Ainur Rofiq Al Amin Dosen Pemikiran Politik Islam UINSA dan UNWAHA Tambakberas serta pengasuh Al Hadi 2 PP Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang

Dari Imam-Mujtahid ke Presiden, Dari Imam-Quraisy ke Imam Mahdi

3 min read

Konstruksi apik dicetuskan KH Wahab Chasbullah dalam berpegang kitab kuning yang tetap bisa mengikuti perkembangan zaman. Konstruksi itu adalah berkaitan dengan wacana imam a’dzam (pemimpin agung dunia Islam).

Dalam kitab kuning yang merupakan pegangan para kiai, dijelaskan bahwa untuk menjadi imam a’dzam, syaratnya harus seorang mujtahid. Baca semisal Hāsyiyat al-Bājūrī alā Ibn Qāsim al-Ghuzī, al-Ahkām al-Sultānīyah, serta Fath al-Wahhāb.

Keapikannya terlihat dimana Kiai Wahab konsisten merujuk kitab kuning tentang wacana imam a’dzam, saat mau membingkai keabsahan Soekarno sebagai presiden dalam pranata negara bangsa (baca artikel saya di situs Arrahim.ID–klik di sini)

Alasan Kiai Wahab tentang kualifikasi orang sebagai mujtahid yang sudah tidak ada semenjak 700 lalu menjadikan adanya peluang alternatif tentang kriteria seseorang pemimpin. Kemudian Soekarno disemati sebagai walīy al-amr al-darūrī bi al-syawkah setelah sebelumnya Kiai Wahab berdiskusi dengan para kiai di beberapa pesantren.

Dengan demikian, hemat saya, presiden Indonesia bisa disebut minatur dari khalifah alias Khalifah kecil. Pun demikian, NKRI adalah khilafah kecil.

Begitulah kelenturan kiai pesantren dalam melihat konstelasi politik. Mereka tidak hanya terpaku satu konstruksi politik yang menjadikan tidak ada alternatif lain, kayak yang dialami Hizbut Tahrir.

Saya contohkan wacana lain tentang kelenturan tapi masih berkelindan dengan kepemimpinan politik. Dalam Hāsyiyat al-Bājūrī alā Ibn Qāsim al-Ghuzī dijelaskan bahwa imāmah (pemimpin dalam politik) bisa legal melalui:

Pertama, dengan baiat oleh ahl al-hall wa al-‘aqd.

Kedua, dengan penunjukan imam sebelumnya atas seseorang yang mempunyai kualifikasi menduduki jabatan imāmah. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa juga dengan cara ketiga seperti kutipan di bawah ini:

إستيلاء شخص مسلم ذى شوكة متغلب على الامامة ولو غير اهل لها كصبي وامراة وفاسق وجاهل فتنعقد إمامته لينتظم شمل المسلمين وتنفذ أحكامه للضرورة

Baca Juga  Mendadak Ngustad: Antara Nafsu dan Komitmen Beragama

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa di kitab kuning tetap menyediakan gagasan alternatif bila terjadi hal yang tidak “diinginkan” dalam gagasan ideal.

Beda dengan Hizbut Tahrir yang kaku dengan gagasannya. Namun anehnya mengklaim khilafah agung telah berjalan terus menerus sejak masa Nabi hingga 1924. Lihat Taqiy al-Dīn al-Nabhānī dalam al-Dawlah al-Islāmīyah halaman 135-140.

Masih terkait dengan seorang imam a’dzam, kali ini beranjak kepada syarat lain dari imam a’dzam harus berasal dari suku Quraisy. Syarat Quraisy ini juga secara ideal akan menggugurkan klaim HTI bahwa khilafah telah berlangsung sejak masa sahabat Nabi hingga Turki Usmani (baca artikel saya di situs Arrahim.ID–klik di sini)

HTI tidak mengharuskan gagasan khalifahnya dari suku Quraisy dan mujtahid. Bagi mereka, kalau bisa khalifah sebagai seorang mujtahid dan dari suku Quraisy, maka itu adalah yang paling utama. Tapi bila tidak pun, juga tetap absah. Statemen ini bisa ditelusuri dalam karya otoritatif mereka seperti kitab Nizām al-Hukm fī al-Islām halaman 55-56 dan kitab Ajhizat Dawlat al-Khilāfah halaman 25.

Dalam rancangan UUD Hizbut Tahrir disebutkan bahwa khalifah yang penting adalah pria, Muslim, merdeka, baligh, berakal, adil, dan mampu (lihat UUD HT pasal 31 dalam kitab Nizām al-Islām halaman 95). Dalam UUD HT yang ada di kitab al-Dawlah al-Islāmīyah karya Taqīy al-Dīn al-Nabhānī di halaman 258 pada pasal 30 dan 31 malah disebutkan tidak disyaratkan khalifah yang akan dibaiat harus punya kualifikasi afdhal (seperti mujtahid dan Quraisy—pen.), syarat dianggap cukup bila dia lelaki, Muslim, merdeka, baligh, berakal dan adil (syarat mampu belum dicantumkan).

Di atas terlihat liberasi Hizbut Tahrir. Bagi saya, wacana kualifikasi Quraisy dan mujtahid bagi seorang imam a’dzam tetap penting. Masalah mujtahid sudah dipecahkan oleh Kiai Wahab. Sedangkan masalah Quraisy hemat saya dapat memakai nalar berikut.

Baca Juga  Beragama di Tengah Populisme Pandemi

Perlu diketahui, hadis tentang Quraisy ini adalah mutāwatir. Hal ini bisa diteliti dalam buku Nazm Mutanatsir min al-Hadīth al-Mutawātir karya al-Faqīh al-Muhaddith Abī ‘Abd Allah Sayyidi Muhammad b. Abī Faydl Mawlānā Ja‘far al-Hasani al-Idrīsī (al-Kattānī).

Dengan demikian, di era kontemporer agar cita ideal imam a’dzam tetap berjalan sesuai dengan kitab kuning, maka penting dikaitkan dengan era futuristik, yakni masalah Imam Mahdi. Imam Mahdi adalah gagasan yang diterima mayoritas aliran-mazhab dalam Islam, bahkan agama lain juga mengakui dan tentu sesuai dengan konstruksi kitab pegangan mereka (baca di situs: www.antvklik.com)

Al Kattani menyebut hadis tentang Imam Mahdi juga mutawātir (lihat di halaman 236 tentang:

احاديث “خروج المهدي الموعود المنتظر الفاطمي”

Walhasil, cukup bagi kita menunggu Imam Mahdi yang mutawātir hadisnya dan pasti dia Quraisy untuk memimpin dunia. Kapan, di mana, dan siapa? Bukan urusan kita.

Bagi saya, kalau itu janji Tuhan, maka saat Tuhan menurunkan janjinya hati kita akan digerakkan oleh-Nya untuk nantinya mengetahuinya.

Untuk saat ini yang penting kita nguri-nguri negara bangsa dengan pemimpin atau presiden yang rule of game-nya telah disepakati bersama. Kita mengisi dan memperbaiki yang kurang sesuai kapasitas kita.

Dengan demikian, tidak akan menguras tenaga dan pikiran saling debat yang pro khilafah akan bilang, “Tanpa khilafah problem umat masih terus muncul dan tidak bisa diselesaikan”. Sedangkan yang anti-khilafah Hizbut Tahrir akan menjawab, “Boro-boro menyelesaikan problem umat, lha problem diri sendiri yakni mau mendirikan khilafah sudah puluhan tahun gagal dan banyak negara menolak. Kapan problem umat akan dipecahkan.”

Untuk itu, wahai saudaraku tercinta dari simpatisan eks-HTI, mari kita perbaiki bangsa ini bersama sebagaimana telah dirintis para pendiri bangsa.

Baca Juga  Menulis sebagai Personal Branding

Buat para pejabat, jangan korupsi sehingga tidak ada peluang bagi kelompok radikal untuk mencari celah bahwa banyak korupsi ini karena tidak diterapkannya khilafah. Walau sebenarnya pada masa khilafah tetap saja ada perilaku penguasa yang baik dan tidak baik.

Maaf untuk saudaraku non-Muslim, tulisan ini dalam rangka agar milenial NU tidak terpengaruh dengan gagasan khilafah HTI, dengan tetap berpegang kepada NKRI yang kita bangun bersama. [MZ]

Ainur Rofiq Al Amin Dosen Pemikiran Politik Islam UINSA dan UNWAHA Tambakberas serta pengasuh Al Hadi 2 PP Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang