Nur Khalik Ridwan Pengasuh Pesantren Bumi Cendekia, Gombang, Sleman; Penulis Buku Ensiklopedi Khittah Nahdlatul Ulama, Masa Depan NU, Sejarah Lengkap Wahabi, NU dan Bangsa 1914-2010: Pergulatan Politik dan Kekuasaan, dll.

Hamzah Sahal: Dari Majalah Pesantren hingga Mengorganisir Dunia Literasi dan Film

7 min read

Source: aswajadewata.com

Hamzah Sahal, pegiat literasi di kalangan Nahdliyin muda, membuat Alif.ID bersama beberapa sahabat yang lain (Susi Ivvaty dan Achmad Ubaydillah). Dikenal juga sebagai pembuat film Jalan Dakwah Pesantren, sebuah film di era anak-anak muda zaman digital yang sangat penting, bersama Muhtadin AR (pemberi sponsor), dan Yuda Kurniawan (sebagai sutradara).

Film ini didiskusikan di banyak pesantren dan komunitas-komunitas Nahdliyin. Berkesempatan melihat film ini, terasa sekali dunia pesantren dihadirkan di layar film, oleh orang pesantren, dan menurut sudut pandang orang pesantren. Juga ikut merumuskam 9 Nilai Utama Gus Dur, bersama beberapa guru Gusdurian.

Namanya hanya “Hamzah”, sedangkan nama “Sahal” adalah nama sang ayah. Dilahirkan di Mulyasari, Losari, Cirebon pada 22 Maret 1979, dari pasangan K. Sahal Irsyad dan Nyai. Jamroh Nadi. Sahal Irsyad adalah kiai di kampung kelahirannya, yang juga menekuni profesi bertani di Cirebon Timur, dan seorang veteran, yang baru memperoleh pensiunan veteran sekitar 6 tahunan terakhir. Sedangkan ibunya, selain mengajar ngaji Alquran kepada ibu-ibu di masjid, dan mahir aksara pegon, juga berprofesi sebagai pedagang di pasar.

Kiai Sahal Irsyad, sang ayah, mengabdikan hidupnya di Jamiyah Nahdlatul Ulama, dan pernah menjadi Rais Syuriah MWCNU, Kecamatan Losari-Cirebon, ketika NU masih menjadi partai politik sampai awal-awal Khittah NU dirumuskan. Sebagai Rais Syuriyah MWCNU, Kiai Sahal Irsyad ini pernah mengikuti Muktamar NU di Semarang tahun 1979, sebuah Muktamar yang menghasilkan persoalan penting Syu’un Ijtimaiyah; dan juga menghadiri Muktamar NU di Situbondo tahun 1984, sebuah Muktamar yang menghasilkan Rumusan Khittah NU dan mengangkat Gus Dur sebagai Ketua Tanfidziyah dan KH. Achmad Shidiq sebagai Rais Am PBNU.

Di kampungnya (di Losari), sang ayah, Kiai Sahal Irsyad ini juga mendirikan Yayasan Assuniyah, yang menyelenggarakan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah. Sekolah MI yang didirikannya itu pernah tercatat sebagai sekolah terbesar di Cirebon untuk tingkat Madrasah. Hamzah, belajar dasar-dasar agama, membaca Alquran dan praktik-praktik ritual, seperti wudu dan salat dari orang tuanya itu.

Pendidikan formalnya juga ditempuh di Madrasah Ibtidaiyah Assuniyah, yang didirikan oleh sang ayah, sambil ngaji berpindah-pindah kepada kiai-kiai di Losari (lulus 1993). Setelah menamatkan pendidikan dari MI Assunniyah, Hamzah melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Losari Cirebon (lulus tahun 1995). Dari beberapa saudaranya, Hamzah adalah satu-satunya anak dari Kiai Sahal Irsyad yang belajar di SMPN, sambil tetap tinggal ngaji di rumah orang tuanya.

Pada usia SMP itu, Hamzah mulai mengaji beberapa kitab, di antaranya A-Qur’an, kitab Safinatun Najah dan beberapa yang lain, kepada bapaknya; dan memasuki kelas 3 SMP, Hamzah mengkhatamkan Alquran. Setelah itu, Hamzah diantar kepada kiai muda bernama Kiai Abdul Muhaimin, yang kemudian memberinya ijazah membaca Alquran disertai membaca tajwid. Kiai Abdul Muhaimin ini, murid langsung dari KH. Umar Kempek, dan KH. Umar berguru langsung kepada KH. Muhammad Munawwir, Krapyak, Yogyakarta.

Setelah lulus dari SMPN 1 Losari, Cirebon tahun 1995, Hamzah ingin melanjutkan ke jenjang SMA di Cirebon, tetapi usahanya belum berhasil. Setelah melihat kenyataan tidak diterima di SMA itu, Hamzah mulai penasaran dengan Pesantren Krapyak, yang ketika itu seniornya di kemudian hari, Marzuki Wahid, sudah ada di Krapyak. Akan tetapi sang ayah, tidak cukup setuju, karena Pesantren Krapyak menurut sang ayah, dinilai kurang tradisional, di dalamnya masih ada sekolahnya.

Akhirnya, Hamzah diminta orang tuanya untuk mengikuti kakaknya yang bernama Abdullah Sahal, nyantri di Pesantren al-Falah, Ploso, Mojo, Kediri. Akan tetapi di Pesantren Ploso ini, Hamzah hanya bisa bertahan dua bulan, karena dia ingin tetap masuk di SMA, meskipun Hamzah sudah mulai terkesan dengan dunia pesantren.

Baca Juga  Gus Awis: Mutiara Terpendam dan Teladan Generasi NU Milenial

Ketika Hamzah boyong dari Pesantren Al-Falah ke rumah, saat itu menjelang Ramadhan. Pada saat yang sama, sang ayah pada bulan Ramadhan itu diwafatkan oleh Alloh. Hal ini menjadikan Hamzah, bertekad mewujudkan cita-cita sang ayah, agar anaknya mau di Pesantren dan menjadi anak yang shalih, meskipun awalnya pilihan di Krapyak tidak disetujui ayahnya, atas saran Marzuki Wahid, yang rumahnya juga di Losari, Hamzah diantar ke Pesantren Krapyak, Yogyakarta.

Di Pesantren Krapyak, Hamzah belajar selama empat tahun untuk menyelesaikan MAK Krapyak (selesai tahun 2000), sambil ngaji berbagai kitab di pesantren yang terkenal itu. Hamzah mulai mengenal kitab-kitab kuning dari kiai-kiai senior di Pesatren ini, seperti KH. Ahmad Zaini, KH. Atabik Ali, KH. Zainal Abidin Munawir, KH. Warsun Munawir, KH. Masyhuri Ali, KH. Azhari Abta, dan kiai-kiai muda seperti Gus Hilmy Muhammad, Gus Afif, dan lain sebagainya.

Ketika nyantri di Pesantren Krapyak ini, Hamzah mulai tertarik dengan organisasi, dan mengikuti Makesta IPNU, yang saat itu dilakukan di Krapyak. Hamzah juga bergiat di Majalah Khairul Ummah atau Khaum, dan menjadi Pemimpin Redaksinya. Di Krapyak ini, Hamzah Sahal sering juga pergi ke toko buku di timur perempatan Malioboro, dan membaca buku-buku lama. Keaktifannya di majalah Pondok dan organisasi IPNU ini, menjadikan Hamzah mulai dapat menjajaki bakatnya dalam menulis, yang nantinya sangat berguna ketika sudah berkiprah di dunia mahasiswa.

Setelah lulus MAK Krapyak tahun 2000, Hamzah masuk di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Ketika di kampus, Hamzah aktif menjadi wartawan di majalah mahasiswa Fakultas yang bernama Advokasia, selain masuk MAPABA PMII, seangkatan dengan Ichsanudin Ical (anggota DPRD di Tasikmalaya), Fahsin M Faal (salah satu pengasuh Pesantren Kiai Gading, Demak). Saat kuliah itu, Hamzah kemudian nyantri di pesantren Nurul Ummah Kotagede, yang diasuh oleh KH. Asyhari Marzuki. Kiai ini, terkenal sangat berilmu, dan saat itu menjadi Rais Syuriyah PWNU DIY, dan anak dari Mbah Marzuki Giriloyo, mursyid tarekat Syathariyah, yang memperoleh sanad dari Mbah Romli, dari Syaikh Abdur Rauf Wonokromo, dari Syaikh Asyari.

Ketika baru awal-awal kuliah, pada tahun 2000 ibundanya wafat, dan tahun 2002, saudara-saudaranya mengabarkan bahwa tidak lagi bisa menanggungnya di Yogyakarta. Dengan keadaan seperti itu, Hamzah tidak menyerah. Keadaannya itu, menghantarkannya bisa ngobrol-ngobrol dengan Kiai Zainal Arifin Thoha, yang ketika itu mengasuh Pesantren Hasyim Asyari, dengan santri para mahasiwa yang tidak punya banyak bekal, dididik untuk menulis.

Perkenalan dengan Kiai Zainal Arifin Thoha, karena ketika KH. Asyhari Marzuki menjadi Rais Syuriyah PWNU, pesantren Nurul Ummah sering menjadi tempat acara-acara NU dan rapat. Hamzah, kemudian banyak berkenalan dengan para aktivis NU, dan salah satunya adalah Kiai Zainal Arifin Thoha. Kiai Zainal Arifin Thoha saat itu memberi nasihat bahwa keadan seperti itu biasa dialami oleh para santri di manapun berada, harus kuat, dan tegar.

Hamzah kemudian mengasah bakatnya menulis, sebab menulis adalah salah satu cara halal untuk bisa bertahan hidup. Tulisan pertamanya tentang Isra dan Mi’raj dimuat di buletin LKiS, al-Ikhtilaf, dan mendapatkan honor. Dari kegiatan menulis itu, Hamzah mulai direkrut untuk terlibat dengan LKiS oleh Suhadi Cholil, yang saat itu sudah terlebih dulu berada di LKiS. Hamzah kemudian menjadi Pimred bulletin al-Ikhtilaf itu.

Baca Juga  KH. Abdul Hamid Sulaiman (1917-1998): Ulama Reformis dari Tembilahan Riau

Di LKiS, anak pesantren ini akhirnya, sering bertemu dengan para aktivis lebih senior di Yogyakarta, seperti M. Imam Azis, M. Jadul Maula, Lutfi Rahman, Mukhotib MD, Afifiduddin, Akhmad Fikri, Saleh Isre, Muhammad Mustafied, dan beberapa yang lain. Kegiatannya di PMII, akhirnya tidak bisa maksimal, dan keadaan ini, pernah dikritik oleh Hairus Salim HS, karena seharusnya dia bergelut dulu di PMII. Tetapi keadaannya tidak memungkinkan untuk hanya terlibat di PMII secara intens.

Di Pesantren Nurul Ummah, Hamzah Sahal sampai tahun 2004, dengan menulis risalah kelulusan berbahasa Arab, berjudul “al-Riddah fī ‘Ash al-Nabī wa al-Shabah. Pada saat itu di Yogyakarta, tahun 2004 sedang ramainya kegiatan santri-santri Nahdliyin untuk menyuarakan Khittah NU, yang diorganisir oleh tokoh-tokoh yang lebih senior, yang kemudian menjadi Mubes warga NU di Cirebon.

Di Muktamar NU di Donohudan Boyolali, santri-santri Nahdliyin ini membentuk Nahdliyin Crisis Center; dan setelah itu membentuk FSPP (Forum Silaturahmi Pesantren dan Petani) yang diketuai oleh KH. Abdillah Hasan. Hamzah kemudian mulai terlibat dengan FSPP, untuk menerbitkan bulletin FSPP, dan berhubungan dengan aktivis-aktivis Nahdliyin yang lebih luas dan beberapa kiai penting, seperti KH. Hasan Abdullah, KH. Mu’tashim Billah, KH M. Imam Azis, Dr. Dja’far, KH. Jazuli Kasmani, Kiai Marzuki Kurdi, KH. M. Jadul Maula, NKR, dan beberapa yang lain.

Pada tahun 2007, kuliahnya di IAIN Sunan Kalijaga diselesaikannya dengan menulis skripsi tentang Hukum Waris Beda Agama. Setelah gempa tahun 2006, dan lulus dari IAIN Sunan Kalijaga itu, Hamzah pergi ke Jakarta dan terlibat di PP Lakpesdam NU.

Di PP Lakpesdam NU ini, Hamzah ikut mengelola program toleransi, keadilan, dan kesetaraan, bersama seniornya di Pesantren Nurul Ummah, Khamami Zada. Di PP Lakpesdam NU ini pula, Hamzah mulai mengenal tokoh-tokoh nasional Nahdliyin, seperti Nasihin Hasan, Yahya Ma’shum, Lilis Nurul Husna, Abdul Mun’im DZ, M. Imdadun Rahmat, dan banyak yang lain lagi. Hamzah kemudian aktif di Jurnal Tashwirul Afkar, bersama Ahmad Fawaid Sjadzili menjadi redaktur pelaksana.

Pasca-Muktamar NU di Makassar, Hamzah kemudian diminta Abdul Mun’im DZ untuk memperkuat NU Online. Di bawah koordinasi Savic Ali, Hamzah selain mengurus keredaksian, juga melakukan tugas-tugas mengordinasi diskusi rutin, pertemuan penulis, dan menginisiasi program penting Pidato Kebudayaan dan penghargaan Asrul Sani di PBNU. Program ini, dengan berbagai kendala, hanya dapat berjalan tiga kali.

Di NU Online ini, Hamzah bersama-sama beberapa sahabat lain, seperti Mukafi Niam, Syaifullah Amin, dan A. Khairul Anam. Setelah itu, Hamzah Sahal terlibat dalam pembuatan Ensklopedia Nahdlatul Ulama, dengan penanggungjawab M. Imam Azis (ketua PBNU), dipimpin oleh Savic Alielha, dan Hamzah Sahal dan Ulil Hadrawi sebagai pelaksana program, dengan merekrut penulis-penulis handal dari kalangan Nahdliyin.

Pada Muktamar NU di Jombang (2015), Hamzah Sahal diamanahi untuk mengordinir bidang seni, menggantikan Alex Komang yang wafat. Di antara kegiatannya adalah membuat sayembara logo muktamar, lomba film, memanggungkan 10 ribu anggota Isyhari, dan Pameran Maca. Pameran Maca adalah refleksi atas tradisi yang berkembang di dalam masyarakat moderen dan Pancasila, maka karya yang ditampilkan adalah perpaduan seni tradisi dan kontemporer. Sementara pementasan wayang, yang sedianya mengambil dari Yogyakarta, tidak jadi dipentaskan, karena beberapa hal yang tidak memungkinkan.

Baca Juga  Obituari KH. Asfihani Faqih: Figur Kiai Ahli Khidmah

Pasca-Muktamar NU di Jombang tahun 2015, Hamzah masuk PP RMI NU yang diketuai KH. Abdul Ghafar Rozin, namun kemudian tidak terlalu aktif. Hamzah kemudian lebih aktif bersama beberapa sahabat lain, dengan dikoordinasi Savic Ali, membuat NUTIZEN (2016-2017). Kegiatannya adalah melakukan literasi digital, yang saat itu belum populer di kalangan NU dan pesantren. Salah satu programnya yang sangat baru, adalah membuat film documenter berjudul Jalan Dakwah Pesantren.

Film ini dikerjakan bersama Muhtadin AR (yang memberi sponsor dari Kementerian Agama) dan Yuda Kurniawan sebagai sutradara. Shooting pertamanya dilakukan bertepatan dengan Hari Santri yang pertama, di Tugu Proklamasi (22 Oktober 2015). Hamzah kemudian berkeliling mewawancarai puluhan tokoh pesantren dan NU di Jawa, riset di Perpustakaan PBNU, dan Arsip Nasional Republik Indonesia. Proses pembuatan film ini makin membuat Hamzah dekat dengan dunia pesantren dan dunia digital.

Setelah Muktamar NU di Jombang, pada 2016 Hamzah mulai berkeliling di kalangan pesantren, NU, dan komunitas kekomunitas, untuk mendiskusikan Film Jalan Dakwah Pesantren. Bahkan, pada tahun 2017, film ini diputar di Belanda dan Kuala Lumpur. Paling tidak, sudah lebih di 100 tempat film ini diputar dan diadakan acara diskusi, baik dengan dibiayai sendiri atau dari pihak penyelenggara.

Pada tahun 2017, Hamzah bersama beberapa sahabat seperti Susi Ivvaty (jurnalis senior) dan Achmad Ubaydillah (website master), mendirikan laman keislaman Alif.ID. Laman ini berkembang cepat melebih ekspektasi, dengan tema-tema kebudayaan, kesenian, kesejarahan, dan sains. Hanya dalam waktu dua tahun, website ini masuk dalam jajaran 10 website terpopuler dalam bidang keislaman di Indonesia, bersama website penting lain, NU Online dan islami.co.

Alif.ID juga menyelenggarakan program-progam offline, seperti pameran foto masjid Nusantara di Belanda (Juni 2019), bersama fotografer Elik Ragil dan kelas-kelas menulis untuk santri di berbagai pesantren. Selain mendirikan Alif.ID, Hamzah juga pernah menginiasi majalah sastra, Surah, bersama almarhum Ahmad Mauladi, Abi S Nugroho, dan Abdullah Alawi; dan menerbitkan kembali karya Mahbub Djunaidi. Sebagai komunitas, Surah, telah merangsang lahirnya kader penulis dan jurnalis muda yang sekarang banyak mengisi di media-media di lingkungan NU.

Selain mengorganisir dunia literasi dan film di kalangan anak-anak muda santri, Hamzah Sahal juga menulis buku, di antaranya Humor Ngaji Kaum Santri (2004), bersama Tim menulis Ensiklopedia Nahdlatul Ulama (2014), Humor Ulama (2019), Biografi Said Budairy (2010); juga menulis di Jurnal Taswirul Afkar, dan beberapa karya lain yang ditulis secara bersama. Dibandingkan dengan produktivitas menulisnya, sebenarnya Hamzah Sahal lebih menonjol di bidang mengorganisir jaringan, terutama melalui Alif.ID., menjalin hubungan, selain dengan Nahdliyin, juga dengan sebagian generasi Muhammadiyah, saling menerbitkan tulisan dan diskusi-diskusi informal.

Salah satu wirid yang ditekuni Hamzah Sahal, adalah dawām qiyamil lail, minimal witir satu rakaat, setelah itu minimal baca al-Fātihah 11 kali, shalawat, istighfar, tasbih, dan hauqalah.

Hamzah Sahal tinggal di Bekasi-Jawa Barat (sejak 2010), bersama istrinya, Athia Yumna (peneliti di SMERU Institute), yang merupakan anak dari KH. Masyhuri Malik dan Nyai Hj. Kokom Komariah. Hamzah dan sang istri dikarunia dua anak: Nata Nawa Chaerany dan Naafi Aly.

Editor: MZ

Nur Khalik Ridwan Pengasuh Pesantren Bumi Cendekia, Gombang, Sleman; Penulis Buku Ensiklopedi Khittah Nahdlatul Ulama, Masa Depan NU, Sejarah Lengkap Wahabi, NU dan Bangsa 1914-2010: Pergulatan Politik dan Kekuasaan, dll.