Moh Syaiful Bahri Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Potret Koeksistensi Islam-Kristen

2 min read

Buku: Koeksistensi Islam-Kristen: Ngobrol Sejarah dan Teologi di Era Digital
Penulis: Mun’im Sirry
Penerbit: SUKA Press
Cetakan: Pertama, 2022
Tebal: 291 Halaman
ISBN: 978-623-7816-66-9

Nama Mun’im Sirri tidak asing di bangku akademik. Laki-laki kelahiran tanah garam ini buah pikirannya sering kita temui, terutama dalam kajian al-Qur’an, tafsir, teologi, hermeneutika, dan perbandingan Islam dan Kristen. Mun’im mendobrak kemapanan berpikir dalam tradisi keilmuan kita, terutama ia hadir dengan menunjukkan keterbukaan berpikir, berada di atas lahan revosionis, sehingga kerap mendapatkan label kafir.

Hadirnya buku Koeksistensi Islam-Kristen: Ngobrol Sejarah dan Teologi di Era Digital perlu dijadikan perhatian semua. Buku yang berangkat dari dinamika dan problem kehidupan beragama terutama di era virtual dibeberkan secara detail dan santai, tetapi cukup dalam. Mun’im membentangkan koeksistensi Islam-Kristen dengan wajah berbeda. Bukan lagi perjumpaan kedua agama ini melulu dengan darah, perang, dan ketegangan.

Namun, dalam perjalanan historisnya, Islam-Kristen ada dialog, keterbukaan, kerjasama dan persahabatan (hlm. 2). Dari sinilah, kemudian kita akan memandang pertemuan agama yang cenderung harmonis. Ini yang Mun’in suguhkan dalam buku terbarunya. Meskipun berangkat dari tulisan-tulisan di media sosial, tetapi hal itu tidak mengurangi keseriusan Mun’im dalam menganalisis dan menghadirkan pustaka dari sumber-sumber yang jarang ditemui oleh akademisi lain.

Mun’im juga membuka pintu pengetahuan tentang keterlibatan Kristen dalam pemerintahan Abbasiyah. Seperti yang ditulis Suhail Qasya dalam buku Al-Masihiyyun fi al-daulah al-Islamiyah (2002), atau buku A.S. Tritton berjudul The Caliphs and Their non-Muslim Subjects (1970). Tak kalah juga Louis Cheikhu dalam buku Wuzara al-Nashraniyyah wa-kuttabuha fi al-Islam, mencatat 75 wazir dan 300 sekretaris Kristen dalam pemerintahan Islam awal (hlm. 35). Begitupun Khalifah al-Mu’izz bi-llah yang mempunyai istri Kristen, dan dua ipar menjadi patriakh gereja di Alexandria dan Yerussalem (hlm. 45).

Baca Juga  Sikap Kita Terhadap Public Figure Yang Suka Beropini Seenaknya

Di sini, kita akan diberikan gambaran hubungan politik yang kompleks. Apalagi, keberdaan orang Kristen di lingkungan pemerintahan Islam juga perlu untuk diperhatian, bukan bermaksud apa-apa, tetapi sejarah punya peran penting untuk jujur terhadap zamannya. Dalam artian, ketika Mun’im menyodorkan fakta-fakta lain dalam bukunya, pandangan kita tidak akan tertuju pada darah, pedang, pembantaian dan permusuhan berkepanjangan.

Mun’in juga menulis pengalaman mengenai tuduhan Kristen yang syirik. Hal ini berawal dari al-Qur’an yang menjadi sumber informasi satu-satunya tentang keimanan Kristen. Isa adalah Nabi, bukan Tuhan. Umat Kristen tidak hanya menuhankan Isa, tetapi juga menyembah sebagai satu dari tiga Tuhan. Lambat lain, pemahaman semacam ini memundar setalah berkutat dengan sejarah dan teologi Kristen, ternyata iman Kristen tidak sama dengan yang digambarkan al-Qur’an. Gambaran tentang Isa dalam al-Qura’an dan Yesus dalam Perjanjian Baru jauh berbeda (hlm. 75).

Lebih jauh, ia menyinggung keunikan Kristologi al-Qur’an yang perlu dipahami dalam konteks teologi tertentu yang dikembangkan al-Qur’an sendiri. Yesus misalnya, disebut Isa dalam al-Qur’an, adalah Nabi, salah seorang yang agung. Secara eksplesit al-Qur’an meneguhkan keagungannya, tetapi membatasi kekuatan keilahiannya. Sebab, dalam pandagan al-Qur’an, dia bukan Tuhan, tapi Nabi (hlm. 147). Oleh karenanya, untuk mengawinkan perjumpaan ini perlu membuka selebar-lebarnya perspektif yang tidak tunggal, tetapi plural.

Hari ini, kita masih sibuk mengkambinghitamkan salah satu agama. Bahkan lucunya, masih berkutat pada pelabelan syirik, murtad, bid’ah dan cara pandang tunggal yang justru merugikan pihak lain. Sebagai masyarakat yang hidup dalam koridor berbangsa dan bernegara, agama tidak boleh dijadikan sebagai alat untuk memecah belah persatuan dan kesatuan. Sebagaimana disinggung di atas bahwa keduanya pernah hidup bersamaan dan saling mengisi satu sama lain.

Baca Juga  Nasida Ria: Kritik Sosial dalam Genre Kasidah

Buku yang lahir dari kegelisahan dan keperihatinan seorang Mun’im dalam melihat dan membaca pola relasi umat beragama, menjadi bagian penting untuk terus dibaca dan dijadikan referensi dalam kehidupan masyarakat multikultural. Pasalnya, perdamaian tidak lahir tanpa adanya koeksistensi anatarumat beragama. Apalagi berharap pada kecemburuan, kecurigaan dan klaim-klaim tak berdasar lain untuk menciptakan dunia yang damai.

Oleh karenanya, perlu pembacaan luas dari berbagai sudut pandang dalam menciptakan kerukunan. Bahkan, dalam hal ini sebagaimana dikatakan Mun’im bahwa rivalitas kedua agama ketika terus dikembangkan akan menumbuhkan ketegangan, permusuhan dan perpecahan bukan hanya umat beragama, tetapi juga berbangsa dan bernegara. Di sini, keterbukaan dan kedewasaan dalam menyikapi perbedaan menjadi urgen dan penting dikembangkan.

Moh Syaiful Bahri Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta