Pendahuluan
Kesadaran KH. Abdur Rahman Wahid (Gus Dur) terhadap massifnya arabisasi telah dimulai sejak awal. Dalam buku Ilusi Negara Islam, Gus Dur membaca secara jeli bagaimana arabisasi dapat menjangkiti hampir di berbagai kalangan masyarakat Indonesia. Proses arabisasi di Indonesia adalah upaya untuk menghancurkan sendi-sendi tubuh persatuan di Indonesia. Oleh karena itu, Gus Dur sejak awal mendeklarasikan pentingnya Pribumisasi Islam dengan pendekatan sosio-kultural untuk melakukan upaya preventif terhadap musuh umat yaitu perpecahan.
Proses Arabisasi tidak dapat dibiarkan, apalagi diberikan ruang dan gerak leluasa. Karena akan membahayakan bagi keberlanjutan negara Indonesia yang lahir dari keragaman agama dan budaya. Indonesia tidak lahir monoagama, monoras dan monobudaya. Indonesia lahir dari rahim keragaman, perbedaan dan sikap inklusi antar satu budaya dan budaya lainnya, dialektika antar agama dan budaya. Atas dasar itulah penting bagi kita, untuk kembali mempromosikan bahaya arabisasi bagi keberlanjutan negara, dan kembali mempresentasikan pribumisasi Islam sebagai solusi untuk melanjutkan persatuan dan perdamaian di Indonesia.
Pada dasarnya, Indonesia tidak membutuhkan proses arabisasi yang berlebihan. Apalagi menjadi agama dan budaya baru. Arabisasi memaksa kita untuk menumbuhkan budaya arab kepada kita yang Indonesiaisme. Identitas kita sebagai warga negara Indonesia tidak dapat diganti dengan identitas Arab. Tanah kita yang harum dan basah juga tidak dapat diganti dengan tanah Arab yang hanya berupa gurun dan pasir. Islam hadir kepada Nabi yang orang Arab, tapi Islam tidak menghendaki seluruh budaya Arab diglobalkan. Alquran pun menyatakan bahwa sebenarnya juga mengakomodir budaya. ‘sesungguhnya kami telah menjadikan Alquran dengan bahasa ‘Arab agar kalian berfikir’. (QS. 12:2). Kesadaran ini harus terus dibangun dengan mendasarkan pada sikap inklusif yang berwawasan pada perkembangan kontekstual. Diikuti dengan pemahaman agama yang mendalam.
Arabisasi, Gejala Sosial Radikal
Pada faktanya bahaya arabisasi bukan hanya terletak pada budaya Arab yang mendominasi. Namun lebih pada cara pandang mereka terhadap sesama muslim lainnya yang memilih cara yang akomodatif dan akulturatif. Truth claim justru melahirkan sikap takfiri (cenderung menganggap selain diri dan kelompoknya salah, baca; kafir) dan eksklusif. Sulit diajak berdialog dan menutup diri dari wawasan Islam diluar kelompoknya. Sikap inilah yang membahayakan bagi persatuan, perdamaian dan keberlanjutan negara kita.
Sikap kita terhadap arabisasi yang cenderung mendiamkan dan membiarkan, membuat proses arabisasi ini terus massif dan melaju secara kencang yang menyebar diberbagai kalangan. Citra Islam Indonesia yang seharusnya digambarkan dengan nilai-nilai Islam yang luhur, moderat dan berwawasan pada Islam yang berbudaya justru didominasi oleh Islam yang berpaham Arab. Yang akibatnya perpecahan dan keruhnya konflik sosial bermotif agama semakin mencuat bahkan mengglobal.
Proses arabisasi banyak menumbuhkan gejolak sosial di Indonesia. Misalnya penyalahgunaan pengamalan ‘nahi munkar’ yang didasarkan pada hadis Nabi yang berbunyi:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَان
‘Jika diantara kamu melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tanganmu (kekuasaan, konstitusi), dan jika kamu tidak cukup kuat (tidak memiliki wewenang) maka ubahlah dengan lisan (dialog yang baik dan inklusif) dan apabila tidak cukup mampu maka ingkarilah dengan hati, demikian itu merupakan selemah-lemahnya iman.’ (HR. Muslim)
Kata yad di dalam hadis tersebut dipahami secara tekstual yaitu tangan yang berarti serangan fisik. Agenda sweeping diklaim sebagai pengamalan hadis diatas dengan memaknai yad sebagai serangan fisik. Selain itu, paham arabisasi juga menuntut agar orang di luar dirinya yang tidak mengikuti paham dan budaya Arab dapat ditindak tegas, diserang dan diolok-olok dengan media apa saja termasuk media sosial.
Pemahaman Nash tekstualis cenderung melahirkan sikap ekslusif dan ekstremis, dan melahirkan kaum beragama yang primitif. Bukan kebutuhan kehidupan global saat ini, yang lebih mengedepankan pluralis, sikap inklusif dan humanis. Demikian, perlunya upaya promosi pribumisasi Islam sebagai langkah preventif terhadap ritus anarkis yang eksklusif.
Selanjutnya: Pribumisasi Islam, Warisan Gus Dur…(2)