Pada 6 April lalu, Sekretaris-Jenderal PBB, António Guterres memberikan pernyataan tentang Kekerasan Berbasis Gender dan Covid-19. Dalam pernyataannya, Antonio mengingatkan bahwa kekerasan tidak terbatas pada medan perang saja. Bagi banyak perempuan dan anak perempuan, ancaman kekerasan paling besar adalah di mana mereka seharusnya paling aman, yaitu di rumah mereka sendiri. Pernyataan ini terkait dengan kebijakan di rumah saja yang diberlakukan berbagai negara untuk menanggulangi pandemic Covid-19. Bagi perempuan dan anak perempuan, kondisi ini tidak hanya melawan Covid-19 tapi sekaligus juga melawan potensi kekerasan dalam rumah tangga.
Tidak amannya rumah bagi perempuan dan anak perempuan, dalam konteks Indonesia, bisa merujuk ke Catahu Komnas Perempuan. Komnas Perempuan mencatat pada tahun 2019, terdapat 11.105 kekerasan di ranah rumah tangga/relasi personal, atau 75% dari kesuluruhan kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan Terhadap Istri (KTI) menempati peringkat pertama yaitu mencapai 6.555 kasus (59%), disusul kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 2.341 kasus (21%). Kekerasan terhadap anak perempuan di tahun ini meningkat dibanding tahun 2018, mengalahkan kekerasan dalam pacaran 1.815 kasus (16%%), sisanya adalah kekerasan mantan suami, kekerasan mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
Angka kekerasan terhadap anak perempuan beberapa tahun terakhir selalu masuk angka ketiga tertinggi angka kekerasan di ranah KDRT/ relasi personal memperlihatkan bahwa menjadi anak perempuan di dalam rumah bukan lagi hal yang aman. Di antara mereka mengalami kekerasan seksual, yaitu inses (822 kasus). Sedangkan kekerasan terhadap istri di antaranya berbentuk marital rape terdapat 100 kasus. Catahu juga mencatat meningkatnya angka kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang meningkat 300% dari tahun sebelumnya.
Atas dasar terus tingginya kasus-kasus kekerasan di ranah rumah tangga dan relasi personal, Komnas Perempuan dalam 3 tahun laporan terakhirnya selalu menekankan hilangnya ruang aman bagi perempuan dan anak perempuan. Pernyataan Sekjen PBB tersebut menemukan konteksnya, jika sebelum masa isolasi kondisi rumah sudah tidak aman, bagaimana setelah kebijakan untuk tinggal di rumah saja diberlakukan?
Pembagian Peran Publik-Domestik yang Tidak Runtuh
Bagi kebanyakan kita, pintu rumah adalah batasan ‘fisik’ yang menjadi pembatas antara ruang publik dan ruang domestik. Setiap pagi, suami akan keluar dari pintu untuk bekerja, mencari nafkah. Sore hari, anak dan istri yang sudah rapi, mandi dan wangi menyambut gembira kedatangannya yang membawa hasil sembari membuka pintu rumah. Begitu system sosial menempatkan ruang publik untuk lelaki, sedangkan ruang domestik untuk perempuan. Pembagian peran ini selanjutnya menjadikan lelaki sebagai kepala keluarga, perempuan sebagai ibu rumah tangga. Pembagian peran ini tidak menjadi soal, jika didasarkan kesepakatan yang setara dan tidak menimbulkan ketidakadilan pada salah satu pihak.
Namun, kemudian peran publik akan dinilai lebih produktif, lebih menghasilkan uang, lebih berharga dan menentukan. Sebaliknya peran domestik akan dinilai tidak produktif, tidak menghasilkan uang, pekerjaan biasa saja dan ditentukan oleh kepala keluarga. Pembagian peran ini dipercaya baik oleh lelaki maupun perempuan sebagai ‘kodrat’ yang harus dijalani, menjadi indikator lelaki ideal dan perempuan ideal dalam masyarakat. Sehingga pembagian peran ini menyebabkan kekuasaan dan kontrol pada lelaki dan menimbulkan ketidakadilan khususnya kepada perempuan, dalam bentuk subordinasi, streotipe, ketergantungan ekonomi, kekerasan, dan beban ganda.
Tugas ibu rumah tangga yang kerap dianggap tidak bernilai, dibakukan dalam dari enam komponen aktivitas. Pertama, melayani suami yang terdiri dari menyiapkan pakaian suami, menghibur dan melayani kebutuhan seksual. Kedua, mengasuh dan mendidik anak yang secara rinci tugasnya adalah mulai dari memandikan, menyuapi, mengajaknya bermain, menyusui dan menidurkan. Jika anak-anak sudah memasuki usia sekolah, maka tugas ibu bertambah dengan mengantar dan menjemput sekolah, menemani belajar, mengawasi PR dan menghadiri aktivitas sekolah anak. Ketiga, membersihkan dan merapikan semua perlengkapan rumah tangga, mulai menyapu, mengepel, cuci piring, menyuci baju sampai menyetrikanya. Keempat, menyediakan makanan siap santap, meliputi mengatur menu, berbelanja, memasak dan menghidangkannya. Kelima adalah merawat kesehatan seluruh anggota keluarga, seperti merawat yang sakit, memijat, meng-kerik, memastikan obat diminum dan menghibur mereka dari kecemasan. Tugas keenam, peran sosial di komunitas yaitu bagi pasangan yang tinggal di keluarga besar atau yang masih kental dengan tradisi, perempuan akan mewakili keluarga untuk membantu hajatan, atau upacara adat.
Sementara tugas kepala keluarga diidentifikasikan memiliki peran sebagai pemimpin, pengambil keputusan, pengarah, pencari nafkah, penyambung lidah kepentingan rumah tangga dengan pihak luar, pendidik anggota keluarga, dan pencari jalan keluar dalam kemelut krisis didalam rumah tangga. Dari perincian tugas, suami bukan saja pencari nafkah utama, tapi juga sebagai pemimpin dengan segala tugas dan kewenangannya yang sekaligus juga mendapat hak-hak istimewanya dan penghargaan yang lebih dari masyarakat. Perempuan yang bekerja di ranah publik, tetap dianggap bertanggungjawab melakukan enam komponen aktivitas rumah tangga, yang kemudian kita kenal dengan sebutan ‘peran ganda perempuan” dan tidak ada ‘peran ganda lelaki’ dalam artian lelaki diminta ikut berpartisipasi di sector domestik.
Saat ini dengan sistem teknologi informasi pintu antara publik dan domestik mulai runtuh. Bekerja bagi sebagian orang dan jenis pekerjaan tertentu tidak berarti meninggalkan rumah. Begitupun dengan perempuan, diam di rumah bukan berarti tidak memiliki penghasilan atau pergaulan di ruang publik. Kini, melalui kebijakan tetap di rumah, pintu publik-domestik menjadi hilang. Semua anggota keluarga berada di ruang yang sama, yaitu ruang domestik.
Namun, ketika suami dan istri berada dalam ruang domestik, tidak serta merta konsep dan cara pandang akan peran lelaki dan perempuan berubah. Kondisi inilah yang menyebabkan potensi KDRT terjadi. Dalam berbagai kesempatan diskusi, penulis menyampaikan empat potensi terjadinya KDRT selama masa karantina Covid-19 yaitu:
Pertama, istri dan anak perempuan terperangkap semakin panjang dengan pelaku kekerasan, karena harus tinggal bersama dan tidak dapat keluar rumah. Hampir dalam 24 jam sehari, anggota keluarga yang biasanya terpisah-pisah menjalankan aktivitasnya masing-masing, berada dalam satu rumah. Jika semula intensitas pertemuan/komunikasi antar-anggota keluarga kecil, potensi konflik menjadi lebih kecil, kini intensitas meningkat dan potensi kekerasan pun meningkat. Jika sebelumnya istri atau anak hanya 12 jam bertemu suami, atau maka dengan semua aktivitas di rumah. Demikianhalnya dengan suami atau ayah yang abusive intensitas dan kualitas kekerasan akan semakin sering terjadi.
Kedua, perempuan akan mendapatkan beban domestik berlapis. Dengan kebijakan tetap di rumah, pintu domestik dan publik menjadi hilang, namun tidak menghilangkan peran pembagian kerja dan dampaknya terhadap perempuan. Perempuan tetap melaksanakan enam kelompok tugas ibu rumah tangga, ditambah masih harus bekerja bagi pekerja perempuan. Kondisi ini sendiri adalah kekerasan psikis, dan menyebabkan kelelahan fisik dan mental perempuan. Kelelahan ini yang kemudian mendorong ibu akan melakukan kekerasan terhadap anak-anaknya. Sementara sebagian besar suami (laki-laki) tidak mengambil tanggung jawab untuk perawatan rumah, pengasuhan dan pendidikan anak.
Ketiga, dampak ekonomi yang menyebabkan perempuan atau suami tidak mendapatkan/berkurang penghasilan akan mendorong pembatasan pemenuhan kebutuhan keluarga yang dapat menjadi pemicu pertengkaran atau kekerasan, baik terhadap istri maupun anak.
Keempat, suami atau bapak menggunakan isu karantina untuk Covid-19 sebagai metode untuk mengasingkan perempuan dari keluarganya atau mengancam untuk memenuhi keinginannya.
Dari bahasan di atas, apakah karantina Covid-19 menyebabkan KDRT ataukah hanya menjadi pemicu dari ketidakseimbangan relasi perkawinan? Penulis berkeyakinan bahwa KDRT yang terjadi baik sebelum maupun sesudah karantina lebih disebabkan tidak seimbangnya relasi kuasa antara suami dan istri. Pandemi Covid-19 menjadi pemicu dari akar ketidakadilan yang sudah berlangsung. Tinggal di rumah hanya menghilangkan pintu pembatas, tidak meruntuhkan pembagian peran publik domestik.
Menjadikan Rumah Aman Bagi Semua
“Kemarin malam ada korban KDRT yang datang ke rumah saya, karena berulangkali suaminya akan mencekiknya. Setelah ada covid makin sering dialami, ia minta perlindungan dan bantuan …”
Demikian seorang sahabat berkomunikasi dengan penulis. Jika selama ini korban kekerasan terhadap perempuan, termasuk korban KDRT dapat mengakses langsung layanan-layanan pengaduan, kesehatan, rumah aman, bantuan hukum maupun psikologis, maka dengan adanya pandemic ini lembaga-lembaga layanan melakukan layanan berbasis daring, bahkan sejumlah tempat perlindungan seperti rumah aman ditutup atau sudah penuh. Pertemuan langsung hanya dapat dilakukan untuk indikator kasus tertentu dengan memperhatikan protokol kesehatan. Kondisi ini tentunya akan memperburuk dan memperlama korban untuk mendapatkan bantuan. Terlebih kemudian banyak perempuan tidak ramah terhadap teknologi, tidak memiliki HP, HP dikuasai suami atau anak, atau suami selalu mengawasi korban.
Penanganan KDRT dalam masa karantina ini, idealnya terintegrasi dalam system penanggulangan pandemic Covid-19. Pemerintah seharusnya: (i) membuat pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan sebagai bagian penting dari rencana penanggulangan dengan meningkatkan layanan online dan dukungan terhadap organisasi masyarakat sipil, (ii) memastikan sistem peradilan akan tetap menuntut para pelaku kekerasan, (iii) menyediakan rumah aman atau rumah singgah bagi korban dan (iv) menciptakan cara yang aman bagi perempuan untuk mencari dukungan, tanpa sepengetahuan pelaku.
Penanganan dan pencegahan KDRT pun dapat dilakukan oleh komunitas, sebagai salah satu bentuk solidaritas terhadap warga terdampak pandemic. Misalkan seperti sahabatku atau sejumlah komunitas membantu korban dengan menjadi mediator, membantu pengaduan, menguatkan psikologi korban atau menyediakan rumah singgah untuk korban. Tak kalah penting, ceramah-ceramah keagamaan seyogyanya memberikan perhatiaan penting bahwa pengelolaan rumah tangga adalah tanggungjawab bersama. Lelaki tidak akan menjadi rendah jika melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, pengasuhan maupun pendidikan anak.
Bagi perkawinan dengan relasi yang setara, pandemic Covid-19 tidak berpotensi menimbulkan kekerasan. Sebaliknya akan mendorong untuk saling menguatkan dan mencari jalan untuk mengatasi kesulitan. Dengan memahami bahwa rumah tidak selamanya menjadi tempat yang aman, baik sebelum maupun selama pandemi Covid-19, lantas mungkinkah menjadikan rumah aman bagi semua? Untuk mencapai ke arah sana dengan mempercayai salah satu akar terjadinya KDRT adalah tidak seimbangnya relasi kuasa antara suami dan istri, maka relasi kuasa harus didorong untuk setara antara laki-laki dan perempuan. Tentu untuk mencapainya dibutuhkan waktu yang panjang.
Langkah awal adalah dengan menjadikan baik ruang domestik maupun publik sebagai domain laki-laki dan perempuan, di mana tidak ada lagi perbedaan peran keduanya untuk setara dalam bekerja sama. Alasannya sederhana, karena pada dasarnya laki-laki dan perempuan diwajibkan melakukan kerja sama dalam menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran. [MZ]