Said Hoedaini Pemimpin Redaksi TV9 dan Penikmat Sastra

Alif dan Mim (4): Rindu, Meja Makan, dan Impian Seorang Bapak

3 min read

Hari menjelang sore. Mim turun dari bus. Tiga setengah jam perjalanan dalam bus yang berjejal penumpang lumayan mengundang rasa pegal dan sedikit kesemutan di kaki. Terminal itu tidak terlalu ramai. Hanya ada tiga bus antar kota antar provinsi. Angkot-angkot juga tidak sebanyak biasanya. Becak ada di ujung luar terminal. Tapi jumlahnya tak sampai sepuluh. Sebagian becak tampak ditunggui pemiliknya sambil tidur-tiduran atau tidur sungguhan. Sebagian lagi tampak kosong tanpa orang. Mungkin pemiliknya sedang ngopi di warung geber tak jauh-jauh dari situ.

Mim baru saja hendak melompat kecil melewati parit saat suara itu memanggilnya. Suara Pak Dullah, bapaknya. Mim menoleh lalu melambaikan tangan tanda ia mendengar panggilan itu. Ia setengah berlari menuju arah bapaknya.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam.”

Mim mengambil tangan bapaknya, lalu menciumnya dengan takzim.

“Sudah lama Bapak nunggu?”

“Enggak. Cuma lima belas menit.”

Mim menggandeng tangan bapaknya. Mereka berjalan menuju parkiran motor. Masih ada 10 kilometer lagi jarak yang harus ditempuh untuk sampai di kampung mereka.

“Kamu sudah makan?”

“Belum, Pak. Tapi Mim belum lapar. Kalau Bapak mau makan di warung, Mim temani.”

Sang bapak menggeleng.

“Gini aja, Pak. Habis ini kita mampir warung sebentar, lalu pulang. Mim masakkan buat Bapak. Kita makan di rumah saja.

________________

Selepas Isya’ semuanya sudah terhidang di atas meja. Nasi, sayur sop, mujair goreng, tempe goreng, dan sambal terasi. Kedua ayah-anak itu menikmati makan malam segembira orang sedang berbuka puasa. Semenjak Mim masuk kampus jadi mahasiswa, kesempatan makan bersama dalam satu meja dengan bapaknya makin jarang. Paling kalau Mim punya kesempatan pulang. Itu pun tidak selalu. Karena itu saat ada kesempatan mereka berdua menikmatinya berlama-lama. Hingga makanan di meja itu tandas keduanya masih duduk jenak di situ. Bapak-anak berdua. Tanpa ibu.

Baca Juga  Justru dalam Perspektif “Kitab Kuning”, Turki Usmani Tidak Memenuhi Standar Kualifikasi Kekhilafahan

“Bagaimana persiapan wisudamu?”

“Alhamdulillah lancar, Pak”

Pak Dullah menyulut rokok. Menyedot. Lalu mengeluarkan asapnya pelan-pelan. Mim menutup separo wajahnya dengan ujung jilbab.

“Bapak jangan merokok terus,” mulut Mim mencegah tapi tangannya spontan mendekatkan asbak ke arah bapaknya.

Pak Dullah mengangguk saja. Tak menjawab kalimat putrinya. Ia malah berbicara hal lain.

“Setelah wisuda mau apa?”

Mim tidak tahu harus menjawab apa untuk pertanyaan ini. Ia sendiri bahkan belum punya rencana apa-apa setelah lulus. Seperti sebagian temannya yang lain, ia ingin menikmati sebentar masa terbebas dari tugas-tugas dan rutinitas kuliah yang menjemukan.

Ia kepingin mencoba leyeh-leyeh, tidur mbangkong di jam-jam ketika orang lain berangkat kerja, anak-anak kecil berangkat sekolah, dan mahasiwa semester awal tergopoh-gopoh menuju kampus karena ketinggalan masuk kuliah di jam pertama.

Sempat juga terpikir iseng-iseng mencari beasiswa kuliah lagi, tapi itu bisa ditunda dua hingga tiga bulan selepas proyek leyeh-leyeh ditunaikan. Menikah? Hemm…menarik juga itu.

“Belum tahu, Pak.” Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulut Mim. Ia memilih kalimat paling aman. Daripada harus menjelaskan hal lain yang ruwet-ruwet.

Pak Dullah manggut-manggut. Setelah menuntaskan sedotannya yang terakhir, ia mematikan rokok. Mengadu ujung tembakau yang masih menyala dengan dasar asbak.

“Kalau ada waktu, setelah wisuda Bapak kepingin mengajakmu pergi ke Semarang.”

“Semarang?”

“Iya. Jalan-jalan ke rumah uwakmu di sana.”

“Uwak siapa?”

“Ada sepupu jauh Bapak. Kangen, sudah lama sekali tidak ketemu.”

“Kok bapak tidak pernah bercerita punya sepupu di Semarang.”

“Lha ini kan cerita. Malah sambil langsung ngajak ke tempatnya pula,” Pak Dullah tersenyum. Menggoda anak perempuan semata wayangnya.

“Ah tumben-tumbenan Bapak mengajak jalan-jalan jauh. Pasti ada apa-apanya ini.”

Baca Juga  Nasionalisme Menurut KH Bisri Mustofa dalam Tafsir al-Ibriz

Pak Dullah tertawa lebar. Mim menatap ayahnya dengan pandangan sebal karena merasa dipermainkan.

“Uwakmu yang di Semarang baru pulang dari haji. Ayah kepingin menyambangi. Siapa tahu dapat oleh-oleh sajadah Turki dan kurma ajwa.” Pak Dullah tertawa lagi.

“Kalau Bapak enggak jelas seperti ini, aku ndak mau ikut ke Semarang,” Mim merajuk.

Bapaknya menjawabnya dengan tertawa kecil. Mim makin cemberut.

“Kamu ingat Arfan?”

“Duh, siapa lagi Arfan? Tadi uwak, sekarang Arfan.

“Nah betul. Arfan adalah sulung uwakmu. Dia baru setengah tahun pulang dari Yaman.”

“Pak…sama uwak saja aku lupa, enggak kenal. Sekarang malah ditanya anaknya.”

Pak Dullah kembali tertawa. Malam itu Mim makin sebal saja kepada bapaknya.

“Bapak maunya apa sih?” calon wisudawati itu mulai tidak sabar.

“Kan sudah dibilang tadi, Bapak mau mengajakmu jalan-jalan ke Semarang.”

Mim mencubit keras-keras tangan bapaknya. Pak Dullah tertawa ngakak.

________________

Mim melangkah masuk kamar setelah membereskan piring dan gelas kotor sisa makan malam. Seusai salat Isya ia mengecek handphone di meja. Tak ada pesan masuk. Termasuk dari Alif. Mim meletakkan kembali ponselnya dengan gusar.

Seharusnya Alif menelepon atau mengirim pesan malam itu. Walaupun tidak sampai menunjukkan rasa khawatir, ya paling tidak menanyakan apakah dia sudah sampai apa belum. Berangkat jam berapa? Sampai jam berapa? Siapa yang menjemput? Ah, tahu begitu ia tidak perlu pamit kepada Alif kalau mau pulang. Mubazir.

Mim ingin bercerita tentang ajakan bapaknya pergi ke Semarang. Tentang uwak yang baru diceritakan bapaknya. Juga tentang Arfan yang katanya anak sulung uwaknya dan baru pulang dari taman.. Eh Yaman.

Mim ingin bercerita. Ingin berbagi. Dan kalau mungkin ditambah keluh kesah sedikit.

Baca Juga  Nuzul al-Qur’an: Mukjizat Hadir di Bulan Ramadan (Bag-2 Habis)

Ia naik ke kasur. Mengambil posisi seperti orang mati. Tubuh tegak lurus dan tangan bersedekap. Memejamkan mata. Fokus. Mim mencoba mengirim pesan lewat gerak lembut jagat raya. Seperti dalam film dan cerita-cerita. Siapa tahu bisa.

Diam. Tak ada gerakan.

Setengah jam kemudian. Handphone di atas maja bergetar tanpa suara. Silent mode. Bergetar lagi hingga berkali-kali.

Mim sudah lelap. Bersambung… (AA)

Said Hoedaini Pemimpin Redaksi TV9 dan Penikmat Sastra

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *