Saat fajar menyingsing pada Selasa, 24 Dzul Qa’dah 309 H / 922 M, komisioner menyuruh agar “terpidana mati” dibawa dengan perahu ke jalan markas kepolisian di bagian paling barat jembatan dan juga ia memberi perintah pada algojo untuk lekas mencambukinya. Tak bisa dihitung berapa banyak orang yang telah berkerumun untuk menyaksikannya.
Kemudian algojo mencambukinya. Cambukan demi cambukan, hingga ratusan cambukan. Tetapi hal ini membuat mereka khawatir kalau-kalau “terpidana mati” meninggal lebih dulu sebelum menjalani seluruh hukuman yang telah ditentukan, sehingga komisioner menyuruh algojo untuk tidak melanjutkan cambukannya. Tetapi ratusan cambukan lagi tidak sabar untuk melayang dari tangan si algojo.
Setelah ribuan cambukan dilayangkan padanya, dinaikkanlah ia ke atas tiang gantungan, yang kurang lebih berbentuk seperti salib. Setelah itu, algojo memotong salah satu tangannya, kemudian satu kakinya, lalu tangan yang satunya, dan terakhir kaki yang satunya. Kerumunan massa semakin awas penyaksiannya. Kemudian algojo memanggal kepalanya. Tubuhnya yang tersisa di tiang gantungan dilemparkan ke tanah.
Kemudian bara api yang menyala dibiarkan menjilat-jilat tubuhnya, sehingga tak ada lagi yang tersisa selain abunya. Lalu abunya ditaburkan ke sungai Tigris. Semua itu belum tuntas. Kepalanya, yang tidak dibiarkan dijilat bara api, dijadikan semacam tontonan publik, diarak ke khalayak Baghdad selama dua hari. [Louis Massignon, Hallaj]
Tubuh yang dijilat bara api, abu yang ditampung Tigris, dan kepala yang diarak ke khalayak tersebut adalah milik al-Hallāj, yang bernama lengkap Abū al-Mughīth b. Manshūr al-Hallāj. Ia adalah seorang sufi martir yang lahir di Tur, al-Bayda, Fars, Iran Tenggara, pada tahun 244 H / 858 M. Sebagai seorang pejalan tasawuf, ia menjadi murid dari guru-guru sufi tersohor, di antaranya ialah Sahl al-Tustārī, Abū Thālib al-Makkī, dan Junayd al-Baghdādī.
Al-Hallāj merupakan salah seorang yang taat dalam beragama dan senantiasa melakukan praktik kezuhudan secara ketat. Malangnya, ia dituduh sebagai heretik atau orang yang sesat karena “ucapan-ucapan bersayapnya” (shathahiyāt), seperti Anā al-Haqq [Aku adalah yang Mahabenar], yang secara lahiriah tampak bertentangan dengan ortodoksi agama.
Sebenarnya, ucapan-ucapan bersayapnya tidak bisa dijadikan “barang bukti” untuk memvonis mati dirinya karena shathahiyāt-nya memang tidak pada wilayah kesadaran dan dikendalikan oleh akal, melainkan pada wilayah ketidaksadaran dan dikendalikan oleh kemabukan akan Tuhan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak ulama yang dekat dengan penguasa yang cemburu dengan posisi prestise al-Hallāj. Selain itu, dari kalangan elite politik sendiri, mereka melihat bahaya laten dalam prestise al-Hallāj yang dapat menggerakkan massa sehingga bisa membahayakan tampuk kekuasaan pada saat itu.
Oleh karena itu, sebenarnya, dalam hal ini dapat dipahami bahwa pasal tuduhan atas heterodoksi dan heresi al-Hallāj dalam pengadilan berlangsung dengan latar belakang intrik politik. [Louis Massignon, Dīwān al-Hallāj].
Tidak diragukan lagi tingkat kesufian al-Hallāj, dan itu terbukti ketika hari-hari menjelang pengeksekusian dirinya. Meskipun telah dituduh zindik—yang sebenarnya sama sekali tidak—dan dibenci oleh banyak orang, al-Hallāj tetap mengasihi mereka. Hal ini terbukti dalam pernyataannya ketika ia dikunjungi oleh salah seorang muridnya.
“Masuklah! Jangan takut. Oh anakku, sebagian orang memberi kesaksian membelaku bahwa aku adalah wali Allah, sedangkan sebagian lain memberi kesaksian menentangku bahwa aku adalah orang yang zindik. Kendati begitu, mereka yang memberi kesaksian bahwa aku zindik akan lebih kucintai dan juga lebih dicintai Allah ketimbang mereka yang memberi kesaksian bahwa aku adalah wali Allah.” [Reynold A. Nicholson, The Idea of Personality in Sufism]
Tentu saja saat mendengar jawaban itu, si murid sontak kaget, sebab betapa luhurnya al-Hallāj yang masih saja membela mereka yang menuduhnya zindik yang—karena ketidakpahaman mereka sendiri—sebenarnya tidak. “Bagaimana bisa begitu, Syeikh?” tanya si murid.
“Karena,” al-Hallāj menjawab, “mereka yang memberi kesaksian atas kewalianku melakukan demikian disebabkan oleh pemikiran baik mereka mengenai diriku, sedangkan mereka yang memberi kesaksian atas kezindikanku melakukan demikian disebabkan oleh gairah dan semangat atas agama mereka. Sehingga, siapa pun yang semangat atas agamanya ialah lebih kucintai dan juga lebih dicintai Allah ketimbang orang yang hanya berpemikiran baik atas siapa pun.” [Ibid]
Meski telah difitnah dan dizalimi, al-Hallāj benar-benar memiliki kelapangan hati untuk bisa memahami dan menoleransi mereka yang telah melakukan itu. Selain itu, al-Hallāj juga menegaskan bahwa mereka yang telah menuding sesat dirinya, meski berdasarkan ketakpahaman atau kesalahpahaman mereka, adalah orang-orang yang lebih mulia ketimbang yang lain, yaitu sebagian sufi, yang membela al-Hallāj—karena memang mereka mengetahui bahwa tindakan al-Hallāj semestinya bebas dari hukum sebab shathahiyāt-nya di luar kendali akalnya.
Entah bagaimana orang-orang sanggup menuduh zindik al-Hallāj, yang ketika ia hendak naik ke tiang gantungan, ia masih ingin melakukan salat dua rakaat. Setelah salat dua rakaat, ia bermunajat kepada Allah, “… Lihatlah orang-orang ini, penyembah-Mu, mereka telah berencana untuk membunuhku, demi diri-Mu, demi mendekat pada-Mu…. Maka ampunilah mereka.” [Louis Massignon, Hallaj]. Munajat al-Hallāj menunjukkan bahwa ia dengan ketulusan hati yang lapang sungguh mengasihi dan menyayangi mereka yang bahkan telah memfitnah dan menzaliminya.
Apa yang dilakukan oleh al-Hallāj tersebut mengingatkan kita kepada Nabi ‘Īsā, yang ketika ditanya oleh seseorang, “Kenapa membalas kejahatan dan dendam dengan kebaikan dan kasih sayang?” Beliau menjawab, “Karena di keranjangku hanya ada bunga.” Di hati al-Hallāj hanya ada bunga, sehingga ia tak sempat membalas fitnah dan kezaliman yang menimpa dirinya selain dengan kebaikan dan doa agar mereka diampuni Tuhan.
Hal ini tentu saja menunjukkan begitu tingginya tingkat religiositas al-Hallāj yang bahkan ketika difitnah dan dizalimi, ia hanya bisa membalasnya dengan kebaikan dan kasih sayang. Setelah berdoa, al-Hallāj berseru, “Bunuhlah aku, O sahabatku.” Setelah itu, martirlah seorang sufi yang hanya memiliki bunga di keranjangnya. Lalu, bagaimana dengan keranjang kita? Apakah di dalamnya penuh dengan bunga?
Editor: MZ