Moh Syaiful Bahri Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Ibn ‘Arabi: Agamaku adalah Agama Cinta

1 min read

Judul Buku: Syekh Akbar Ibn ‘Arabi: Taman Makrifat
Penulis: Imam Nawawi & Fajri Andika
Penerbit: FORUM
Cetakan: 2023
ISBN: 978-602-0753-76-8

Tugas pengarang membuat pembaca tidak puas dengan apa yang disuguhkan. Larut dalam setiap kata-katanya. Tentu tidak bertele-tele. Tegas. Itulah yang tergambar ketika membaca ensiklopedi karya Ibn ‘Arabi. Buku dengan tebal 110 (jilid 4) berisi 52 puisi disarah singkat-singkat. Puisi-puisi di dalamnya pun terbilang pendek. Tampil sederhana guna bisa dipahami dengan mudah dan diterima kalangan luar (halaman iv).

Ibn ‘Arabi menakar cinta sesuai dengan porsi. Tidak lebih. Setiap apa-apa yang diciptakan Allah SWT. selalu berusaha mendekat kepada-Nya. Ruang-ruang seperti ini bukan turun secara tiba-tiba. Karakter cinta kadangkala selalu egois. Tapi di sisi lain tergantung di mana cinta itu tumbuh. Jika cinta yang dimaksudkan terhadap Allah SWT. adalah sebetul-betulnya cinta demi kegembiraan dan kebahagiaan yang dirasakannya sendiri.

Sejak 13 abad yang lalu, tema cinta tidak jauh dari ruang lingkup sufistik. Ia memainkan peran penting di dalamnya. Meskipun di fase-fase awal, ada beberapa karya sufi jarang memotret persoalan cinta. Dalam khazanah Islam, para ahli mahabbah berasumsi bahwa tumbuh dan berkembangnya rasa cinta kepada Allah datang bersamaan dengan cintaNya kepada manusia. Ini tidak bisa dipungkiri. Tokoh-tokoh seperti Rabi’ah, Jalaludin Rumi, dan Al-Gazali tidak bisa dipisahkan dengan topik cinta. Al-Gazali misalnya, dalam karya populernya sawanih yang ditulis dalam bahasa Parsi menempatkan cinta sebagai realitas asasi dan integral dari jiwa.

Di posisi yang sama, Ibn ‘Arabi dan Rumi memiliki sudut pandang yang berdekatan tentang cinta. Jika ada seseorang yang mampu mendefinisikan cinta, di saat bersamaan ia terjebak pada pengertian verbal dan diskriptif. Cinta tidak memiliki definisi. Di mana pada tingkat ketuhanan, cinta bisa disebut sebagai energi dari aktivitas kreatif Tuhan. Ibn ‘Arabi pernah melemparkan pernyataan bahwa cinta pada ciptaan Tuhan harus berlandaskan cinta pada Tuhan. Itulah hakikat cinta.

Baca Juga  Mendiskusikan “Repressive Pluralism” Jokowi: Beberapa Catatan untuk Greg Fealy

Dalam buku Syekh Akbar Ibn ‘Arabi: Taman Makrifat, Ibn ‘Arabi menganggap manusia wajib percaya kepada Allah adalah satu-satunya Zat yang layak disembah. Dia (Tuhan) yang menciptakan alam semesta. Untuk itu, tidak ada alasan tidak mencintai setiap yang diciptakan Allah. Salah satu cara mengenali Allah yaitu melalui sifat-sifat-Nya. Di mana keseluruhan dari sifat Allah SWT. seperti rasa sayang, pengasih dan sebagainya terpancar dari keberadaan makhluk di alam semesta. Itulah, buah sifat baik Allah terhadap segala yang diciptakan.

Sebagai ciptaan Allah, kita dituntut selalu berbuat baik. Kebaikan-kebaikan ini adalah jalan mahabbah dari manisfestasi dan kreatifitas Allah. Sebagaimana yang dikatakan Ibn ‘Arabi “agamaku agama cinta”. Islam agama yang mengajarkan untuk selalu berbuat baik terhadap umat agama lain. Tidak perlu memandang agama dalam berbuat baik terhadap sesama (halaman 65). Dalam menjunjung tinggi semangat perdamaian dan toleransi, Islam dalam hal ini sebagaimana dalam Al-Qur’an tidak ada paksaan dalam memeluk agama.

Ibadah tidak sekadar ritual semata. Lebih dari itu, ada aspek-aspek sosial yang perlu dilihat (halaman 57). Bentuk dari kesalehan sosial ini berbuah toleransi. Umat beragama terutama Islam menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi beragama. Tidak ada stasiun bagi para pemecah belah persatuan bangsa. Untuk itu, toleransi sebagai sikap saling menghormati dan menghargai agama lain, bukan menyamakan dan mencampuradukkan agama satu dengan lainnya (halaman 32).

Hidup berdampingan terhadap orang-orang berbeda keyakinan dan organisasi keagamaan adalah sebuah kewajiban. Cinta harus ditempatkan di atas segalanya. Ini sebagai jalan untuk memetik kebaikan bersama, terutama dalam beragama. Ketika cinta diutamakan dalam relasi umat beragama, saya kira tidak akan tumbuh bibit radikalisme, intoleransi dan kekerasan apapun bentuknya yang merugikan pihak lain. Jalan cinta adalah jalan perdamaian. Untuk itu, perlu diraih bersama-sama.

Baca Juga  New Normal di Pesantren

 

Moh Syaiful Bahri Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta