empat bulan Mim di Jakarta. Baginya, Nora adalah makhluk paling menyenangkan nomor satu di ibukota. Dia menjadi guide yang baik untuk setiap urusan yang Mim belum tahu. Mulai dari cara cepat menghafal peta Jakarta yang ruwet bak rimba raya, mengenal tempat-tempat makan yang nikmat di lidah tapi tidak berbuat aniaya pada dompet, serta mengenalkan karakter-karakter teman di ruang editor dan di ruang-ruang yang lain. Mim sering berpikir, Nora hadir untuk menggantikan keberadaan Ranti yang jauh dari jangkauan.
_______________
Mim baru saja menghilang dari ruang editor ketika pintu ruangan chief editor terbuka. Arfan muncul dari pintu itu, lalu berjalan menuju meja kubik Mim. Sejak pagi ia merencanakan mengajak gadis itu keluar. Ada sebuah festival buku paling bergengsi di Jakarta. Mim harus datang melihat.
Keberhasilan seorang calon editor pilih tanding, satu di antaranya, diukur dari keluasan pandangannya dalam melihat tren dan pasar buku. Hanya itu alasannya? Tentu saja tidak. Arfan ingin mengajak Mim makan siang.
Sudah empat bulan Mim bekerja di menjadi anak buahnya. Namun baru dua kali Arfan berhasil mengajaknya keluar makan. Itu pun tidak berdua. Ada Nora yang ikut ngintil sebagai obyek pelengkap penderita.
Arfan memang sengaja tidak memaksa. Siapa yang mencintai, harus bersabar. Ia ingat pesan ayahnya agar mendekati Mim dengan sabar. Tak perlu meroyakkan hatinya dengan sikap yang tergesa-gesa ingin memiliki.
Kalau sekarang belum mau, itu bukan berarti sungguh-sungguh tidak mau. Kadang perempuan tak kunjung mengangguk bukan karena benar-benar tidak menyukai. Tapi karena ia ingin diambil dan dimiliki dengan penuh perjuangan.
Menjangan bisa berlari cepat melebihi singa. Tapi tak ada kisah singa yang gagal menangkap menjangan. Kenapa? Karena singa sanggup menunggu dengan sabar. Menanti momentum yang paling tepat untuk bergerak dan mematikan.
Arfan tersenyum sendiri membayangkan perburuannya. Mim cantik dan menarik. Lentik serupa menjangan di depan singa yang menanti saat yang pasti.
Senyum Arfan seketika melenyap sesampai di meja kubik Mim. Layar monitor masih menyala. Mim terlihat sedang menyelesaikan proses proof reading sebuah naskah buku yang sebentar lagi masuk cetak.
Sebuah mug putih berpinggang ramping berisi teh berada tidak jauh dari mouse di bagian kanan meja. Pensil tegeletak di atas keyboard. Dan….. sebuah binder note biru yang terbuka halamannya.
Yang jauh bukan berarti tak ada
Yang sepi belum tentu tanpa suara
Tahu kau apa yang paling mengikat selain pukat?
Dialah kenangan dalam cinta yang samar samar
Dan tak diikat
Jemputlah aku kemari.
Rindu memang belum tentu
Tapi…
Menunggumu itu pasti.
Arfan seketika mengambil buku cantik itu dengan kasar. Ia baca halaman demi halaman di dalamnya. Semakin membaca, semakin remuk redam dadanya. Semakin tahu, semakin dia merasa tidak ingin tahu.
Ia letakkan binder note biru muda itu sembarangan. Masuk ke dalam ruangannya. Mengunci pintunya dari dalam dan tidak keluar hingga semua pegawai saling berpamitan pulang.
_______________
Mim kembali ke meja kubiknya dengan perasaan heran. Benda-benda di atas mejanya berubah posisi sembarangan. Ia duduk. Mengatur nafas sebentar. Lalu kembali memeriksa detil-detil daerah kekuasaannya.
Ia berusaha menduga apa yang baru saja terjadi di situ. Siapa yang mengakses meja kerjanya tanpa seizinnya? Ia memeriksa sekali lagi barang-barang di mejanya. Dan, seketika ia menunduk saat mengetahui binder note biru kesayangannya tergeletak rapi di atas tumpukan buku-bukunya yang lain. Ia ingat, saat Nora memanggil ia sedang menulis di lembaran-lembaran itu. Lalu ia tinggal begitu saja dalam keadaan terbuka.
Mim seketika tahu apa yang baru saja terjadi. Ia memutar balik arah pandangnya ke ruang itu. Yang sedang tertutup pintunya.
Chief editor.
_______________
Oya, apa kabar Ranti?
Sejak kepergian Mim ke Jakarta, Ranti merasa kehilangan partner in crime. Kehilangan mitra dalam melakukan hal yang seru-seru. Dan yang pasti, Ranti merasa kehilangan seorang sahabat.
Mim pergi begitu saja. Tanpa pamit. Bahkan sekadar memberi kabar pun tidak. Mim sengaja pergi diam-diam untuk menghindarinya. Setiap kali dihubungi nomor tidak aktif. Dikirimi pesan pendek tidak pernah dijawab. Berulang-ulang Ranti memikirkan hal ini.
Kehilangan Mim bukan perkara remeh. Mereka bersahabat sedari kecil hingga dewasa. Beberapa kali memang muncul pertengkaran kecil karena sebab-sebab remeh. Tapi itu segera pulih dalam hitungan jam saja. Semakin remaja keduanya makin klop. Cekcok masa kanak-kanak sudah tidak pernah lagi muncul. Kalau ada satu dua hal yang tidak sinkron satu sama lain, keduanya memilih tidak menjadikan itu sebagai bahan pertengkaran.
Tapi kali ini Ranti merasa ada yang berbeda. Sama sekali berbeda. Mim benar-benar seperti ingin menjauh. Padahal, ada banyak hal yang ingin ia ceritakan kepada Mim. Banyak hal. Banyak hal yang Mim tidak tahu. Ranti menyeka air matanya sendiri.
Dua orang seorang suster masuk ruangan. Mereka datang membawa meja beroda berisi nampan stainless steel. Satu orang merapikan meja, seorang lagi bertugas meletakkannya nampan berisi makanan itu di atas meja yang sudah rapi.
“Mbak Miranti harus makan. Biar cepat sembuh,” suster itu tersenyum. Ranti mengangguk. Wajahnya layu.
Satu suster yang lain mendekati kedua orang tua Ranti. Mereka bicara pelan. Dengan suara yang disengaja agar tidak sampai ke telinga Ranti. Kedua orang tua Ranti mengangguk-angguk tanpa semangat.
“Sejam lagi dokter akan melakukan visite,” itu saja kata yang didengar Ranti.
Bersambung… (AA)