Semenjak sebelum mondok di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, saya sudah jatuh hati pada sosok almaghfurlah Kiai Tidjani ini. Nama lengkapnya KH. Muhammad Tidjani Djauhari, Lc., MA. Kiprah keulamaan beliau di dunia internasional sudah tidak diragukan lagi. Beliau turut berperan penting dalam mengembangkan Rābithah ‘Ālam Islāmī di Makkah. Beberapa jabatan penting pernah diembannya. Keaktifannya di Rābithah inilah yang mengantarkan Kiai Tidjani menjelajahi berbagai negara di Eropa, Afrika, Amerika, dan Asia.
Tentu karir cemerlang tersebut selaras dengan pemkirannya yang juga cemerlang. Beliau adalah salah satu santri terbaik yang pernah dimiliki Pondok Modern Darussalam Gontor. Tidak salah jika kemudian beliau diterima menjadi menantu Kiai Imam Zarkasyi, sang pendiri pondok. Benar-benar santri yang “sukses”. Ilmu didapat, putri kiai pun dipikat.
Setamat dari Gontor, beliau melanjutkan studinya di Universitas Islam Madinah yang berhasil beliau selesaikan dengan predikat mumtaz (cum laude). Pun pula S2 beliau di Jamiah Malik Abd al-Aziz Makkah juga diselesaikan dengan sangat baik hingga memperoleh predikat mumtāz (cum laude). Beliau juga melanjutkan studi S3 di Universitas al-Azhar Kairo Mesir, meski disertasi beliau tidak sempat diselesaikan karena harus segera kembali ke tanah air Indonesia.
Saat kembali ke kampung halaman inilah, kisah perjuangan beliau mengharu biru di dunia pendidikan. Beliau meninggalkan segala aktivitasnya di dunia internasional dan lebih memilih untuk pulang kampung dan membangun pondok pesantren demi memajukan pendidikan anak bangsa di pelosok pulau Madura. Panggilan rūh al-jihād inilah yang kemudian berhasil membesarkan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan hingga menjadi salah satu pondok pesantren ternama di Indonesia. Santri-santrinya dari berbagai penjuru Nusantara. Alumni-alumninya sudah banyak berkiprah di berbagai bidang. Singkat kisah, dari kiprah Kiai Tidjani yang luar biasa di Madura, beliau layak disebut Kiai Pembaru Madura. Hingga beliau pun dianugerahi Madura Award 2019 sebagai Tokoh Berjasa di Madura.
Melihat eksistensi dan karirnya yang cemerlang, Kiai Tidjani memang seperti ulama “langit”. Ulama yang sebenarnya punya kesempatan besar untuk mendunia dan mengembangkan karir pribadinya menjadi lebih baik daripada sekedar menjadi kiai di kampung pelosok Madura. Begitulah ambisi manusia biasa. Belajar ke luar negeri, banyak relasi dan kesempatan berkarir, menetap dengan nyaman di luar negeri karena penghasilan yang lebih dari cukup, lalu di masa tuanya tinggal pulang kampung dengan simpanan harta yang melimpah.
Tapi Kiai Tidjani tidak seperti itu. Beliau Kiai “langit”. Kiai yang luar biasa. Tapi beliau “membumi” yang ingin tampak seperti manusia biasa. Ini yang membuat saya semakin jatuh cinta, sehebat apapun karir beliau, Kiai Tidjani tetaplah kiai yang sangat sederhana dan rendah hati. Low profile. Sabar dan tulus. Wara’ dan tawadhu’. Ini saya saksikan sendiri selama mondok di Al-Amien. Bahkan, saya yakin, semua santri pun memiliki kesan yang sama terhadap sosok kiai karismatik ini.
Image yang saya sebutkan tadi bukanlah sekadar hiperbola. Apalagi imajinasi yang fiktif. Kalaupun dianggap lebay, tidak apa-apa. Saya bisa menerima. Tapi lebih eloknya, luangkan waktu membaca tulisan ini sampai akhir. Di sini saya akan kisahkan, bagaimana saya bisa sampai pada kesimpulan yang sedemikian itu. Setidaknya, dari sudut pandang seorang santri yang tidak pernah bosan mencatat dawuh dan hikmah dari mahagurunya, selama kurang lebih tujuh tahun, sejak masuk pondok tahun 2000 hingga beliau wafat pada tahun 2007 silam. Tentu tidak mungkin saya sampaikan semuanya. Tapi beberapa kisah hikmah berikut, saya pikir sudah cukup menjadi alasan kenapa saya merasa tersihir dengan kepribadian beliau.
Kisah pertama, di suatu Jum’at, ba’da subuh, di Masjid Jami’ Al-Amien. Seperti biasa, ada kegiatan dialog antara kiai dan seluruh santrinya. Tapi ini menjadi dialog Jum’at yang memberikan pelajaran sangat berharga bagi saya. Kebetulan yang mengisi kegiatan dialog subuh kali ini adalah Kiai Tidjani. Tidak seperti biasa, kali ini beliau membawa Majalah X. Tidak seperti biasa juga, kali ini saya duduk di posisi paling depan. Jadi bisa merekam kejadian ini dengan baik.
Saat itu Kiai Tidjani dengan mata berkaca-kaca, beristighfar. Beliau menjelaskan, bahwa ada seorang santri yang menulis di Majalah X dan beropini bahwa pesantren merupakan sarang teroris. Penulisnya saya kenal sekali. Inisialnya VR. Salah satu redaktur Majalah X. Pengagum JIL (Jaringan Islam Liberal). Asal Cirebon. Saya pun tidak menyangka dia menulis seberani ini. Lebih tidak menyangka lagi, respon Kiai Tidjani ternyata soft dan bijak sekali. Beliau tidak marah. Sama sekali tidak marah. Intonasi beliau tetap saja datar. Tapi beliau tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Beliau tentu tidak habis pikir, bagaimana mungkin ada santrinya sendiri yang beranggapan demikian, di saat beliau tengah menentang terorisme dan menepis anggapan bahwa pesantren sarang teroris.
Tidak cukup di tulisan. Si Penulis VR kemudian tampil ke depan, pegang mic, dan membantah Kiai Tidjani. Mempertahankan isi tulisannya. Enggan beristighfar. Sungguh congkak betul VR saat itu. Benar-benar itu kejadian yang membuat adrenalin saya meloncat-loncat dan ingin mencakar santri durhaka itu. Tapi, lihatlah raut wajah Kiai Tidjani, tetap sejuk dan teduh. Matanya masih berkaca-kaca, suaranya serak, tapi masih saja memberikan kesempatan kepada VR untuk bertaubat. Jangankan mengusirnya, beliau bahkan mendoakan, semoga Allah memberinya hidayah. Subhān Allah wa bi hamdih, Subhān Allah al-‘Azīm.
Kisah kedua saat Kiai Tidjani menjadi guru tafsir saya. Saya merasa beruntung sekali, karena tidak semua kelas tafsir diajar oleh beliau. Hari Senin, mata pelajaran tafsir, kelas kami dipindah ke musala di sebelah barat kediaman Kiai Tidjani. Lagi-lagi saya terpaksa duduk di depan. Gugup, canggung, tapi senang, bisa melihat wajah beliau dari dekat. Beliau tidak hanya mengajar tafsir. Tapi juga tentang dunia Islam kontemporer di luar sana. Biasanya beliau membawa Koran berbahasa Arab, lengkap dengan Mu‘jam-nya yang berjilid-jilid itu.
Suara Kiai Tidjani memang seringkali terdengar lirih dan pelan, jarang sekali beliau mengangkat suaranya, sehingga menjadi wajar jika ada seorang teman yang mengantuk, dan beberapa kali kepalanya mengangguk-angguk. Refleks, teman sebelahnya hendak membangunkannya. Namun tindakan tersebut dicegah oleh Kiai Tidjani. “Jangan, biarkan saja. Mengantuk itu manusiawi. Kalau sudah terbangun, disuruh berwudu saja, biar segar kembali.” Demikian tutur Kiai Tidjani, tetap dengan intonasi yang datar, dengan wajah teduh menyejukkan. Siapa yang tidak terpesona dengan kelembutan beliau ini? Subhān Allah wa bi hamdih, Subhān Allah al-‘Azīm.
Kisah ketiga, kisah terakhir dalam tulisan ini, Kiai Tidjani semakin menunjukkan pancaran telaga cahaya sufistiknya. Rendah hati, sifat khas seorang sufi sejati. Kali ini melibatkan adik beliau, yang sama karismatiknya, al-maghfūr lah Kiai Idris. Waktu itu saya menjadi koordinator penerbitan sebuah buku antologi karya santri. Mulanya saya meminta Kiai Idris untuk memberikan Kata Pengantar. Namun dengan penuh rendah hati, beliau menolak dan menyarankan untuk meminta ke Kiai Tidjani sebagai Pimpinan dan Pengasuh Pondok. Sami’nā wa atha’nā, datanglah saya ke Kiai Tidjani. Dari beliau saya mendapatkan balasan berbahasa Arab, akhī al-karīm ansab bi hādzā, adinda yang mulia (maksudnya Kiai Idris) lebih pantas untuk hal ini. Lalu, kembali lagi saya ke Kiai Idris, dan beliau hanya tersenyum, sambil berujar, “kalau begitu baiklah.” Subhān Allah wa bi hamdih, Subhān Allah al-‘Azīm
Akhlak sufi dan inteligensi tinggi adalah karakter khas Kiai Tidjani. Karakter mulia ini kemudian berkorelasi positif dengan kebijaksanaan dan sikap moderat. Hal ini membuat nalar imajinasi saya mengilustrasikan sosok Kiai Tidjani sebagai telaga cahaya. Menyejukkan, tapi sekaligus menghangatkan. Meneteramkan, tapi sekaligus menguatkan. Sosoknya tidak akan pernah cukup tergambar dengan sebuah puisi. Karena beliau adalah sumber motivasi, intuisi dan inspirasi. Terima kasih Kiai Tidjani, namamu berhasil membumi di hati. [MZ]