“Kami belum pernah berjumpa dengannya, tapi ibuku begitu mencintainya. Bibirnya selalu basah menyebut namanya. Ibu senang bercerita tentang perangai baiknya, tentang apa yang diajarkannya, tentang apa yang harus dan tidak untuk dilakukan. Hingga suatu hari, beliau tiba di Madinah bersama As-Shiddiq sahabatnya, berjalan beriringan di atas untanya.
Usiaku saat itu sekitar 10 tahun, bersama kawan sebayaku, kami dan masyarakat Madinah menyambut kehadirannya. Hatiku bergemuruh memandang indah wajahnya. Tersenyum senang berharap selalu ingin di dekatnya. Berbagai barang berharga dihadiahkan masyarakat Madinah padanya.
Ibu memintaku menjadi “hadiah” terindah untuknya. Sejak saat itu, tinggallah aku di rumahnya, sepanjang waktu membersamainya, melayani segala kebutuhannya. Aku lah Anas pelayan kecilnya.” Di depan para sahabat, Anas bin Malik mengenang kisahnya bersama Rasulullah.
Anas terlahir dari rahim wanita salehah bernama Rumaisha Ummu Sulaim, putri Malhan, seorang wanita yang dikenal cerdas, dan memiliki akhlak yang baik, golongan kaum Anshar pertama yang menyatakan diri masuk Islam.
Semenjak memeluk Islam, ibunda Anas selalu mengajarkan tentang kalimat tauhid pada putranya, menanamkan sejak dini pondasi keimanan, mengajarkan bahwa hanya Allah yang berhak disembah dan Muhammad adalah utusan Allah. Meski selalu mendapatkan pertentangan dari Malik-ayah Anas-namun Ummu Sulaim tak pernah lelah mempertahankan keimanannya, dan mengajarkan ketauhidan pada putra tercintanya.
Segala hal yang diajarkan sang ibunda begitu melekat pada putranya. Rasa cinta yang begitu kuat pada sosok Muhammad pun tumbuh dalam diri Anas. Muhammad begitu dikaguminya, hingga saat Ummu Sulaim meminta sang buah hati untuk menjadi “hadiah” bagi Rasulullah, Anas kecil dengan riang menyanggupinya. Baginya, akan sangat menyenangkan jika hari-harinya dilewati bersama Al-Musthafa.
Begitulah sosok ibu, madrasah pertama bagi anak-anaknya, tempat bermula menempa pendidikan terbaiknya, guru terbaik bagi putra-putrinya. Ibu menjadi tumpuan utama terlahirnya generasi bangsa yang cerdas dan berbudi pekerti yang baik.
Peran ibu dimulai dari bawah atap rumahnya, tempat ia berbagi kasih dengan buah hatinya. Tugas utamanya adalah memberikan pendidikan pada mereka. Dalam sebuah syair dikatakan:
الأُمُّ مَدْرَسَةٌ إِذَا أَعْدَدْتَهَا أَعْدَدْتَ شَعْبًا طَيِّبَ الْأَعْرَاقِ
“Ibu adalah sekolah, jika engkau mempersiapkannya, maka engkau telah mempersiapkan generasi terbaik”. (Mahdi dan Musthafa, 1988:10).
Masa kanak-kanak adalah fase penting dalam tumbuh kembang buah hati. Masa golden age⁹ menjadi momentum yang tepat bagi sang ibu untuk menabur benih-benih ketakwaan, menanamkan nilai-nilai keislaman. Pendidikan yang tepat sejak semula akan berpengaruh kuat terhadap pertumbuhan mereka. Pada masa ini sang ibu berperan penting membentuk kepribadian putra-putrinya.
Rumah sebagai tempat pendidikan pertama, memberikan ruang bagi ibu untuk membimbing putra-putrinya dengan semaksimal mungkin. Rumah menjadi naungan untuk mendidik anak-anak agar tumbuh menjadi pribadi yang berbudi luhur.
Kehangatan dan kasih sayang seorang ibu akan mengantarkan anak tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri dan tangguh menghadapi persoalan ke depan. Ibu, melalui sentuhan tangannya, mampu menciptakan suasana edukatif yang menyenangkan dalam sebuah ruang yang kelak menjadi tempat yang paling dirindukan untuk berpulang (baca:rumah).
Anak adalah peniru yang ulung. Bagi mereka, ibu adalah teladan terbaik. Kebersamaan bersama sang ibunda yang reletif cukup lama-dibanding dengan ayah-telah memberikan tempat bagi ibunda di hati mereka. Memori mereka telah merekam dengan baik tentang segala hal yang dilakukan oleh wanita yang telah berjuang memperkenalkan mereka pada dunia. Maka tidak salah jika ada yang beranggapan bahwa anak adalah cerminan dari orang tuanya.
Sebagai figur utama, ibu harus hadir menjadi teladan yang penuh cinta dan kasih sayang, membersamai sang buah hati dalam menjalani proses tumbuh kembang, mengajarkan mereka pentingnya takwa, meluangkan waktu mengajarkan cara membaca Alquran, mengajarkan bahwa Allah Dzat yang wajib disembah, menanamkan cinta pada Nabi Muhammad selaku utusan-Nya, menanamkan nilai-nilai keimanan serta menumbuhkan nilai spiritualitas.
Sang ibu menempati garda terdepan dalam membentengi anak-anaknya dengan pendidikan agama yang kuat sebagai bekal menghadapi gemerlap dunia di masa mendatang. Begitu urgen peran seorang ibu. Orang bijak berkata “Kehilangan seorang ibu tidak akan pernah mudah, akan semakin tidak mudah ketika kau tak menemukan figur penggantinya”.
Dalam sejarah, Anas bin Malik, di usia 10 tahun dengan tanpa ragu mengamini permintaan Ummu Sulaim-ibundanya-untuk berkhidmah kepada Rasulullah. Pendidikan yang diberikan Rumaisha berhasil mengantarkan Anas sebagai pribadi yang cerdas dan matang.
Di usianya yang terbilang dini, Anas pun berani mengambil tanggung jawab untuk melayani Nabi Muhammad SAW. Rasa cinta pada baginda Nabi yang tumbuh mengakar di dalam dadanya menjadi alasan. Sejarah pula mencatatnya sebagai salah seorang sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah. Peran ibu tampak begitu nyata, kisah Anas menjadi salah satu bukti yang tidak akan dilupakan oleh generasi setelahnya.
Semoga Allah senantiasa menjaga seluruh “Ibu” di muka bumi ini, menganugrahkan mereka rahmat dan maghfirah. Kita selaku buah hatinya selalu dinaungi ridanya sebagai tiket mendapat rida dari Sang Mahapencipta segalanya. Karena rida Allah ada pada rida seorang ibu, begitupun murka Allah ada pada murka seorang ibu. [MZ]