Keraton Jogja dan Potensi Kajian Living Qur’an

3 min read

Clifford Greertz, memberi penilaian terhadap praktik keagamaan di Jawa menjadi tiga kategori, agama, santri, priyayi (2017). Sebuah penilaian yang tak sepenuhnya tepat. Bahkan Nancy K. Florida dalam Jawa-Islam di Masa Kolonial: Suluk, Santri, dan Pujangga Jawa juga mematahkan kesimpulan para sarjana Kolonial yang mengatakan bahwa agama Jawa atau praktik keagamaan di (keraton-keraton) Jawa tidak murni dan bertentangan satu sama lain.

Sesungguhnya jika kita mengkaji lebih dalam, baik dalam keagamaan orang-orang desa dan kota, bahkan keraton, sebenarnya praktik keagamaan yang dilakukan oleh orang-orang di lingkungan tersebut sangat kental dengan nuansa religius. Tulisan ini akan menarasikan praktis keagamaan Islam dan nilai-nilai Al-Qur’an yang hidup di keraton Jogjakarta.

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, atau lazim disebut Keraton Jogja, merupakan salah satu Kerajaan Islam-Jawa di Indonesia yang sejak berdiri 13 Maret 1755 masih eksis dan masih menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini. Keraton yang berada di tengah Kota Yogyakarta ini terlihat masih menjalankan tradisi-tradisi leluhurnya yang sarat akan nilai religius ke-Islaman.

Diantara tradisi Jawa yang sarat akan nilai ke-Islaman misalnya seperti Grebeg. Tradisi Grebeg ini terdiri dari tiga kategor; pertama Grebeg Syawal sebagai perayaan atas kemenangan umat Islam setelah sebelumya melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh; kedua, Grebeg Besar sebagai perayaan hari raya Qurban dan Ibadah Haji; dan ketiga, Grebeg Mulud sebagai bentuk penghormatan hari lahirnya Nabi Muhammad saw dengan rangkaian acara Sekaten termasuk di dalamnya.

Pada bulan Ramadhan juga dapat ditemui upacara Selikuran, yang diawali dengan berbuka puasa bersama, dilanjutkan salat magrib dan isya serta tarawih secara berjamaah. Upacara Selikuran ini tersirat bentuk rohaniah yang berwujud hubungan antara kawulo dan Gusti-nya yang diwujudkan dengan tirakatan pada malam tanggal 21, 23, 25 dan 29 yang pada hakekatnya adalah laku untuk menyongsong malam Lailatul Qadar.

Setelah bulan Ramadhan usai, ada tradisi Ngabekten, yakni tradisi sungkeman (prmintaan maaf) pada saat hari lebaran pada tanggal 1 syawal dan 2 syawal sebagai wujud penghormatan kepada orang yang lebih tua; ungkapan terimakasih kepada Sri Sultan yang sekaligus dimaksudkan sebagai permintaan maaf atas kesalahan yang bersifat sengaja maupun tidak. Selain itu, juga terdapat tradisi Supitan sebagai upacara menuju kedewasaan bagi laki-laki (sunat), dan juga upacara Dhaup Ageng yang merupakan hajat ndalem Sultan manakala menikahkan putra-putrinya.

Baca Juga  Aamir Khan dan Sentuhan Poskolonialisme dalam Sinema Bollywood (2)

Dalam ranah yang lain, Keraton Jogja juga memiliki pusaka kitab suci agama Islam  yang diangkat sebagai benda pusaka keraton. Pusaka tersebut bernama pusaka Kanjeng Kiai Al-Qur’an, sebuah Mushaf Al-Qur’an lengkap 30 juz dengan 575 halaman,  lengkap dengan halaman kolofon berbahan kulit hiasan sederhana yang selesei ditulis pada 1797 M yang masih dapat dilihat hingga sekarang (Hakim 2012). Istilah “kanjeng kiai” sendiri merupakan gelar yang lazim digunakan untuk tiap benda pusaka milik Keraton,

Manifestasi Islam juga terwujud dalam bangunan Keraton Jogja, misalnya dibagian motif hias Putri Mirong pada bangunan Keraton Jogja yang terdapat nilai-nilai Qur’aninya. Nor Kholis dalam penelitiannya menemukan bahwa motif hias Putri Mirong pada bangunan Keraton Jogja di interpretasikan sebagai sebuah kaligrafi yang tersusun dari huruf Arab alif, lam, mim; alif, lam, mim, ra; dan mim, ha, mim, dhal yang merupakan stilisasi huruf Arab sebagaimana pembukaan surat dalam Al-Qur’an (Kholis 2019).

Selain bangunan keraton, bangunan Masjid Gedhe Kauman juga kaya akan nilai filosofis. Misalnya pada atap masjid yang berbentuk tajuk lambing teplok dan beratap tiga ini mengandung arti bahwa setiap orang yang ingin mencapai kesempurnaah hidup harus melalui tiga tingkatan yakni syariat, hakikat, dan makrifat.

Selain itu, beberapa pahatan kaligrafi di dalam Masjid, dan pahatan pahatan lain seperti pohon sawo, wajikan, praba, tlacapan, dan waluh (pahatan yang memiliki makna agar selalu mengingat Allah) juga menjadi bukti eksistensi Islam di keraton Jogja.

Dari sini, terlihat bahwa Islam mendapat apresiasi besar di Keraton Jogja. Choerul Rohim (2015) dalam artikelnya menjelaskan bahwa segala macam warisan leluhur seperti tradisi dan upacara-upacara misalnya, akan terus dilaksanakan sekalipun zaman terus berkembang dan mengalami perubahan.

Baca Juga  Benarkah Khilafah Membuat Anak-Anak Bahagia?

Rohim juga menyebutkan bahwa ditemukan penambahan rangkaian baru yang dimunculkan pada masa pemerintahan HB X yakni sema’an al-Qur’an, pembacaan yasin-tahlil untuk leluhur, dan dzikrul ghafilin yang kesemuanya menjadi serangkaian acara dalam memperingati Hadeging Nagari, hari peringatan berdirinya keraton Yogyakarta.

Bila ditelusuri lebih dalam, upaya-upaya Keraton Jogja dalam melestarikan keagamaan mengundang para sarjana Qur’an untuk menelitinya. Misalnya, dalam ruang lingkup studi Living Qur’an, menelusuri nilai-nilai Al-Qur’an yang diwujudkan di lingkungan Keraton Jogja, menelusuri bagaimana pergumulan masyarakat Muslim keraton Jogja dalam interaksinya dengan Al-Qur’an. Maka keunikan penghadiran pembacaan Al-Qur’an pada tradisi peringatan Hadeging Nagari sebagaimana disebutkan tadi misalnya, ini berpotensi menarik untuk dikaji dan terdapat novelty untuk diteliti.

Penelitian dalam studi Living Qur’an memang dalam beberapa satu dekade lalu, muncul dalam kajian Ulumul Qur’an. Sebuah studi yang dirancang untuk mengkaji Al-Qur’an lebih luas, agar tidak hanya berkutat pada kitab suci secara teks, tetapi juga sebagai kitab yang mewujud dalam kehidupan sehari-hari (Mansyur et al. 2007)

Gusmian 92004)  menjelaskan bahwa Potensi kajian studi Al-Qur’an yang bisa dilakukan diluar teks, yakni dengan cara menelusuri lebih dalam sebuah fenomena sosial masyarakat muslim yang memiliki banyak cara dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Ia memberikan contoh misalnya seperti fenomena masyarakat yang mem-visual-kan ayat-ayat Al-Qur’an yang terwujud dalam ragam karakter khath Arab (kaligrafi); penghiasan tata suara bacaan dalam melantunkan teks-teks Al-Qur’an (Tilawah); dan juga fenomena-fenomena tradisi tahfidz, pemosisian Al-Qur’an sebagai doa, hizb, dan wirid dan lain sebagainya

Akhir kata, eksistensi Islam sangat kental di Keraton Jogja, mulai dari beberapa nilai-nilai Al-Qur’an yang diwujudkan dan beberapa manifestasi Islam yang diaplikasikan di lingkungan Keraton Jogja. Saya kira, fakta tersebut dapat membuka peluang untuk melakukan penelitian studi Al-Qur’an dan kajian keislaman berbasis lokal sebagaimana yang disampaikan oleh Gusmian. Wallahua’lam [AA]