Salman Akif Faylasuf Santri PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo

Benarkah Tasawuf Tidak Bisa Menyelesaikan Persoalan Kemasyarakatan? (3)

3 min read

Sebelumnya: Benarkah Tasawuf Tidak Bisa… (2)

Dalam konsep tasawuf falsafi ini Ibnu Arabi juga menegaskan bahwa Tuhan bersifat tanzih. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, dalam tataran tanzih, Tuhan secara hakekat untuk selamanya tidak akan dikenal oleh alam dengan pengetahuan rasa dan penyaksian, karena alam tidak memiliki kemampuan untuk mengenalnya.

Konsep tentang Tuhan merupakan ajaran sentral dari tiap-tiap agama. Namun, karena Tuhan tidak diketahui dan tidak dapat diketahui, maka dalam konsep tersebut, Tuhan digambarkan atau dinisbatkan sedemikian rupa sehingga timbul berbagai macam gambaran antara satu agama dengan agama yang lain.

Pengaruh kebudayaan terhadap bentuk atau tipe kepercayaan kepada Tuhan dibuktikan oleh sejarah agama-agama. Tuhan dalam kepercayaan orang-orang yang berkebudayaan patriarkal pastoral, yang berkebudayaan perayahan yang hidup dengan menggembala. Berbeda dengan Tuhan dalam kepercayaan orang-orang yang berkebudayaan matriarkal agrikultural, yang berkebudayaan peribuan yang hidup dengan bertani.

Bapa Samawi atau Bapa Surgawi adalah Tuhan tipikal orang-orang nomad yang hidup dari hasil kawanan ternak mereka. Kawanan ternak itu hidup di padang rumput, dan pada gilirannya padang rumput tergantung kepada hujan dari langit. Ibu Bumi atau Ibu Pertiwi adalah Tuhan tipikal para petani yang hidup dari hasil tanah atau bumi.

Sekali lagi, semua deskripsi dan ungkapan tentang Tuhan itu adalah simbol (yang menunjukkan) Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Di mata kaum monoteis, kekeliruan kaum politeis terletak pada penuhanan mereka akan simbol-simbol, seperti langit, matahari, bulan dan bumi. Kaum politeis tidak lagi sepenuhnya bertuhan kepada Tuhan, tetapi telah bertuhan kepada simbol-simbol.

Mengingat pengalaman iman seseorang tidak selalu sama, maka pluralitas persepsi dan keyakinan tentang Tuhan akan selalu bertahan sepanjang zaman dan pada gilirannya akan melahirkan pluralitas agama. Pluralitas ini akan semakin lestari manakala masing-masing agama yang ada menawarkan doktrin dan teologi yang berbeda-beda, kesemuanya mempunyai klaim sebagai agama yang sahih dan punya hak hidup serta, semuanya menawarkan jalan keselamatan yang absolut.

Baca Juga  [Resensi] Ahmadiyah dan Absurditas Tafsir Undang-undang Penodaan Agama

Di mata Ibnu Arabi, orang yang menyalahkan atau mencela kepercayaan-kepercayaan lain tentang Tuhan adalah orang yang bodoh, karena Tuhan dalam kepercayaannya sendiri, sebagaimana dalam kepercayaan-kepercayaan yang disalahkannya itu, bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, karena Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya tidak dapat diketahui.

Orang seperti itu mengakui hanya Tuhan dalam bentuk kepercayaannya atau kepercayaan kelompoknya sendiri, dan mengingkari Tuhan dalam bentuk-bentuk berbagai kepercayaan lain. Padahal, Tuhan yang menampakkan diri-Nya dalam semua bentuk kepercayaan-kepercayaan yang berbeda itu adalah satu dan sama.

Pandangan Ibnu Arabi tersebut tentunya akan melahirkan sikap inklusif dan toleran terhadap kepercayaan dan agama orang lain. Urgensi sikap inklusif tersebut sangat diperlukan, terutama di tengah perkembangan dunia kontemporer saat ini. Di mana akibat globalisasi informasi dan transformasi, umat manusia tidak bisa hidup, berpikir dan bertindak isolatif tanpa mempertimbangkan umat beragama lain.

Di sinilah, era modern akan membawa kepada pentingnya nilai keagamaan, kebutuhan terhadap toleransi dan perlunya memahami orang lain. Karena pluralisme keagamaan adalah, kenyataan yang tidak bisa dielakkan sekaligus merupakan fenomena nyata yang terjelma dalam semua episode sejarah kehidupan manusia. Tidak diturunkan agama dalam konteks ruang dan waktu yang sama, tetapi dalam penggalan kontinum ruang dan waktu.

Bahwa mengisi hidup dengan muatan spiritual bisa menjadi paradigma baru bagi manusia di masa mendatang. Namun di balik optimisme tersebut, muncul pertanyaan tentang metodologi pengkajian tasawuf yang bagaimana yang mampu menyangga kebutuhan spiritualitas manusia modern?

Karena tasawuf in old fashion yang hanya mengarahkan pelakunya bersifat otonomi dengan unsur rasa dzauq, menjadi salah satu pendekatan dalam mengarungi dunia tasawuf hanya, melahirkan kesalehan individual dan melupakan dimensi lingkungan sosial. Seakan-akan tasawuf hanya menjadikan seseorang shaleh secara personal bukan sosial. Padahal salah satu tujuan diturunkannya agama Islam adalah rahmatan lil alamin.

Hampir semua pengalaman spiritual yang dialami oleh para sufi bisa dikatakan selalu mengarah kedalam, dengan sendirinya bersifat subyektif. Karena itu, sangat sulit untuk dikomunikasikan apalagi ditransformasikan pada orang lain. Karena sifatnya yang tersembunyi itu, maka tidak ada paradigma yang bisa digunakan untuk menguji keabsahannya secara aklamasi.

Baca Juga  Benarkah Tasawuf Tidak Bisa Menyelesaikan Persoalan Kemasyarakatan? (1)

Tampaknya, untuk bisa keluar dari semua persoalan tersebut tidak ada jalan lain bagi tasawuf, selain melihat ilmu-ilmu sosial modern yang bisa dijadikan landasan berpikir selain al-Qur’an dan Hadits dalam rangka menjawab perubahan zaman. Salah satunya, adalah filsafat yang bisa dijadikan partner dalam melakukan formulasi, reformulasi dan evaluasi serta reevaluasi atas berbagai doktrin dan ajaran.

Semua doktrin dan ajaran tersebut diposisikan bukan sebagai barang jadi, akan tetapi sebagai sesuatu yang mesti direformulasi serta reinterpretasi secara simultan sesuai dengan kebutuhan jaman, karena sifatnya yang historis bukan normatif. Dengan bantuan ilmu filsafat maka, tasawuf dapat mempertajam rumusannya untuk menghindari agar tidak terjebak pada sifat transendental-spekulatif. Sehingga, bisa ditemukan bentuk metodologi pengkajian tasawuf yang lebih memenuhi standar keilmuan yang bisa disepakati bersama, dan memberikan kontribusi signifikan bagi umat secara keseluruhan.

Tasawuf yang dimaksud tentunya, adalah tasawuf yang telah diformulasikan secara kontekstual-humanis-sosiologis dan bersifat social salvation tanpa meninggalkan kedalaman spiritual individual. Dengan demikian, Islam yang di dalamnya bersemayam tasawuf secara dinamis, akan senantiasa mengawal zaman dan selalu tercerahkan serta mampu memberikan jawaban solutif terhadap setiap problem masyarakat modern. Yang jelas, tasawuf sebagai inti dan puncak ajaran Islam, bahwa tasawuf harus dikaji, ditelaah, dan dipahami serta dicari kebenarannya dengan tiga perspektif; filosofis, sosio-historis, dan spiritual-mistikal.

Dari sini kita tahu bahwa, pertama tasawuf adalah salah satu aspek yang ada di dalam agama Islam yang memiliki epistemologi tersendiri, yaitu epistemologi irfani. Karena itu, diperlukan kearifan untuk menilainya. Seseorang jangan menilai tasawuf dengan pendekatan epistemologi burhani atau bayani. Sebab, jika menilai tasawuf dengan epistemologi burhani atau bayani maka, yang terjadi adalah penilaian yang keliru terhadap tasawuf.

Baca Juga  Nasihat-nasihat Dokter Kepada Pasien [2]

Kedua, tasawuf tidak melulu hanya menggunakan epistemologi irfani saja, namun juga menggunakan epitemologi burhani dan bayani. Ini terlihat, terutama dalam tasawuf falsafi. Penggunaan epitemologi burhani dalam tasawuf falsafi terlihat dalam penjelasannya tentang Insan Kamil yang terpengaruh oleh pemikiran filsafat Plato.

Sedangkan penggunaan epistemologi bayani dalam tasawuf ini, terlihat dalam doktrinnya bahwa tasawuf adalah jalan spiritual menuju Tuhan, yang membuahkan akhlak mulia harus berpedoman kepada syara’ atau syari’at. Lebih dari itu, tasawuf mempunyai nilai guna untuk menyelesaikan permasalahan kemasyarakatan seperti, dekadensi moral dan sikap intoleransi dalam beragama. (mmsm)

Salman Akif Faylasuf Santri PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo