Abdul Kadir Riyadi Guru Besar Tasawuf UIN Sunan Ampel Surabaya

Manusia, Tangan Tuhan dan Kebebasan Diri: Kreativitas, Ilmu, dan Iman [3]

3 min read

Proses aktualisasi diri ini haruslah diwujudkan jika manusia ingin tetap hidup dan bertahan di dalam alam yang semakin keras ini. Agar manusia bisa mempertahankan diri dalam pertarungan hidup-mati, ia harus berbuat dan bekerja. Demikian pula, agar manusia bisa makan, ia harus bercocok tanam. Manusia menciptakan pertanian karena didorong oleh kebutuhannya sendiri untuk tetap hidup. Karenanya, atas inisiatifnya sendiri, manusia harus menciptakan sesuatu di luar tatanan mekanis dalam eksistensi wujudiah ini.

Walhasil, manusia adalah makhluq yang independen jika dilihat dari sudut pandang tatanan mekanis. Namun dari sudut pandang moral, etis dan religi, ia harus tetap tunduk pada aturan ilahiyyah yang menatanya dan membimbingnya. Mungkin pada tataran moral di mana manusia harus tunduk pada sebuah tatanan di luar dirinya, ia merasa ada keterpaksaan. Namun pada sisi lain, yaitu pada tataran mekanis, ia akan menemukan kebebasan penuh karena ia leluasa untuk melakukan apa saja guna mencapai kemajuannya.

Meminjam istilah syariat, Allah telah menetapkan beberapa hal yang haram dan yang halal. “Yang halal itu jelas, demikian pula yang haram”. Namun ada pula hal-hal yang masuk wilayah abu-abu yang sepenuhnya menjadi hak prerogatif manusia untuk mengelolahnya. Nah pada wilayah abu-abu inilah manusia bebas untuk berkembang dan mengaktualisasikan dirinya.

Dengan ungkapan lain, di wilayah ini manusia bisa “menciptakan” dirinya sendiri. Alam tidak pernah menyediakan bahan siap saji bagi manusia. Karena itu, manusia harus menciptakan sendiri bahan siap saji itu dari bahan mentah yang telah tersedia. Tuhan sendiri tampaknya memiliki tujuan terselubung mengapa Dia tidak menyediakan bahan siap saji itu. Sepertinya, ketersediaan bahan mentah—dan bukan bahan matang—adalah fondasi bagi kesejahteraan manusia itu sendiri.

Baca Juga  Kejujuran Seorang Penjaga Kebun

Tidak bisa dibayangkan jika semua fasilitas di alam ini sudah matang dan siap saji, maka yang akan terjadi adalah justru ketidaktersediaan bahan-bahan tertentu untuk membuat barang tertentu. Bahan matang tidak bisa diolah menjadi bahan lain. Tanah liat—yang merupakan bahan mentah—bisa diolah dan dimanfaatkan menjadi genteng atau bata. Tapi batu bata—yang merupakan bahan siap saji—tidak bisa dimanfaatkan sebagai genteng. Karena itu, ketersediaan bahan mentah justru membuka lebar kesempatan bagi manusia untuk mempermudah hidupnya dan meningkatkan kesejahteraannya.

Pada sisi lain, manusia akan menemukan kebanggaannya ketika berhasil melakukan inovasi dan kreativitas. Esensi hidup adalah kreativitas. Pesan terselubung dari Tuhan menyebut manusia sebagai khalifah adalah kreativitas. Seseorang baru bisa disebut khalifah kalau ia sudah berkreasi. Sebutan itu lebih sebagai suatu penghargaan; penghargaan kepada mereka yang mampu menunjukkan kemanusiaannya dan kenalarannya. Yang belum mampu kreatif, baru mencapai tingkatan manusia biasa yang dalam al-Qur’an disebut sebagai insān atau bashar.

Perhatikan Q.S al-Baqarah [2]: 30 di mana Allah berfirman “dan ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat bahwa Aku menjadikan khalifah di muka bumi”. Dalam ayat ini tidak ada kata-kata manusia padahal khalifah adalah seorang manusia. Ini memberikan kesan seolah Tuhan ingin mengatakan bahwa khalifah memiliki derajat yang berbeda dengan manusia pada umumnya.

Perbedaan itu semakin jelas ketika kita mempehatikan ayat-ayat berikutnya yang mengkaitkan khalifah dengan status dia sebagai seorang ilmuan. Pada ayat 31 dijelaskan bahwa Tuhan mengajari khalifah tentang asmā’ (nama-nama benda), padahal Dia tidak pernah melakukan hal yang sama kepada para malaikat.

Di sinilah letak perbedaan antara khalifah dan malaikat pada satu sisi, dan khalifah dengan manusia biasa pada sisi lain. Manusia biasa yang tidak berilmu tidak dapat disebut sebagai khalifah. Sebaliknya, seorang khalifah yang telah mencapai derajat sebagai seorang ilmuan tidak dapat disejajarkan dengan manusia pada umumnya. Dalam surah al-Mujādalah [58]: 11, Tuhan secara jelas menegaskan “Dia mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan yang berilmu”. Menariknya dalam kata-kata “mengangkat” Tuhan memilih menggunakan kata kerja mudhāri’ (present tense) yang mengindikasikan bahwa proses pengangkatan derajat itu dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan.

Baca Juga  Falsafah Tembang Lir-Ilir Sunan Kalijaga

Nah, ilmu pula yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang kreatif dan mampu “menciptakan” dirinya sendiri. Proses tumbuh kembangnya manusia tidaklah terjadi dengan mudah, sederhana dan langsung. Lingkungan selalu memaksanya untuk kreatif dan memperbaiki hidupnya. Karena lingkungan selalu berubah secara terus menerus, manusia dituntut untuk terus kreatif dan mengembangkan daya “ciptanya”. Jika tidak, ia tidak akan mampu hidup dan bersaing.

Bagian penting dari kreativitas dan daya cipta manusia adalah keimanan. Mari kita kembali kepada ayat di atas dalam surah al-Mujādalah di mana Tuhan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu. Objek pembicaraan bukan saja orang yang berilmu tapi juga—dan ini lebih penting—orang yang beriman. Bahkan iman dalam ayat itu disebutkan terlebih dahulu kemudian disusul dengan ilmu; sesuatu yang menjelaskan bahwa iman harus menjadi landasan ilmu. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah imannya, maka ia tidak bertambah apa-apa kecuali semakin jauh dari Tuhan”.

Ini cukup menjelaskan bahwa yang paling penting dalam keseluruhan kerangka hidup ini adalah iman, moral dan etika. Ilmu harus diarahkan untuk menjadi penopang bagi upaya kita menjadi manusia yang beriman dan bermoral. Agama memang menghendaki adanya kemajuan intelektual, namun di atas itu yang lebih penting adalah kemajuan dan kemapanan iman dan moral. Dengan ungkapan lain, akidah dan tasawuf harus menjadi jenderal dalam kehidupan setiap Muslim lalu ditopang dengan cahaya ilmu.

Ilmu yang tidak didasari pada iman dan moralitas akan melahirkan manusia-manusia robot yang tidak berperasaan dan tidak bernaluri. Kemajuan materi yang dicapai oleh ilmu dan tidak didasari pada iman dan moral hanya akan menghasilkan kegelisahan yang kadang—bahkan sering—mengerikan. Marilah kita melihat nilai kemajuan yang sesungguhnya yang dicapai oleh anak Adam pada kemajuan ilmu yang dilandasi pada iman dan moralitas bukan pada kemajuan ilmu yang lepas dari kontrol keduanya.

Baca Juga  Pengorbanan Siti Hajar di antara Ikhlas atau Rida

Di sinilah peran “Tangan” Tuhan dalam mengatur kehidupan manusia. Di saat Tuhan memberikan kebebasan kepada manusia untuk berkembang, Dia pun mengingatkan bahwa kebebasan itu harus tetap berada dalam koridor kemanusiaan yang wajar dan terkendali. Kebebasan yang tak terkendali akan menghasilkan ketamaan dan kerakusan. Dan kerakusan ini pada gilirannya akan menghasilkan tangan besi yang akan menelanjangi sesama umat manusia dan mengerdilkan alam berikut sumber-sumber kekayaan yang ada di dalamnya. [AZH, MZ]

Selesai

Abdul Kadir Riyadi Guru Besar Tasawuf UIN Sunan Ampel Surabaya

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *