Nuril Hidayah Pengajar di STAI Miftahul 'Ula Nganjuk

Menyerukan Pesan Kemanusiaan dan Religiusitas Tanpa Atribusi Religius di Dunia Showbiz: Mengenal Dimash Kudaibergen [Bagian 1]

3 min read

sumber: www.youtube.com

Dalam sebuah wawancara, seorang penyanyi muda Kazakhstan ditanya tentang popularitas internasional yang sedang diraihnya. Ia menjawab, semua artis akan mengalami masa-masa turun panggung. Saat gilirannya tiba, ia ingin bisa duduk di samping orang-orang yang dulu menjadi penontonnya, sambil menatap langsung ke mata mereka dan mengobrol dengan hangat, tanpa rasa canggung, karena orang-orang itu mengenangnya sebagai manusia yang baik.

Pemuda itu bernama Dimash Kudaibergen. Nama ini mungkin masih terdengar asing di telinga publik Indonesia dan baru disebut di televisi Indonesia saat Lyodra, pemenang Indonesian Idol 2019, menyebut Dimash sebagai salah satu idolanya. Lagunya yang berjudul “We Are One” juga baru diputar di televisi Indonesia saat Metro TV menayangkan berita tentang peluncuran drone untuk memberantas covid-19 secara serentak di berbagai negara 29 April lalu. Lagu ini ia dedikasikan untuk tenaga medis dan masyarakat terdampak covid-19 di seluruh dunia.

Dimash, seorang penyanyi, penulis lagu, dan multi-instrumentalis yang selalu membuka konsernya dengan sapaan assalamu’alaikum ini, memiliki nama asli Dinmukhamed Kanatuly Kudaibergen. Ia lahir dari pasangan penyanyi kenamaan di Kazakhstan Kanat Aytbayev dan Svetlana Aytbayeva di Aktobe 24 Mei 1994.

Lahir dalam keluarga musisi yang harmonis, Dimash menemukan passionnya dalam bernyanyi dan bermusik sejak usia dini. Ia berlatih sejak usia 5 tahun, 20 tahun belajar musik klasik, serta meraih dua gelar diploma dalam bidang musik klasik dan kontemporer. Dimash tahun ini akan lulus dari program magisternya dalam bidang komposisi musik dan berencana melanjutkan studi ke tingkat doktoral.

Sekalipun di Indonesia belum populer, di kancah internasional Dimash sudah menjadi fenomena sejak tahun 2017 ketika Hunan TV mengundangnya sebagai wild card dalam kontes penyanyi profesional di China, I am a Singer.  Penampilan pertamanya saat itu meraih 600 juta viewer dalam beberapa hari saja. Tampaknya sejak itulah Dimash mulai terekspos secara internasional, meskipun karirnya di ajang internasional sudah dimulai beberapa tahun sebelumnya.

Baca Juga  Inilah Maksud Hadis Penentuan Awal Bulan Ramadan

Sejak penampilannya di China, Dimash menjadi salah satu favorit para reaktor performance musik di YouTube, terutama yang berprofesi sebagai guru vokal. Bagaimana tidak? Selain jangkauan suaranya fenomenal, lebih dari 6 oktaf, Dimash adalah contoh sempurna bagi siswa tentang segala hal yang diperlukan dalam menyanyi.

Mike Goodrich, seorang guru vokal senior di YouTube menjelaskan mengapa Dimash dianggap penyanyi hebat. Dimash menguasai register suara yang tidak dikuasai kebanyakan penyanyi lain. Penyanyi lain umumnya menguasai dua hingga tiga register, tetapi Dimash memiliki kontrol yang sangat baik pada setidaknya empat register, dan ia bisa berpindah-pindah antar register dengan sangat mulus dan tanpa cela. Di era ketika autotune sudah sangat lazim digunakan para penyanyi untuk membantu menutupi kekurangannya, jangkauan nada dan ketepatan nada Dimash saat menyanyi live seakan menjadi sebuah prodigy.

Selain itu, Dimash memiliki kekayaan stilistik yang digunakannya secara jenius dalam mengaransemen vokal sesuai kebutuhan lagu. Kejeniusan ini membuatnya dianggap memiliki kemampuan interpretasi yang sangat unik. Dengan kemampuan ini, selain bisa membuat cover suatu lagu menjadi versinya sendiri, Dimash selalu berhasil membawa lagu itu ke tingkat yang berbeda.

Dimash juga hebat dalam hal stage presence. Sehari-hari, ia adalah pemuda yang rendah hati, sopan dan pemalu, tetapi di atas panggung ia berubah menjadi sosok yang sangat percaya diri dan kharismatik. Ia sangat berkomitmen dan intens sejak nada pertama lagu dimainkan hingga nada terakhir dibunyikan. Komitmen ini tercermin dalam setiap gerak tubuh, tangan, dan tatapan matanya, hingga banyak orang mengatakan Dimash menyanyi dengan seluruh tubuhnya. Goodrich menyebut hal ini the economy of movement.

Di luar panggung, gaya hidup Dimash pun menjadi daya tarik tersendiri. Di dunia showbiz di mana banyak artis mengikuti gaya hidup poisonous, dengan narkoba, alkohol, dan kehidupan malamnya, Dimash dipuji karena ia menjalankan hidup sehat, tidak merokok, tidak minum alkohol, dan tidak dugem.

Dimash juga menunjukkan perilaku yang membuat orang menaruh hormat. Dunia hiburan internasional lebih didominasi western culture di mana kebanyakan artis muda berlomba-lomba menunjukkan keakuan. Sebaliknya, Dimash merepresentasikan budaya Kazakh di mana nilai-nilai Islam melebur di dalamnya. Filosofi Islam bahwa kehidupan adalah amanah dan ujian mengejawantah dalam pandangan Dimash tentang kehidupan.

Baca Juga  Idzotun Nasyi’in, Ikhtiar Revolusi Budaya dan Pesantren

Dalam suatu wawancara, Dimash mengungkapkan rasa syukurnya yang luar biasa atas pencapaiannya saat ini. Ia menganggap semua itu terjadi atas izin Allah, juga atas kerja keras orang tua serta guru-gurunya. Bakat yang ia miliki dianggapnya sebagai tanggung jawab yang harus terus dikembangkan dan dipergunakan untuk menyentuh orang lain dengan seni dan keindahan. Ia juga mengatakan, ada orang yang diberi begitu banyak anugerah dan ada pula yang sangat kekurangan. Kedua kondisi itu sebenarnya memiliki fungsi yang sama, yakni sebagai ujian apakah seorang hamba dapat menjadi sebaik-baiknya manusia.

Dimash kemudian mengutip pesan gurunya, “Sesukses apapun kamu sebagai penyanyi, tidak akan ada artinya jika kamu tidak berhasil menjadi manusia.” Dengan rendah hati pemuda ini kemudian mengatakan bahwa ia setiap harinya masih berjuang dan kadangkala harus bergelut dengan diri sendiri untuk mewujudkan pesan itu.

Mendengar petikan wawancara ini membuat memori terkenang akan pesan Gus Dur tentang kemanusiaan. Religiusitas bagi Gus Dur adalah tentang memanusiakan manusia, maka manusia terbaik di mata Allah adalah manusia yang paling baik memperlakukan manusia lainnya.

Pesan kemanusiaan ini makin terasa relevan ketika mayoritarianisme menggejala di mana-mana. Sebelum kemunculan pandemi covid-19, di berbagai belahan dunia muncul gejala menguatnya sentimen primordial yang memicu menjamurnya ujaran kebencian, kekerasan, bahkan pembunuhan, apakah itu karena agama, ras, atau sentimen penduduk asli atas pendatang.

Outbreak wabah yang di awal-awal kemunculannya masih menjadi bahan bakar xenophobia perlahan mengobrak-abrik kegagahan semu mayoritarianisme setelah hampir seluruh dunia merasakan dampaknya. Semua orang pun bisa terdampak tidak peduli siapa dan darimana. Pada tahap ini, sangat tepat kiranya umat manusia diingatkan kembali pentingnya kemanusiaan dan pentingnya bekerjasama tanpa sekat  sebagaimana diserukan Dimash dalam lagunya, We are One.

 

Baca Juga  Puisi: Bulan Yang Turun Ke Jendela

[Bersambung]

Nuril Hidayah Pengajar di STAI Miftahul 'Ula Nganjuk

Artikel Terkait

One Reply to “Menyerukan Pesan Kemanusiaan dan Religiusitas Tanpa Atribusi Religius di…”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *