Sudah puluhan kali handphone itu berbunyi. Panggilan tidak terjawab. Juga pesan pendek tidak berbalas. Jangankan dibalas, dibuka saja tidak. Mim meletakkan begitu saja barang pabrikan Korea itu di atas kasur. Tidak jauh dari tubuhnya yang meringkuk setengah tenggelam di antara bantal, guling dan selimut.
Mim tahu pasti siapa pengirim pesan pendek itu. Karena itu ia enggan membukanya. Mim juga bisa menduga siapa pemilik nomor asing yang berkali-kali ngotot ingin meneleponnya pagi itu. Ia ingin mendekam saja di dalam kamar. Menikmati hari pertama seusai wisuda. Tak perlu terburu-buru. Stempel ijazah masih basah. Biarkan untuk sementara jadi pajangan cantik di kamar.
Bapaknya sudah pulang kampung sore selepas wisuda. Seharusnya Mim bisa menikmati hari itu sebagai hari pertama kemerdekaannya dengan gembira. Tapi nyatanya tidak. Ia harus meringkuk di kamar seharian. Menumpahkan segela kekesalan hatinya dengan menangis sampai puas. Mim tiba-tiba merasa patah hati.
Selepas wisuda seharusnya hubungannya dengan Alif naik kelas. Mulai membicarakan pokok-pokok yang lebih serius. Mulai memikirkan impian-impian klise tapi romantis jika dibincangkan berdua. Tentang rumah kecil yang asri, dekat masjid agar bisa selalu ikut salat berjamaah dan menikmati jalan pagi Subuh selepas keramas.
Atau tentang berapa jumlah anak yang ideal buat mereka berdua. Mim ingin dua saja. Sesuai program dan anjuran pemerintah. Alif ingin empat. Katanya biar seru dan ramai. Selain itu, ia percaya adagium banyak anak banyak rezeki. Keduanya ngotot. Tidak ada yang mengalah. Negosiasi buntu. Deadlock. Satu-satunya solusi adalah kompromi. Dua anak memang cukup. Empat anak jelas lebih seru.Tapi, tiga anak lebih baik. Ok. Deal!
Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Semuanya pupus. Bayangan yang elok-elok itu rantas tak dinyana.
_____________
Mim berdiri bersandar di pintu kamar dengan lesu saat Ranti datang selepas Magrib hari itu. Niat hati ingin merayakan gembira setelah sahabatnya diwisuda, Ranti justru mendapati Mim muncul dengan penampakan muka kusut dua puluh empat karat.
“Sudah makan?” Ranti memulai obrolan setelah bersalaman dan ritual cipika-cipiki.
Mim menatap wajah sahabatnya.
“Awalnya kepingin mengajakmu makan di luar. Tapi sepertinya sedang terjadi perang dunia ketiga.” Ranti mencoba melucu, tapi mukanya bertahan serius.
“Aku males makan.” Mim menjawab ogah-ogahan.
“Tak dulang ta (tak suapin kah), Bubur Milna, mau?”
“Aku bukan bayi.”
“Bukan bayi tapi kok nangisan?”
Mau tak mau Mim tertawa. Dalam suasana-suasana genting kadang Ranti bisa berubah jadi makhluk ajaib yang tidak terduga. Kadang badut. Kadang tukang sulap. Kadang juga bisa jadi hewan-hewan yang menggemaskan.
Mim berjalan keluar kamar menuju kamar mandi. Membasuh mukanya dengan air dingin. Berharap sembab di matanya bisa berkurang.
___________________
Keduanya menuju Amigos. Tempat makan favorit bagi para mahasiswa. Bisa makan sekalian nongkrong, menikmati ngobrol berjam-jam, dan bisa pulang tanpa khawatir kantong menjadi tipis seketika.
“Mim kamu tahu, apa artinya Amigos?”
“Enggak.”
“Ini dulu warung tenda pinggir jalan. Berkembang besar jadi seperti sekarang. Amigos itu singkatan.” Jelas Ranti.
“Apa?”
“Amigos. Agak Minggir Got Sedikit.”
Untuk kedua kalinya hari ini Ranti membuatnya tertawa.
“Mottonya, harganya dijamin, rasa belum tentu.”
Keduanya tertawa. Beberapa pembeli warung melihat Mim dan Ranti dengan bertanya-tanya.
___________________
Setelah menuntaskan makan malam Mim dan Ranti melanjutkan obrolan. Hampir semuanya tidak penting. Ranti sengaja menjaga suasana agar Mim tetap happy malam itu. Ia tahu sahabatnya butuh dihibur dan ditenangkan.
“Ran,”
Tiba-tiba Mim serius.
“Alif kenapa?”
“Hah, apa?” Ranti tergeragap tidak tahu harus menjawab apa.
“Ran, Alif kenapa?” ulang Mim.
“Setahuku dia baik-baik saja. Memangnya kenapa? Bukannya seharusnya kamu lebih tahu daripada aku?”
“Aku bertanya karena aku tidak tahu.”
“Begini-begini…sebenarnya apa yang terjadi dengan hubungan kalian?”
“Aku baik-baik saja. Tapi sepertinya Alif tidak.” Mim menopang dagu dengan kedua tangannya yang menggenggam.
“Maksudmu?”
“Selain denganku, Alif tidak sedang dekat dengan perempuan lain kan?”
___________________
Alif, pemuda yang sedang dibicarakan kedua gadis itu ada di rumah. Ia sedang duduk bertentangan dengan ayahnya di meja makan. Wajahnya tegang. Menunggu. Yang di seberang meja juga begitu. Bapak-anak sedang bercatur dengan dengan pikirannya sendiri-sendiri.
Akhirnya Alif memberanikan diri memulai. Sesuatu yang selama ini sangat jarang ia lakukan. Berbicara dengan ayahnya butuh energi khusus. Sejak kecil ia terbiasa menyelesaikan hampir semua perkara dengan ibu. Ayahnya hanya sesekali turun tangan jika itu menyangkut perkara-perkara besar. Kalau tidak, di tangan ibu semuanya sudah cukup.
Tapi kali ini berbeda. Alif merasa harus bicara dengan ayahnya. Ini urusan penting. Urusan masa depan. Alif merapal salawat dalam hati sebelum akhirnya berani memulai.
“Ayah belum cerita, kenapa melarang Alif pergi Surabaya?”
“Ayah tidak melarangmu pergi ke Surabaya.” Pak Dahlan menatap wajah anaknya lurus-lurus.
Baru kali ini Alif berani menatap ayahnya satu lawan satu.
“Ayah cuma melarangmu menghadiri wisuda anak gadis orang.”
“Kenapa ayah melarang?”
“Bukan saudara, bukan famili. Kenapa dibela-bela pulang dari Jogja?” Kata Pak Dahlan enteng.
Alif menangkupkan kedua tanganya, menutup separo mukanya dari hidung ke bawah. Menjawab salah. Tidak menjawab juga salah.
“Dikuliahkan jauh-jauh, pandangannya terkunci di kampung sendiri.”
Alif makin tidak tahu harus bicara apa.
“Apakah tidak ada yang lebih baik di Jogja sana?” bersambung… (AA)