Louis Massignon (1883 – 1962) adalah salah satu akademisi Barat [orientalis] yang sangat berjasa menggali khazanah pemikiran Islam, khususnya dalam bidang tasawuf. Ia sangat tekun meneliti dan mencari makhtūthāt (manuskrip) al-Hallaj. Dengan tanpa menafikan para akademisi lain yang meneliti al-Hallaj, jasa besar Massignon sungguh memukau dalam mengolah dan menganalisis secara utuh pemikiran al-Hallaj sebenarnya.
Untuk mengetahui alur pemikiran al-Hallaj, kita harus membaca karya utama al-Hallaj berjudul al-Thawāsin yang berisi kumpulan narasi pemikirannya. Sebagian besar karya-karya al-Hallaj (pemikiran) tertuang dalam bentuk puisi, di mana untuk memahami syair-syair sufistik diperlukan ‘bekal’ pengetahuan yang cukup mendalam.
Dalam karyanya, al-Hallaj mencoba mengajarkan kepada kita bahwa saat banyak orang mengejar dan memuaskan diri dengan simbol-simbol dan baju-baju eksoteris yang mengecoh, kaum sufi mencari esensi yang esoteris dan ingin bersembunyi di wilayah tak dikenal.
Saat banyak orang manggut dan tunduk di depan kekuasaan atau hasrat puja-puji rakyat, kaum sufi tak menjunjung tinggi-besar apapun kecuali Sang Mahaesensi. Tak pelak, seluruh pikiran dan gerak mereka seperti itu mengancam sekaligus meruntuhkan kewibawaan dua otoritas maha perkasa, otoritas politik (struktural) dan otoritas keagamaan (kultural).
Imam Jalāl al-Dīn al-Suyūtī, salah satu pembela Ibnu Arabī yang gigih, mengatakan:
ما كان كبير في عصر قط إلا كان له عدو من السفلة
“Mā kāna kabīr fī ‘Asr illā kāna lahu ‘aduww min al-safalah”
(Orang besar dalam sejarah selalu punya musuh orang-orang bodoh).
وقلوب وددكم تشتاقكم والى لذيذ لقائكم ترتاح
Hati dan jiwa pencintamu merinduimu. Kelezatan bertemu engkau. O, betapa damai
Tanggal 27 Maret 922, eksekusi mati dilaksanakan di hadapan ribuan pasang mata merah yang terus meradang dan tak henti berteriak histeris. Yel-yel Allah Akbar, Allah Akbar menggelegar. Sejumlah ulama fiqh, hadis, dan kalam menjadi saksi. Faqih literalis ekstrem sekaligus orang yang paling bertanggung jawab atas fatwa mati dan pengadilan al-Hallaj: Muhammad bin Daud (w. 297 H), pendiri mazhab fiqh Zāhirī, berdiri paling depan.
Sejumlah sufi besar turut hadir meski memperlihatkan sikap dan suasana batin yang berbeda, menyaksikan peristiwa paling dramatis ini. Mereka—untuk menyebut beberapa saja—adalah Abū al-Qāsim al-Junayd, Abū Bakar al-Syiblī (w. 334), Ibrāhīm bin Fātik. Yang terakhir ini adalah sahabat setia yang selalu menemani al-Hallaj di penjara.
Tak begitu jelas bentuk hukuman mati untuk Al-Hallaj itu, apakah di tiang gantungan, dipenggal atau disalib di pelepah kayu keras. Mungkin tak penting betul untuk dijawab. Tetapi beberapa menit menjelang kematiannya, meski tubuhnya dililit rantai besi, al-Hallaj dengan riang, seperti akan bertemu kekasih, menengadahkan wajahnya ke langit biru yang bersih, seakan siap menyambut kedatangannya.
Dia menyampaikan kata-kata monumental yang indah beberapa detik sebelum nafasnya pergi.
“Oh Tuhan, lihatlah, hamba-hamba-Mu telah berkumpul. Mereka menginginkan kematianku demi membela-Mu dan untuk lebih dekat dengan-Mu. O. Tuhan, ampuni dan kasihi mereka.”
“Andai saja Engkau menyingkapkan kelambu wajah-Mu kepada mereka sebagaimana Engkau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tak akan melakukan ini kepadaku.”
“Andai saja Engkau turunkan kelambu wajah-Mu dariku, sebagaimana Engkau menurunkannya dari mereka, niscaya aku tak akan diuji seperti ini. Hanya Engkaulah Pemilik segala Puji atas apa yang Engkau lakukan. Hanya engkaulah pemilik segala puji atas apa yang Engkau kehendaki”.
Setelah itu dia bergumam lirih:
اقتلونى يا ثقاتى إن فى قتلى حياتى
ومماتى فى حياتى وحياتى فى مماتى
إن عندى محو ذاتى من أجل المكرمات
وبقائى فى صفاتى من قبيح السيئات
فاقتلونى واحرقونى بعظام الفانيات
Bunuhlah aku, O, Kasihku
Kematianku adalah hidupku
Kematianku ada dalam hidupku
Hidupku ada dalam kematianku.
Ketiadaanku adalah kehormatan terbesar
Hidupku seperti ini tak lagi berharga
Bunuhlah aku, bakarlah aku
Bersama tulang-tlang yang rapuh
(Dīwān, Qasidah 10)
Suasana senyap. Al-Hallaj diam. Abū al-Hārits al-Sayyāf, sang algojo, melangkah gagah dengan wajah amat angkuh, mendekati Al-Hallaj. Ia menampar pipinya dan memukul hidungnya begitu keras hingga darah mengaliri jubahnya. Al-Hallaj, kata para saksi, sungkem kepada Tuhan:
Ilāhi, Ashbahtu fī manzilat al-Raghāib
(Tuhanku kini aku telah berada di Rumah Idaman).
–Bersambung–
MZ