Ustaz Ahmad Z. El-Hamdi Ustaz Milenial Tinggal di Sidoarjo

Kisah Cinta Sufi (7): Khusrau dan Syirin – Dihadapan Cinta, Akal Sama Sekali Tak Berdaya

4 min read

https://www.arabamerica.com/12-ways-express-love-arabic/

(Disadur dari Tales from the Land of the Sufis, karya Mojdeh Bayat dan Mohammad Ali Jamnia)

Cinta dan marah adalah dua daratan yang diperantarai oleh jembatan cemburu. Dengan rasa marah, Khusrau melecut kudanya tanpa henti. Dengan mata yang digenangi air mata, dia meneriaki kudanya untuk berlari melampaui batas kemampuannya. Cinta, rindu, cemburu, sedih, gundah dan perasaan tertolak bercampur aduk menjadi satu. Dia terus memacu kudanya dan baru berhenti ketika sampai Roma. Itu berarti dia menempuh perjalanan sejauh nyaris seribu tujuh ratus mil, dua kali lipat lebih jarak antara Persia-Armenia.

Di Roma, dia meminta perlindungan sekaligus bantuan Kaisar Roma untuk merebut kembali tahtanya dari tangan Bahram. Kaisar Roma sangat terkesan oleh kecakapan Khusrau muda. Dikawinkalah Khusrau dengan putri sang Kaisar yang bernama Maria.

Setelah perayaan pernikahan yang megah, Kaisar menyediakan pasukannya untuk membantu menantunya merebut kembali tahtanya di Kerajaan Persia. Ribuan pasukan Roma di bawah komando Khusrau dalam waktu singkat berhasil membunuh Bahram dan merebut kembali tahta kerajaan.

Di sisi lain, Syirin sudah dinobatkan menjadi Ratu Armenia sepeninggal kematian bibinya. Dia sudah melatih dirinya sejak dini untuk posisi ini. Andai bukan karena cinta dan kerinduannya kepada Khusrau, mungkin dia akan menikmati posisinya sebagai ratu. Tidak ada yang aneh bagi seorang ratu untuk menikmati kekuasaannya, bahkan membanggakannya.

Tapi tidak bagi Syirin. Seluruh kemewahan kerajaan tidak sanggup memalingkan hatinya yang penuh derita dan sengsara karena cinta dan kerinduan pada Khusrau. Dengan jujur dia mengakui bahwa dia tidak bisa menjalankan berbagai kewajibannya sebagai ratu kepada rakyatnya.

Dalam keadaan seperti ini, dia mendapat kabar bahwa Khusrau berhasil merebut kembali tahta yang menjadi haknya. Dia tentu saja bahagia. Sungguh dia bahagia. Semestinya, Khusrau akan segera menemuinya dan memintanya menjadi istrinya. Tapi kehidupan seringkali sedemikian tak punya rasa kasihan bagi para pecinta. Kini, di sisi Khusrau telah ada seorang permaisuri. Perasaan Syirin pun hancur berkeping-keping.

Sekuat tenaga dia ingin menerima kenyataan. Dia ingin melupakan bahwa dia pernah jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Khusrau. Sekuat tenaga dia ingin menyadari bahwa tanggungjawabnya sebagai Ratu Armenia tidak bisa diabaikan hanya karena berharap cinta dari seorang lelaki.

Baca Juga  Engkau Bukanlah Pemaksa Keyakinan Mereka

Tapi katakan padaku, di mana ada orang jatuh cinta yang tidak menjadi goblok seketika? Di mana ada orang jatuh cinta yang suara hatinya bisa ditundukkan oleh pertimbangan akalnya? Cinta tak memerlukan pertimbangan akal, karena dia memiliki pertimbangannya sendiri. Akal selalu merasa angkuh di depan hati yang sedang jatuh cinta, tapi sesungguhnya cinta tak pernah bisa ditundukkan oleh akal. Cinta memiliki aturannya sendiri. Sekali cinta mengatakan ‘ya’, seribu kali akal mengatakan ‘tidak’, cinta tidak pernah memedulikannya.

Akhirnya, sang ratu yang jatuh cinta ini tidak bisa untuk tidak jujur kepada hatinya bahwa dia tidak sanggup  lagi berpisah dari Khusrau. Ia menyerahkan semua urusan kerajaan kepada sepupunya. Ia akan meninggalkan negerinya. Ia pindah ke Persia.

Kurang gila apa, coba? Jika kenekatan pergi ke Persia pertama masih bisa diterima karena saat itu Khusrau adalah seorang pangeran perjaka, kali ini, Khusrau sudah menjadi seorang raja dengan permaisuri di sisinya. Apa yang dicari dengan meninggalkan negerinya, menyerahkan urusan kerajaan  kepada sepuunya, dan pindah ke Persia? Sekedar agar bisa merasa dekat dengan orang yang dicintai? Hanya itu? Oh Tuhan, tak bisakah cinta mengalah sedikit saja terhadap akal sehat agar seorang pecinta seperti Syirin memiliki kewarasan dalam menentukan hidupnya?

Dengan ditemani Syapur, dia akhirnya pindah ke Persia. Dia membangun rumah besar di dekat Mada’in agar dia bisa mendengar kabar Khusrau setiap hari. Jika ada yang menasehati bahwa apa yang dilakukannya ini hanya semakin menyiksa batinnya, Syirin selalu mengatakan, “Apa yang bisa dilakukan oleh seorang pecinta? Cinta tak pernah memintamu lebih dari apa yang menjadi haknya. Hak cinta kepada seorang pecinta adalah kebahagiaan yang tidak bisa dinyatakan dengan kata-kata hingga kesedihan yang menguras kering air mata. Keduanya adalah sama karena engkau juga bisa merasai keindahan saat engaku menangis karena cinta. Engkau tak bisa memilihnya.”

Baca Juga  Hikmah Pandemi: Menguji Kualitas Amal, Bukan Kuantitas

Khusrau yang mendengar Syirin tinggal di dekat ibukota kerajaan dilanda kegundahan dan kegairahan yang luar biasa. Selama ini dia memang sanggup memendam cintanya kepada Syirin, tapi api itu sesungguhnya tetap menyala di bawah kesadarannya. Hanya cukup satu hentakan kecil untuk membuat api itu membakarnya hingga leleh. Tapi apa yang bisa diperbuatnya? Mengunjungi Syirin diam-diam? Mengundang Syirin ke istana? Bagaimana dengan istrinya? Hrrrghh…. binguuuung…!

Akhirnya dia beranikan diri berkata ke istrinya. “Istriku sayang, aku ingin Ratu Syirin pindah ke istana. Aku diberitahu bahwa dia hanya memiliki beberapa pelayan dan rumahnya juga tidak pantas bagi orang setingkat dirinya. Aku akan dianggap tidak menghormati jika membiarkan sang Ratu hidup dalam keadaan demikian sederhana. Dia adalah seorang ratu. Dan pikiran bahwa aku memperlakukan tamuku dengan tidak layak sangat mengganggu dan mengusik pikiranku.”

Khusrau berkata demikian dengan suara serius dan mimik muka manis untuk memperlihatkan rasa sayangnya kepada istrinya, dan menjaga hati istrinya yang mungkin saja merasa terkhianati. Tapi itulah bodohnya laki-laki. Mereka merasa bahwa perempuan mudah ditipu oleh permainan sandiwara ginian.

Maria sudah mendengar tentang cinta suaminya kepada Syirin. Dia tidak akan bisa dikelabuhi dengan permainan sandiwara murahan ala Raja Khusrau yang tidak pernah berlajar teater.

Sang permaisuri menangis hebat dan menuduh secara tepat bahwa suaminya berencana menjalin hubungan cinta dengan Ratu Armenia. Lagi pula, bagi seorang istri seperti Maria, mudah sekali menebak apa yang terjadi. Seorang ratu meninggalkan tahtanya untuk hidup biasa di negeri orang jelas memiliki alasan yang sangat kuat. Lalu, apa alasan Syirin tinggal di Persia kalau bukan karena cintanya kepada Khusrau. Pun, apa alasan Khusrau untuk mengajak Syirin tinggal di istana kalau juga bukan karena masih mencintai sang Ratu Armenia.

Ini bukan tebakan sulit bagi seorang istri. Tapi bahkan mempertimbangkan hal mudah seperti ini saja betapa bodohnya Khusrau. Tapi, jatuh cinta memang membuat orang bodoh tanpa sadar.

Baca Juga  Father Parenting Ala Luqman dalam Al-Qur’an

Dengan terisak-isak, Permaisuri Maria dengan suara tegas membantah suaminya. “Tidak ada yang tidak pantas dan tidak terhormat membiarkan seorang ratu hidup sesuai dengan pilihannya sendiri. Kalau dia ingin hidup sebagai ratu, mestinya dia tinggal di negerinya sendiri. Lagi pula, selama di sini, dia belum sekalipun melakukan kunjungan kehormatan kepada Raja dan Ratu Persia.”

Ketika Khusrau mengabaikan keberatan istrinya yang sepenuhnya masuk akal itu, Maria menudingkan jarinya tepat ke muka Khusrau, “Jika engkau maju sejengkal untuk menjemput ratumu itu, aku bersumpah, engkau akan mendapati jasadku tanpa nyawa.”

Sejak itu, Khusrau tidak pernah menyebut-nyebut nama Syirin di depan istrinya. Jika ketidaksesuaian antara mulut dan hati bagi orang biasa disebut kemunafikan, tapi bagi pecinta, ketidaksesuaian ini bisa jadi adalah kesejatian. Sekalipun mulutnya diam, hati Khusrau dipenuhi gejolak rindu untuk bertemu orang yang dia cintai sepenuh hati.

Khusrau nekat mengirim pesan kepada Syirin secara diam-diam melalui pesuruhnya. Dia mengajak bertemu. Ahay…, orang tua pun kalau sedang mabuk cinta, lakunya kayak anak remaja. Ngajak bertemu diam-diam, Gaes! Syirin membalas, “Lebih baik engkau tetap setia kepada istrimu.”

Ini adalah jawaban  yang sebetulnya sudah diduga oleh Khusrau. Perempuan itu terlalu terhormat untuk diajak bertindak nista. Diajak masuk tenda saat Khusrau masih seorang perjaka saja tidak mau, apalagi diajak bertemu saat Khusrau telah beristri.

Apakah Syirin tak ingin berjumpa kekasihnya? Siapa pecinta yang tidak ingin bertemu kekasihnya. Bahkan kerajaan pun ditinggalkan sekedar untuk bisa hidup berdekatan. Jika harus ditakar, kerinduan Syirin kepada Khusrau adalah setakaran kerinduan Khusrau kepada Syirin. Cinta dan kerinduan inilah yang akhirnya membuat membuat Ratu Armenia ini melemah dan jatuh sakit. Hari-harinya hanya dihabiskan untuk memikirkan dan mengkhawatirkan lelaki yang dicintainya.

Kulit akan kering di atas tulang karena cinta yang membara” Bersambung…

Baca selajutnya: Kisah Cinta Sufi… (8)

Ustaz Ahmad Z. El-Hamdi Ustaz Milenial Tinggal di Sidoarjo

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *