Bisakah Perempuan Berkembang di Bidang Akademik?

Stella Christie merupakan Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi pada era kepemimpinan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dalam Kabinet Merah Putih periode 2024–2029. Namanya mulai dikenal publik saat pertama kali dipanggil ke rumah Prabowo Subianto di daerah Jakarta Selatan.

Ia memperkenalkan diri sebagai ilmuwan di bidang kognitif sekaligus profesor, guru besar, dan peneliti di Tsinghua University, Tiongkok. Sebagai informasi, pada tahun 2024, kampus tersebut berada di posisi pertama sebagai perguruan tinggi terbaik di Asia dan peringkat ke-12 sebagai perguruan tinggi terbaik di dunia versi Times Higher Education.

Sebelum di Tiongkok, ia pernah mendapatkan sejumlah tawaran berkarier di beberapa universitas terkemuka. Selain itu, ia juga pernah menjadi asisten profesor di Swarthmore College, Amerika Serikat.

Tak hanya kariernya, latar belakang pendidikannya pun tak kalah cemerlang. Stella Christie mengawali pendidikan dasar hingga menengah di SD, SMP, dan SMA Santa Ursula, Jakarta. Lalu, ia melanjutkan pendidikannya ke Harvard University dengan beasiswa penuh pada tahun 1999 dan lulus pada tahun 2004 dengan predikat magna cum laude dan Highest Honors.

Pendidikannya berlanjut hingga jenjang pascasarjana dan doktoral di Northwestern University dengan mengambil bidang psikologi kognitif pada tahun 2010.

Jenjang karier maupun latar belakang pendidikan Stella membuat saya kagum. Namun, ternyata hal ini tidak demikian bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Banyak yang masih menganggap bahwa semua itu tidaklah spesial. Bahkan, sebagian yang lain memandang Stella terlalu ambisius sebagai perempuan.

Tentu hal ini tidak lepas dari masih banyaknya masyarakat Indonesia yang berpandangan patriarkis, sehingga perempuan yang berpendidikan tinggi dan berkarier sering kali mendapatkan stigma negatif. Selain masih berkembangnya stigma negatif, perempuan juga dihadapkan dengan beban ganda yang mengharuskannya melakukan pekerjaan domestik. Maka, tidak heran apabila posisi strategis di bidang akademik sebagian besar masih didominasi oleh laki-laki.

Riset Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia menunjukkan adanya sejumlah tantangan yang dihadapi perempuan di bidang pendidikan. Tulisan ini akan memfokuskan pada dua tantangan, yaitu minimnya keterwakilan perempuan pada posisi pimpinan di instansi akademik dan peran ganda yang dialami oleh perempuan.

Minimnya Keterwakilan Perempuan pada Posisi Pimpinan di Instansi Akademik

Keterwakilan perempuan pada posisi pimpinan di berbagai instansi akademik masih dinilai minim. Di instansi akademik seperti perguruan tinggi, posisi pimpinan seperti lektor kepala, profesor, dan rektor masih didominasi oleh laki-laki.

Publikasi PDDIKTI berjudul Statistik Pendidikan Tinggi 2023 menunjukkan adanya perbedaan signifikan pada posisi jabatan akademik lektor kepala dan profesor berdasarkan jenis kelamin. Pada jabatan lektor kepala, jumlah dosen laki-laki sebanyak 19.949 orang, sedangkan jumlah dosen perempuan sebanyak 13.403 orang.

Adapun pada jabatan profesor, jumlah dosen laki-laki sebanyak 8.022 orang, sedangkan jumlah dosen perempuan sebanyak 3.230 orang. Secara jumlah, kedua jabatan tersebut didominasi oleh dosen laki-laki (Dirjen PDDIKTI, 2023).

Penelitian lain berjudul Inklusivitas Gender dalam Top Management pada Perguruan Tinggi di Indonesia (Pratama dkk., 2024) menghasilkan temuan data bahwa hanya ada 11 rektor perempuan dan 82 rektor laki-laki dari total 93 rektor perguruan tinggi negeri yang diteliti.

Analisis Tim Litbang Kompas terhadap laporan Asosiasi Universitas Eropa (EUA) menjelaskan bahwa sulitnya perempuan dalam mencapai jabatan guru besar (profesor), yang menjadi prasyarat untuk mencapai posisi rektor di banyak negara, serta masih adanya penolakan terhadap perubahan di beberapa institusi, menjadi sebab posisi rektor masih didominasi oleh laki-laki.

Baik secara biologis maupun peran gender dalam keluarga dan masyarakat, perempuan mengalami kondisi yang berbeda dengan laki-laki. Menurut Alimatul Qibtiyah, anggota Komnas Perempuan, sering kali perempuan mengalami hambatan dalam kariernya yang tidak dimiliki oleh laki-laki, yaitu berkembangnya budaya patriarki yang kerap kali mengesampingkan peran perempuan.

Budaya patriarki yang berkembang dalam dunia akademik cenderung meminggirkan peran perempuan, terutama bila ia berada dalam posisi strategis. Misalnya, anggapan bahwa kepemimpinan perempuan dinilai kurang kompeten atau pembagian tugas akademik yang tidak merata.

Joan Acker dalam teori feminisme organisasional mengatakan bahwa struktur organisasional yang cenderung maskulin dapat menyulitkan perempuan untuk mengakses posisi kepemimpinan (Mandasari, 2024). Apabila perempuan berhasil menduduki posisi kepemimpinan, tak jarang ia harus menyesuaikan diri dengan norma maskulin yang ada atau mengembangkan strategi yang berbeda.

Peran Ganda Perempuan: Menjadi Akademisi Sekaligus Menjalani Peran sebagai Ibu Rumah Tangga

Selain mendapatkan stigma negatif serta kurangnya implementasi kesetaraan gender, para akademisi perempuan dihadapkan pada tantangan peran ganda yang dijalaninya. Mereka harus tetap profesional dalam memenuhi tuntutan pekerjaan sekaligus bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan keluarga maupun mengurus rumah tangga.

Peran ganda dapat menjadi suatu konflik besar apabila tidak ada kerja sama dan hubungan kesalingan dalam menjalankan tugas domestik dan pekerjaan. Oleh karena itu, diperlukan dukungan dari keluarga yang solid serta manajemen waktu yang baik agar terjadi keseimbangan bagi para akademisi perempuan yang menjalankan peran ganda tersebut.

Demi terciptanya keseimbangan dalam karier di bidang akademik sekaligus menjaga keharmonisan rumah tangga, penting juga untuk memiliki manajemen konflik yang baik antara perempuan dan pasangannya. Dalam lingkungan keluarga, manajemen konflik yang baik dapat mengurangi berbagai hambatan yang timbul, seperti masalah komunikasi dan munculnya kesalahpahaman.

Dengan demikian, hubungan kesalingan dan kerja sama dalam rumah tangga serta manajemen konflik yang baik dapat meminimalkan konflik yang dapat terjadi di masa mendatang.

4

Post Lainnya

Arrahim.id merupakan portal keislaman yang dihadirkan untuk mendiseminasikan ide, gagasan dan informasi keislaman untuk menyemai moderasi berislam dan beragama.