Saba Mahmood secara kritis menginterogasi kritik feminis sekuler-liberal terhadap agama, menyoroti keterbatasan dan konsekuensi etisnya. Dengan menganalisis gerakan kesalehan perempuan di Mesir, Mahmood menunjukkan bagaimana kerangka pandang sekuler sering salah menafsirkan praktik keagamaan, memaksakan cita-cita Barat tentang otonomi dan kebebasan yang mengabaikan pengalaman hidup dan aspirasi etis subjek agama.
Sekularisme, yang berakar pada cita-cita Pencerahan (Aufklarung), berupaya memisahkan agama dari kehidupan publik, mendelegasikannya ke ranah privat. Kerangka ini memandang agama sebagai sumber konflik dan irasionalitas yang potensial, dan berailih menekankan keutamaan akal budi, individualisme, dan hak asasi manusia universal.
Meskipun sekularisme berperan penting dalam memajukan pluralisme dan membatasi otoritas agama dalam pemerintahan, sekularisme juga berkontribusi pada pemahaman agama yang reduksionis, yang sering kali membingkai agama sebagai hambatan bagi modernitas dan kemajuan.
Mahmood berpendapat bahwa kritik sekuler-liberal terhadap agama didasarkan pada pertentangan oposisi biner antara tradisi dan modernitas, dengan agama sering dikaitkan dengan yang pertama. Dikotomi ini mengasumsikan bahwa pembebasan memerlukan penolakan norma-norma agama demi otonomi dan rasionalitas individu.
Namun, pandangan semacam itu mengabaikan kompleksitas di mana individu terlibat secara sadar dengan tradisi agama, sehingga mereduksi praktik mereka menjadi sekadar tanda-tanda penindasan atau keterbelakangan.
Etnografi Mahmood mengungkapkan bahwa kritik semacam itu gagal memperhitungkan dimensi etika dan spiritual kehidupan beragama, serta beragam bentuk agensi yang diwujudkan oleh subjek-subjek agama.
Salah satu keterbatasan utama kritik sekuler-liberal terhadap agama adalah kecenderungannya yang menguniversalkan. Kerangka kerja sekuler sering kali berasumsi bahwa konsep-konsep seperti kebebasan, kesetaraan, dan agensi berlaku secara universal, terlepas dari konteks budaya dan sejarah.
Universalisme semacam ini dapat mengarah pada pemahaman yang sempit dan dangkal tentang praktik-praktik keagamaan, menafsirkannya melalui sudut pandang yang memprioritaskan pilihan dan otonomi individu di atas aspirasi kolektif atau spiritual.
Misalnya, kritik feminis Barat terhadap praktik-praktik seperti jilbab sering kali membingkainya sebagai simbol opresi terhadap perempuan, mengabaikan motivasi etis dan teologis yang mendasari praktik-praktik ini.
Mahmood menantang pandangan ini dengan menunjukkan bagaimana perempuan dalam gerakan kesalehan secara aktif menggunakan jilbab sebagai sarana untuk menumbuhkan kesederhanaan, kerendahan hati, dan kesalehan.
Bagi perempuan muslimah, agensi bukanlah tentang menolak norma-norma tetapi tentang menyelaraskan keinginan mereka dengan prinsip-prinsip ilahi, suatu bentuk disiplin diri yang sangat berarti dalam kerangka budaya dan agama mereka.
Dengan memaksakan cita-cita sekuler-liberal pada praktik-praktik tersebut, para feminis Barat mencoba menghapus suara dan pengalaman subjek-subjek religius, menunjukkan suatu bentuk kekerasan epistemik.
Kritik sekuler-liberal terhadap agama memiliki implikasi etis yang signifikan, khususnya dalam keterlibatannya dengan masyarakat non-Barat. Dengan membingkai praktik keagamaan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya menindas, cara pandang sekuler sering kali membenarkan intervensi yang berupaya mereformasi atau memberantas praktik-praktik ini atas nama kemajuan dan hak asasi manusia.
Namun demikian, intervensi semacam itu dapat merusak otonomi komunitas agama, memaksakan nilai-nilai eksternal yang mungkin tidak selaras dengan tradisi etika dan spiritual mereka. Saba Mahmood menggarisbawahi pentingnya menghormati pembentukan diri etis subjek-subjek religius, bahkan ketika praktik mereka menyimpang dari norma-norma sekuler.
Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa kehidupan etis tidak dapat direduksi menjadi satu model otonomi atau kebebasan, tetapi harus dipahami dalam manifestasi pluralistiknya. Bagi para perempuan dalam gerakan kesalehan, menumbuhkan kesalehan adalah proyek etis yang membutuhkan disiplin, usaha, dan komitmen.
Bentuk agensi semacam itu menentang asumsi sekuler-liberal bahwa kebebasan didefinisikan oleh tidak adanya kendala, dan sebaliknya menawarkan visi alternatif kehidupan etis yang berakar pada religiositas.
Tak dapat dielak, penyebaran global cita-cita sekuler-liberal telah menciptakan ketegangan dan paradoks baru dalam masyarakat di mana agama tetap menjadi aspek utama kehidupan publik dan pribadi. Dalam banyak konteks non-Barat, sekularisme dianggap sebagai pemaksaan kolonial, yang dikaitkan dengan upaya untuk memodernisasi dan membaratkan budaya lokal.
Warisan sejarah ini memperumit hubungan antara sekularisme dan agama, karena upaya untuk mempromosikan nilai-nilai sekuler sering kali menemui perlawanan dari masyarakat yang berusaha melestarikan tradisi keagamaan mereka.
Analisis Mahmood menyoroti bagaimana kritik sekuler-liberal dapat secara tidak sengaja memperkuat hierarki budaya, yang mengutamakan norma-norma Barat daripada praktik-praktik adat.
Misalnya, wacana hak asasi manusia internasional sering kali memprioritaskan otonomi individu daripada kesejahteraan kolektif atau spiritual, yang menciptakan ketegangan dengan komunitas agama yang menekankan kewajiban komunal dan otoritas ilahi.
Mahmood menyerukan pendekatan yang lebih dialogis yang mengakui pluralitas etika kehidupan manusia dan berupaya terlibat dengan tradisi agama dengan cara mereka sendiri.
Kita perlu mempertimbangkan kembali asumsi yang mendasari kritik sekuler-liberal terhadap agama dan perlu juga mengeksplorasi cara-cara alternatif ketika dihadapkan dengan praktik dan etika keagamaan.
Daripada menganggap praktik-praktik keagamaan sebagai peninggalan tradisi belaka, kerangka pikir sekuler mestinya bergulat menggali bagaimana individu dan komunitas memperoleh makna, tujuan, dan agensi dari iman mereka. Ini memerlukan pergeseran dari kritik yang berakar pada superioritas budaya ke pemahaman yang lebih empatik dan inklusif tentang kehidupan beragama.
Salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan menggunakan pendekatan relasional terhadap etika yang mengakui saling ketergantungan pandangan dunia sekuler dan religius. Pada titik ini, kita mestinya memikirkan ulang barangkali sekularisme dan agama tidak saling eksklusif tetapi dapat berada dalam interaksi yang dinamis, berbenturan untuk membentuk kembali satu sama lain dengan cara yang kompleks.
Dengan bergerak melampaui pertentangan biner, kita dapat memupuk dialog yang lebih inklusif dan penuh hormat antara perspektif sekuler dan religius, yang menghargai kontribusi etis keduanya.