Sebelumnya: Benarkah Tasawuf Tidak Bisa… (1)
Singkatnya, bahwa persoalan yang melanda masyarakat modern antara lain; pertama, gangguan psikologis berupa keterasingan diri yang berakibat timbulnya budaya konsumerisme. Kedua, dekadensi moral karena merasa bisa berbuat apa saja dalam menguasai dan mengeksploitasi sesama manusia tanpa ada perasaan hawatir berdosa. Ketiga, pertentangan ras dan agama. Orang yang kuat merasa bisa berbuat seenaknya terhadap yang lemah dengan dalih rasialisme dan agama. Keempat, adalah rusaknya lingkungan hidup.
Karena itu, tasawuf menjadi urgen bagi masyarakat modern karena, tasawuf bisa berfungsi sebagai alat pengendali dan pengontrol manusia agar, dimensi kemanusiaannya tidak tereduksi oleh modernisasi yang mengarah pada anomali nilai-nilai sehingga akan mengantarkan manusia pada tercapainya keunggulan moral.
Di samping itu, signifikansi dan relevansi tasawuf bagi problema masyarakat modern ialah, memberikan kesejukan batin dan disiplin syari’ah sekaligus. Tasawuf bisa dipahami sebagai pembentuk tingkah laku dan bisa memuaskan dahaga intelektual sesuai dengan kecenderungan rasional masyarakat modern. Untuk itu, menurut penulis, tasawuf yang bisa memenuhi kebutuhan tersebut adalah tasawuf falsafi.
Dalam tasawuf falsafi ada konsep “insan kamil”. Menurut konsep ini, semua makhluk, terutama manusia berasal dari pancaran Tuhan yang ditiupkan kedalamnya Ruh Tuhan. Karena itu, ketika ruh itu terpisah dari sumber awalnya, ia mulai merasa asing sendiri di belantara jasad. Meski setelah terpisah dari sumbernya, ruh senantiasa ingin berhubungan dengan asalnya agar terhindar dari kesepian dan keterasingan. Ketika kontak itu diputuskan, maka ruh akan menjerit dan menderita.
Hal ini sesuai dengan pandangan Abraham Maslow tentang hirarki kebutuhan manusia yang awalnya hanya terdiri dari lima kebutuhan dasar. Menjelang akhir hayatnya, Maslow menambahkan kebutuhan keenam setelah lima kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan akan transendensi diri atau mengatasi kedirian manusia. Dia pun memperkenalkan istilah transpersonal yang di identifikasikannya dengan realisasi akan kebutuhan transendensi diri.
Dengan menambahkan kebutuhan tingkat keenam ini, Maslow mendorong psikolog-psikolog sesudahnya untuk menerobos ke dunia mistik dan paranormal dalam gerakan kekuatan keempat, yang melahirkan cabang psikologi baru yang disebut sebagai psikologi transpersonal. Kemunculan psikologi transpersonal secara khusus bertitik tolak pada kajian empiris terhadap fenomena perkembangan jiwa manusia yang menghasilkan teori-teori spesifik antara lain: metaneed, nilai-nilai puncak, unitive consciousness, pengalaman puncak, pengalaman mistik, transendensi diri, esensi kesatuan wujud, dan lain-lain.
Maslow menggambarkan pengalaman puncak sebagai pengulangan akan kembalinya pengalaman oseanik janin di rahim yang menyatu dengan ibunya. Dengan kata lain, seseorang yang telah mencapai kondisi tranpersonal melalui puncak pengalaman spiritual akan memperoleh ketenangan dan kebahagiaan sejati.
Islam menempatkan Allah sebagai puncak tujuan ruhani, sandaran istirahatnya, sumber hidup, sumber kekuatan, dan sumber mencari inspirasi. Dengan mengarahkan jiwa kepada Allah, ruhani akan mengalami pencerahan karena ia berada pada ketinggian yang tak terbatas, sehingga jiwa kembali pada kondisi semula dan tidak terkontaminasi oleh dorongan-dorongan nafsu negatifnya.
Jika seseorang menghayati dan mengamalkan konsep ini maka ia tidak akan mengalami keterasingan diri serta terhindar dari kebiasaan konsumeris karena ia akan menyadari bahwa kebutuhan ruhani manusia sebenarnya bukan mengejar materi keduniawian.
Hikmah lain dari konsep Insan Kamil adalah, timbulnya kesadaran bahwa manusia sempurna merupakan cermin yang paling sempurna bagi Tuhan karena, ia memantulkan semua nama dan sifat Tuhan. Sedangkan makhluk-makhluk lain memantulkan hanya sebagian nama dan sifat-Nya.
Meskipun secara universal manusia merupakan Manusia Sempurna, namun secara pribadi-pribadi tidak semua manusia dapat menjadi Manusia Sempurna; hanya manusia-manusia pilihan khusus tertentu yang bisa menjadi manusia Sempurna. Manusia-manusia pilihan itu adalah para nabi dan para wali Allah.
Agar manusia bisa menjadi Manusia Sempurna, ia harus altakhalluq bi akhlaq Allah (berakhlak dengan akhlak Allah, mengambil akhlak Allah) atau al-takhalluq bi asma’ Allah (berakhlak dengan nama-nama Allah). Takhalluq di sini bukan berarti meniru secara aktif nama-nama Allah karena tugas ini di luar kemampuan manusia dan lagi pula upaya meniru nama-nama Allah sama dengan menyaingi Allah, yang akan menimbulkan arogansi luar biasa. Takhalluq berarti menafikan sifat-sifat kita sendiri dan menegaskan sifat-sifat Allah, yang telah ada pada kita, meskipun dalam bentuk potensial.
Di antara akhlak Allah adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang terhadap semua makhluq. Jika seseorang menghiasi dirinya dengan akhlak ini tentu ia akan memiliki sifat penuh kasih sayang, baik terhadap sesama manusia maupun terhadap makhluk lain. Dengan demikian ia tidak akan merusak melainkan akan menebarkan rahmat bagi alam sekitarnya.
Selain itu, konsep Insan Kamil juga akan menimbulkan rasa saling menghormati antar umat beragama. Jauh sebelum dialog antar iman didengungkan, ajaran tasawuf sudah menandaskan adanya titik temu agama-agama. Hal ini bisa dilihat dalam konsep Cahaya Muhammad (an-Nur al-Muhammadiyah) yang awalnya dibawa oleh al-Hallaj yang kemudian dilanjutkan oleh Ibnu Arabi.
Konsep tentang Nur Muhammad ini berkaitan dengan penciptaan makhluk oleh Tuhan. Menurutnya, Nabi Muhammad terbagi menjadi dua bagian. Salah satunya adalah terdahulu, yaitu cahaya azali yang terdahulu, yang ada sebelum adanya segala sesuatu, yang menjadi landasan semua ilmu dan ma’rifat.
Kedua, hakikat yang baru, yaitu nabi Muhammad saw dalam kedudukannya sebagai seorang Nabi maupun utusan pada ruang dan waktu tertentu. Cahaya terdahulu itulah yang juga menjadi landasan semua nabi yang sebelum Muhammad dan semua wali yang hidup setelahnya.
Pendapatnya tentang Nur Muhammad ini juga telah mendorongnya berkesimpulan tentang kesatuan agama, karena dalam kasus tersebut sumber semua agama adalah satu. Menurutnya, agama-agama itu diwajibkan atas manusia dan bukannya atas pilihan sendiri, tapi dipilihkan bagi mereka. Agama-agama Yahudi, Nasrani, Islam dan agama-agama lain adalah sebutan serta nama yang beraneka maupun berbeda. Tapi tujuan semuanya tidaklah berbeda.
Selanjutnya: Benarkah Tasawuf Tidak Bisa… (3)