Bau busuk itu menguar begitu saja ke rumah orang-orang yang berada di sisi timur kampungku. Sebuah bau yang sangat menyengat di hidung dan membuat dada sesak jika menghirupnya. Tentu saja tidak ada orang yang secara suka rela menghirup aroma busuk itu, tapi tidak ada pilihan lain, bau itu seperti tak peduli dengan mereka. Seperti halnya si Tuan Tanah yang sengaja menciptakan bau itu, sama sekali tak peduli dengan orang-orang kampung yang mulai terancam hidupnya.
“Baunya busuk sekali.” kata adikku.
“Seperti bau bangkai tikus.”
“Bukan, seperti bau tubuh si Tuan Tanah. hahaha”
“ssttttt… Jangan keras-keras.” si kawan menimpali sambal menaruh jari telunjukknya di depan bibirnya yang dimancungkan.
Obrolan yang tampak memendam amarah itu baru kudengar malam ini. Ketika teman-teman adikku datang ke rumah untuk bermain karambol. Kudapati mereka mengutuk si Tuan Tanah berkali-kali sambil membenahi penutup hidungnya. Dari situ aku mulai tahu, ternyata alasan mereka memakai masker tadi adalah karena bau busuk yang menguar liar.
***
Anehnya cara mereka mengutuk si Tuan Tanah itu lebih mirip orang yang sedang berbisik. Ada inti pembicaraan tapi hanya sebatas mereka saja yang mendengar.
Aku yang diam-diam mengamati mereka pun meyakini kalau cara mereka mengutuk hanya sebatas berbisik, mereka hanya akan menciptakan desas-desus saja. Dan bau busuk itu pun akan tetap menguar bebas.
“Kenapa tak langsung protes saja?” tanyaku pada mereka yang asik bermain karambol.
“Protes?” Ia balik bertanya.
“Iya protes langsung, biar masalah bau busuk ini cepat selesai.”
“Kedengarannya memang mudah sekali bilang protes bang, tapi untuk menciptakan niatan protes saja sangat sulit sekali di kampung kita ini.”
“Ampun deh, baunya!” tanganku reflek menutup hidung ketika tiba-tiba angin berhembus kencang di tengah-tengah obrolan kami.
“Aku masuk ke rumah saja ya. Aku tak kuat seperti kalian yang tampak sudah kebal ini.”
“Kebal apanya!” serentak mereka yang sedang bermain karambol membalas kata-kataku, tentu dengan pandangan kesal padaku. Sedangkan aku buru-buru melenyapkan diri ke dalam rumah dan menutup pintu.
Suara teman-teman adikku yang sedang bermain karambol di teras memang masih sayup-sayup terdengar dari dalam rumah. Tapi yang kudengar hanya sebatas tawa juga cemoohan satu sama lain seputar karambol saja. Hanya sesekali saja suara mereka yang tetap lirih itu lagi-lagi mengutuk bau busuk yang tiba-tiba menguar di tengah mereka karena terbawa angin.
***
Aku mendekati bapak yang bersantai di ruang keluarga sambil menikmati ubi yang baru dipanen dari ladang tadi pagi.
“Masih hangat nak. Ayo ambil! Enak lho.”
“Ya pak.”
“Lama kamu ndak pulang nak. Kira-kira sudah berapa tahun kamu merantau nak?”
“Tujuh tahun pak, dan hanya pulang menjelang lebaran seperti ini saja.”
“Syukurlah tahun ini kamu bahkan bisa penuh menikmati ramadan di rumah. biasanya kan satu hari sebelum lebaran baru bisa pulang.”
“Banyak yang berubah ya pak di sini?”
“Iya, seperti yang juga baru kamu dengar dari adikmu Gusti dan teman-temannya tadi. Kampung kita sedang dilanda menguarnya bau busuk yang menyiksa.”
***
Bau busuk ini datang dari kebun si Tuan Tanah yang ada di sisi timur kampung kita. Mungkin selama dua bulan di rumah kamu belum pernah merasakan bau busuk seperti ini, dan baru merasakannya hari ini.
“Tapi aku pernah mendengarnya pak.”
Tentu saja kamu sudah mendengarkan desas-desus itu, mungkin desas-desus itu menjadi sangat gamblang bagimu saat merasakan sendiri bau busuk itu tadi. Tapi bapak minta jangan pernah bersuara lantang soal ketaknyamanan ini dengan harapan untuk didengar si Tuan Tanah.
“Mengapa tak boleh pak? Aku sudah berencana untuk mengajak teman-teman Gusti untuk menemui si Tuan Tanah.”
“Itu akan sia-sia.”
“Kan belum dicoba pak?”
“Kamu belum tahu betul apa penyebab bau busuk ini kan?”
“Iya sih.”
“Kalau ingin menghilangkan bau busuk ini bukan soal kemenanganmu melawan si Tuan Tanah. Kamu harus memerhatikan pula perjalanan hidup bermasyarakat orang-orang di sini.”
“Sampai kapan kita semua akan bertahan dengan kondisi yang tak nyaman ini pak?”
Orang-orang di pinggir kampung ini, atau yang terdampak bebauan busuk ini hanya mengeluh tapi tak pernah melawan. Satu-satunya cara bapak dan orang-orang ini melawan adalah mendoakan agar si Tuan tanah sadar dengan perbuatannya itu.
“Hanya sebatas itu pak usahanya?”
“Iya, bahkan orang-orang dewasa termasuk bapak sudah lelah hanya berbisik menciptakan desas-desus seperti adikmu. Tapi bagi anak-anak seperti adikmu itu adalah sebuah cara mereka untuk mengutuk perbuatan si Tuan Tanah tanpa harus membuat kegaduhan.”
“Bau itu dari kebun jeruk ya pak?”
***
Tak kusangka bau busuk itu bisa menembus hingga ke dalam rumahku. Suatu hal baru yang membuatku tak nyaman karena menghirupnya.
“Mau kemana le?”
“Cari kopi di warung Mbom Mim pak.”
Aku pun memilih keluar rumah dari pada harus menghirup bau busuk yang menyesakkan dadaku. Keluar rumah dengan sepeda motor kesayanganku, aku melaju menyusuri jalan kampungku yang ternyata menyimpan banyak kenangan masa kecilku. Tentunya aku juga melewati kebun jeruk yang menguarkan bau busuk itu.
Sekilas sambil menutup hidung aku melihat buah-buah jeruk itu tampak segar. Tiba-tiba aku berpikir tentang penyebab bau busuk itu. Kenapa bau busuk itu justru datang dari sebuah kebun dengan buah jeruk yang tampak segar. Bukankah aroma jeruk seharusnya sangat menyegarkan seperti halnya ketika buah itu dinikmati siang hari.
“Kalaupun jeruk itu busuk, seharusnya baunya tak menyesakkan dada seperti yang kurasakan tadi?” pertanyaan itu muncul saat aroma kopi yang segar kuhirup dalam-dalam. Menggantikan pengalaman indera peciumanku yang baru saja tersakiti akibat ulah bau busuk di rumah tadi.
Kukira benar juga, seharusnya busuknya buah jeruk tak akan menguarkan bau yang sangat menyesakkan dada. Mungkin juga baunya tak akan sejauh itu menguar hingga menembus celah tembok rumah.
“Yang kulihat buah jeruk tadi pun tampak segar, lalu bau itu apa mungkin dari sana?” pertanyaan tentang muasal bau busuk itu pun kembali muncul dalam benakku.
Aku pun menduga kembali dan mencoba mencari tahu muasal bau busuk itu. Segala kemungkinan yang memungkinkan menjadi musabab menguarnya bau busuk itu kumunculkan semua. termasuk kemungkinan buah jeruk itu busuk dalam jumlah banyak. Tapi itu pun segera kusangkal sendiri. Sebab aku tadi melihat jeruk-jeruk itu tampak baik-baik saja, kulitnya tak menunjukkan bahwa dia busuk.
“Jangan-jangan ada yang membuang bangkai sapi di kebun jeruk itu?” tetiba tanya itu muncul dengan begitu gamblangnya. Ini salah satu kemungkinan yang bisa dinalar. Tapi bangkai sapi milik siapa? Jika di waktu kecil aku melihat kambing bapak yang mati yang ukurannya lebih kecil dari sapi saja kalau mati dikubur, apa mungkin justru sapi yang mati akan dibuang begitu saja di kebun.
Perkiraanku jika ada bangkai sapi yang benar-benar dibuang di kebun jeruk itu, pasti dia adalah orang yang menaruh dendam pada si Tuan Tanah.
“Tapi bukankah si Tuan Tanah orang baik? Dia juga seorang yang memiliki gelar Haji.” Kini kuurut kepalaku yang sebenarnya tak pusing, hanya saja sesak dari bau busuk tadi masih sedikit membekas di kepalaku.
***
“Kenapa melamun?” Tanya Yadi mengagetkanku
“Suntuk di rumah.”
“Pantas saja kamu datang ke sini. Biasanya kan kamu minum kopi harus ke kecamatan dulu.”
“Hari ini pengen ketemu Mbok Mim. Kemarin belum sempat silaturahmi ke rumahnya. Kamu kan tahu ini masih suasana lebaran.”
“Iya meskipun lebaran tahun ini sepi, tapi ini tetap saja lebaran kan?”
Kedatangan Yadi di warung Mbok Mim sedikit memberiku jeda untuk menguraikan kerumitan muasal bau busuk yang menyesakkan dadaku. Aku pun kembali meminum kopi yang mulai dingin, bukan sekedar minum tapi juga menikmati dari sesap kesesap tentunya.
“Sejak kapan kamu di rumah?”
“Sudah hampir dua bulan.”
“Ah, kamu tak pernah keluar ya, betah sekali di rumah?”
“Haha, iya kebetulan ada yang perlu dikerjakan di rumah sebelum lebaran. Dan baru sempat keluar hari ini.”
“Gimana kirimannya?”
“Kiriman?”
“Iya kiriman akhir bulan.”
“Jangan bercanda Yad, kamu ngirim apa?”
“Bukan aku, tapi si Tuan Tanah.”
“Tidak ada kiriman apapun dari si Tuan Tanah di rumahku kok?”
“Kamu tak paham juga ya. Nanti sepulang dari sini coba kamu perhatikan di bawah pohon jeruk milik si Tuan Tanah itu.”
“Memangnya kenapa?”
“Lihat saja dulu!”
***
Ternyata lumayan juga kopi buatan Mbok Mim, sisa ingatan tentang bau busuk yang menguar dari kebun jeruk itu benar-benar hilang. Apa lagi ditambah obrolanku dengan Yadi, sungguh menyegarkan sekali.
Namun tentang kiriman dari Tuan Tanah ikut mengambil alih rencanaku mencari jawaban tentang dari mana muasal bau busuk di kebun jeruk milik Tuan Tanah itu. Karena rasa penasaran atas apa yang dikatakan Yadi tentang kiriman dari Tuan Tanah. Aku pun menyempatkan berhenti di kebun jeruk milik Tuan Tanah.
Kuparkir sepeda motorku, lalu aku mencoba mengamati lebih dekat di bagian bawah batang-batang pohon jeruk itu. Saat mata ini mulai mencari apa yang bisa kulihat malam ini, tiba-tiba saja angin berhembus cukup kencang.
“Sial, baunya busuk sekali.” Sambil buru-buru pergi dan pulang ke rumah, aku mulai menyadari, muasal bau busuk itu dari kotoran-kotoran yang ada di bawah pohon jeruk.
Sesampainya di rumah, bau itu ternyata masih menguar terbawa angin. Mata yang kucoba pejamkan pun tak segera mematuhi keinginanku, sebab sesak akibat bau busuk itu sangat membuatku tak nyaman. Aku berharap besok akan tahu yang sebenarnya. Tentang kotoran-kotoran yang ada di bawah pohon jeruk itu. [AA]