Anisatul Arifah Mahasiswa STAI Al Fithrah Surabaya

[Cerpen] Persahabatan dan Akhir dari Keridaan

4 min read

Keputusanku sudah bulat pasca aku tidak diterima di sekolahan negeri yang aku inginkan. Aku lebih memilih masuk ke pesantren. Awalnya aku mengira pesantren adalah tempat pembuangan. Ya, pembuangan seperti aku yang tidak diterima di sekolah negeri dan akhirnya mencari pelarian di pesantren.

Aku pikir pesantren adalah tempat di mana anak-anak nakal diungsikan, karena orang tua mereka yang sudah tidak sanggup membimbingnya, tapi ternyata aku salah. Di tempat yang aku pijak ini, dialah yang melahirkan sosok orang-orang hebat seperti KH. Hasyim Asyari, BJ. Habibie dan masih banyak lagi.

Di tempat inilah aku mengenal apa arti keluarga dan pra kehidupan, sebelum aku mendarat di sebener-benarnya kehidupan masyarakat.

“Antri, jangan nyelat!”

“Sandalku di-ghasab.”

“Bajuku hilang!”

“Kitabku ketuker!”

“Ngantuk rek!”

“Takziran lagi!”

“Belum kiriman!”

Begitulah suara yang amat biasa, menjadi curhat anak pondok.

“Hei. Na, kok ngalamun sih!” seru Sinta, sambil menyenggol tanganku.

“Nggak ngalamun! Cuma ikut semprawut aja lihat arek-arek kamar pada ngresah!”

“Kok jadi heran, kanyak kali pertamanya aja mereka kayak gitu, mending belajar yuk, buat bahts al-masāil nanti malam.” Ajak Sinta.

Sinta adalah sahabatku di pondok, kemana-mana kita sering bareng. Sangking seringnya kita dibilang mirip seperti Upin dan Ipin. Padahal beda banget. Jelas lebih cantik Sinta dan lebih Smart Sinta lah.

 

***

Malam ini diadakan musyawarah kubrā bahts al-masāil, setiap kelas akan diwakilkan tiga orang. Di kelas PDF Ulya A selalu di wakili Sinta, karena memang dia anak yang sangat pintar. Sinta pernah juara 1 baca kitab kuning tingkat Provinsi.

Karena aku teman dekat Sinta, orang-orang mengira aku juga pintar. Jadi setiap bahts al-masāil di mana ada Sinta pasti ada aku. Mereka menyebutnya Upin dan Ipin part II.

Bahts al-masāil pun dimulai dengan satu pertanyaan. Di zaman modern ini, banyak orang yang suka merubah hasil ciptaan Allah, agar menghasilkan kepuasan diri. Bagaimana hukumnya menyambung rambut, merenggangkan gigi agar lebih indah dan lain-lain?

Selang beberapa menit Sinta mengangkat papan yang bertuliskan nama kelas kita.

“Silakan dari mujawid, PDF Ulya A.” Kata moderator mempersilahkan.

“Hukumnya haram. Namun jika menyambung rambut dengan rambut yang suci atau benang, dan mendapatkan izin dari suaminya maka hukumnya tidak haram. Fath al-Mu‘īn dan Iānat al-Thālibīn juz 2 halaman 340.” Jelas Sinta sambil melafalkan dasarnya dengan lancar.

Baca Juga  [Cerpen] Bau Busuk

Aku hanya diam terpaku melihat Sinta dengan cekatannya menjawab pertanyaan.

Akhinya bahts al-masāil pada malam hari ini selesai sampai jam satu malam. Aku masih terdiam. Ada sesuatu yang tiba-tiba memberontak di kepalaku. Aku memutuskan langsung tidur tanpa menyapa Sinta untuk malam ini.

***

Santri tak akan pernah lepas dari kata disiplin, setiap jam, menit, waktunya akan terporsi kegiatan yang terjadwal. Apabila melanggar, takziran dan poin yang akan menyapa mereka.

Setelah makan pagi aku langsung bergegas ke kelas, sambil menunggu ustaz yang belum datang. Aku duduk di depan kelas berlantai tiga, merasakan hangatnya hembusan sinar mentari di pagi ini.

“Na, kamu kenapa? dari tadi malam kamu kelihatan murung!” tebak Sinta, yang tiba-tiba duduk di sebelahku.

“Aku gak papa, Sin!” jawabku berusaha menutupi.

“Kita udah berteman hampir tiga tahun. Aku hafal betul bagaimana kamu!” tegas Sinta.

“Aku minder, Sin. Teman-teman punya prestasi yang dapat mereka banggakan. Alin jadi pembaca terkenal. Romlah mendapat nilai cum laude karena hafalan alfiyahnya, kamu juara 1 baca kitab seprovinsi, sedangkan aku?. Hanya numpang nama, pura-pura jadi anak pintar gara-gara berteman dengan kamu!” Kataku. Tiba-tiba air mataku membuncah seketika.

“Ina, dengarkan aku. Kesuksesan seseorang bukan diukur dari prestasi saja. Hanya orang-orang yang memiliki pemikiran sempit yang berpikir sedemikian rupa. Buat apa berprestasi kalau tidak berkah dan mendapatkan rida guru. Di luar sana banyak orang sukses, kaya, terhormat, tapi akhirnya banyak juga yang di perjara dan gantung diri. Di pondok itu Cuma 1 isoh ra isoh sing penting jemaah, sekolah, musyawarah, hafalan, muthalaah, kanti isiqomah mengharap ridanya guru.!” Kata Sinta.

Akupun langsung menyeka air mataku, dan berhambur memeluk Sinta.

“Kamu sahabat terbaikku, Sin. Tunggu aku di pengujung suksesku ya!”

“Kamu juga sahabat terbaikku, Ina. Iya, aku akan menantinya!

***

Tidak serasa waktu pun membelai dengan mesra, hingga tak terasa aku terlena di dalamnya, waktu ujianpun akan segera tiba. Ketika mendengar kata ujian ada kebahagian dan kesedihan tersendiri. Tapi itu tak akan mengsurutkan semangatku untuk semangat meraih nilai yang memuaskan di akhir kisahku.

Baca Juga  Tradisi Nyadran: Cerminan Keberhasilan Dakwah Kultural Walisongo

Aku dan Sinta akhir-akhir ini lebih sering datang ke perpustakaan dari pada ke kantin, banyak temen-temen juga yang mendadak jadi kutu buku, gara-gara mendekati ujian nasional.

“Sin. Nanti kalau kamu udah lulus kamu mau kuliah di mana?” Tanyaku pada Sinta. Sambil melirihkan suara. Karena melihat tulisan yang terpampang Di perpustakaan jangan berisik!.

“Aku gak kuliah, Na!” sahut Sinta. Nggak mungkinlah Sinta gak kuliah, orang tuanya dari keluarga yang mampu, diapun anak yang pintar, bahkan kalau dia melanjutkan di Universitas al-Azhar Mesir pun orang tuanya pasti mampu.

“La. Kamu mau kuliah ke mana na?” Tanya Sinta balik.

“Ibu sama bapak gak ada biaya lagi sin, paling juga aku gak” aku memotong kalimatku.

“Kuliah tidak akan menjamin masa depan yang indah dan berkahkan, Na? Jadi walaupun kamu gak kuliah. Kamu harus buktikan kepada dunia, kalau kamu santrinya Kiai yang membanggakan!” Ucap Sinta begitu dalam. Aku merasa terharu mendengarnya, beruntung sekali orang yang akan mendapatkan Sinta, selain dia cantik, pintar, optimis, lembut, pasti orang tuanya sangat bangga.

Aku dan Sinta keluar dari perpustakaan dengan membawa pinjaman buku satu tumpuk.

“Aku angkat bukunya sebagian duluan ya sin.” Jelasku pada Sinta.

“Iya hati-hati.” Balas Sinta.

Brrrruukkkkkkkk Buku yang ada di tanganku jatuh berserakan,sepertinya aku menabrak seseorang. “Maaf-maaf cak, saya gak lihat.” Ucapku merasa bersalah.

Pria itu membantu membereskan buku-bukuku. “Nggak papa kok mbak.!”

“Ina. Kamu gak papakan!” sahut Sinta yang tiba-tiba berlari dari belakang.

“Iya, aku gak papa,” sahutku, tiba-tiba pria itu langsung melempar seyum pada Sinta, dan Sintapun membalas seyum itu.

“Ya udah, saya permisi dulu mbak-mbak!” pria itupun langsung pamit.

“Kamu kenal pria itu sin?”

“Kenal banget, dia temen SD ku?” Timbal Sinta

Entah kenapa setelah aku bertemu dengan pria itu, aku sering melamun dan terseyum sendiri, aku ingin menceritakannya kepada Sinta, tapi aku urungkan, lebih baik aku fokus belajar dulu, apalagi ini sudah mendekati ujian. Hanya aku, Allah dan hembusan butir tasbihku yang tau.

***

Tiga bulan setelah wisuda, aku tidak pernah menemui kabarnya Sinta, pernah aku telfon tapi nomornya tidak pernah aktif. Mungkin sekarang dia sudah kuliah ke luar negeri karena mendapat biasiswa. Sinta menjadi wisudawan terbaik yang memiliki nilai keseluruhan Camplout, dan hasil usahaku, aku mendapat peringkat kedua. Walaupun seperti itu karena terbatasnya biaya aku tidak kuliah, aku hanya membantu ibu jualan di pasar.

Baca Juga  Cerpen: Gara-gara Mandi di Air Terjun Sedudo

Saat aku sedang membantu ibu di pasar, aku melihat pengumuman yang di tempel di tempok. Lomba menulis novel hadiahnya ratusan juta dan pemenang terbaik akan disalurkan ke percetakan, waktu aku di pondok aku lebih suka menulis. Aku mencoba mengikuti lomba itu dengan modal tekat dan mengharap rida guru. Aku meminjam laptop milik tetangga. Akhirnya, aku berhasil mengirim naskah novel yang dulu, aku sering tulis di pondok.

Satu minggu kemudian datang banyak wartawan ke rumahku.

“Selamat anda memenangkan perlombaan Literasi Writing Nasional. Jadi setelah ini novel anda akan kami cetak dan akan diangkat film.” Ucap salah satu wartawan.

Aku benar-benar tidak menyangka. Satu hal yang tak pernah aku lupa. Semua ini berkahnya guru!”

Akupun sering mengadakan seminar dan bedah buku. Hasil uang dari percetakan, aku gunakan biaya kuliahku. Ada orang yang ingin aku lihat selain bapak dan ibu, di saat aku sudah di penghujung suksesku.

Tiba-tiba datang seseorang yang aku kenali, pria itu, pria yang aku tabrak di perpustakaan. Pria yang membuatku mengalunkan nada rindu sampai saat ini, dia hadir di seminarku.

“Selamat ya, Ina. Kamu udah menjadi penulis yang terkenal.!” Ucapnya, bahkan dia tau namaku. Apakah dia datang untukku? Dari kejauhan aku melihat orang yang selamani ini tak kalah aku rindukan selama tiga tahun lamanya. Sinta datang dengan menggandong anak kecil.

“Sinta, kamu datang!” ucapku, tak menyangka.

“Iya, Ina. Maaf ya tidak memberi kabar. Ini anakku!”

“Anakmu. Mana suamimu, Sin?”

“Ini.!” Tunjuknya pada pria yang aku tabrak di perpus, sekaligus pria yang aku sukai diam-diam selama tiga tahun, ternyata menjadi suami sahabatku sendiri.

Sinta tidak melanjutkan kuliah selama ini, dia lebih memilih menikah dengan orang yang dia cintai sejak kecil, itulah keinginan besar dalam hidupnya.

Aku juga telah menemukan kesuksesanku. Kita akan mendapatkan kesuksesan kita masing-masing, sebagaimana usaha dan doa kita, dan tak luput dari rida guru dan orang tua. [MZ]

Anisatul Arifah Mahasiswa STAI Al Fithrah Surabaya