Cut Muthiadin Dosen Dept Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin Makassar; Peneliti Bidang Proteomik/Genomik Penyakit Infeksi Demam Tifoid

Normal Baru, Jangan Ikut Mengubah Pemahamanmu [Bag 1]

2 min read

Source: digitalmarketingwow.com
Source: digitalmarketingwow.com

Pandemi Covid-19 hampir masuk bulan keempat terhitung sejak transmisi ke Indonesia. Tingkat morbiditas dan mortalitasnya pun semakin hari melonjak naik dan belum menunjukkan tanda kurva landai. Dikatakan virulensinya melemah jika nilai Reproduksi efektif (Rt) di bawah 1. Pada angka tersebut, kemampuan Virus bertransmisi dari satu orang ke orang yang lain sudah mulai berkurang potensi penularannya.

Tentu ini menjadi harapan terbesar dari kita sekarang. Terlebih dengan beberapa kebijakan normal baru yang menuntut kita untuk kembali beraktivitas di luar rumah seperti biasanya dengan perubahan baru berupa kedisiplinan untuk melindungi diri di luar rumah dan sehat sekembalinya dirumah kembali.

Namun, kita bisa melihat sendiri bukti nyata di sekitar kita, yaitu masih lemahnya kesadaran penduduk di Indonesia untuk disiplin menaati protokol keamanan Covid-19. Waktu kerja selama kurang lebih 8 jam di kantor menuntut tetap memakai masker dan menghindari keramaian dengan tetap menjaga jarak. Lengah sebentar saja itu bisa berakibat fatal, beberapa kejadian di beberapa daerah dilaporkan sejak memulai normal baru kemudian ditemukan beberapa pegawai karyawan yang terjangkit positif Covid-19.

Kepatuhan tersebut tentu datang dari knowledge serta edukasi pada masyarakat yang harusnya tersampaikan menyeluruh. Ironinya di Indonesia saat ini, masyarakat justru dihadapkan dengan dua kelompok komunitas. Yaitu komunitas yang percaya virulensi virus SARS-CoV 2 dan komunitas yang menganggap virus ini hanya kejadian wabah yang biasa saja. Peran media sosial yang begitu cepat mennyampaikan broadcast yang berhasil meningkatkan jumlah masyarakat yang memilih ikut ke tipe komunitas kedua tadi.

Dampak terburuknya ialah kepercayaan komunitas tersebut menurunkan kepercayaan mereka ke pemerintah, utamanya ke pihak tenaga medis kesehatan. Tidak sedikit kita menemukan kejadian penolakan untuk diikutkan rapid test di beberapa tempat, dan yang lebih memilukan yaitu dengan penolakan keluarga terhadap penanganan rumah sakit terhadap penyelenggaraan jenazah anggota keluarganya dengan standar protokol Covid-19.

Baca Juga  Pasca-webinar di Era Pandemi, What's Next?

Reaksi amarah komunitas tersebut semakin menegaskan penanganan Covid-19 terkhusus di Indonesia semakin susah diprediksi periode kurva landainya. Hingga kini per 3 juni 2020 dicatat dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sampel suspek yang diuji dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) di 101 laboratorium, Test Cepat Melokuler (TCM) di 60 laboratorium dan Laboratorium jejaring (RT-PCR dan TCM) di 180 laboratorium.

Secara keseluruhan, 354.434 orang telah diperiksa dan hasilnya 28.233 positif (kumulatif) dan 218.200 negatif (kumulatif). Kemudian untuk jumlah Orang Dalam Pemantauan (ODP) yang masih dipantau ada sebanyak 48.153 orang dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yang masih diawasi ada 13.285 orang. Data tersebut diambil dari 34 provinsi dan 418 kabupaten/kota di Tanah Air.

Fenomena ini hadir, lagi dan lagi membuat sains sulit membuktikan kebenarannya. Walaupun memang tidak bisa disalahkan kenapa di Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar 260 lebih juta jiwa dengan ciri kepulauan, sehingga dengan keterbatasan tersebut menyebabkan skrining awal suspect yang dinilai lambat dan belum menyeluruh.

Sementara itu, tes Swab PCR merupakan gold standard dalam penegakan diagnosis Covid-19 dengan sensitivitas dan spesivitas tinggi meskipun nilainya tidak mencapai 100%. Faktanya, laboratorium di Indonesia masih langka yang memiliki fasilitas mesin PCR dan tenaga laboratorium yang mumpuni. Laboratorium rujukan tentunya kewalahan terhadap pemeriksaan rutin dari sampel swab yang masuk, sehingga untuk satu sampel membutuhkan beberapa hari untuk konfirmasinya.

Tidak heran ditemukan reaksi masyarakat yang mengecam pihak rumah sakit ketika hasil diagnosis swab yang keluar negatif sementara pasien keluarganya sedari awal dengan status PDP (Pasien dalam Pengawasan) sampai akhirnya meninggal dunia dan penanganan jenazahnya terselenggara dengan standar Covid-19. Siapakah yang patut disalahkan?

Baca Juga  Intoleransi: Refleksi Potret Beragama Setengah Hati

Penulis tidak ingin menggiring ke opini yang terakhir, namun hanya akan memberi ulasan tentang diagnosis dengan menggunakan rapid test dan swab PCR. Di depan sudah dituliskan walaupun swab PCR menjadi rujukan gold standard dengan kelebihan dan kelemahannya sudah termasuk dengan kendala yang sudah disesuaikan dengan fakta di Indonesia.

Orang yang awam mendengar PCR ini mungkin meraba-raba seperti apa wujud dari mesin PCR? Wujudnya yang kecil dengan kapasitas menampung sampai ratusan sampel dalam sekali running, dalam sekian waktu (ada protokol khusus) sampel RNA yang diisolasi dari suspect akan terbaca positif menunjukkan keberadaan virus SARS-CoV 2 pada sampel swab pasien tersebut, dan sebaliknya jika terbaca negatif.

Mesin tersebut merupakan miniatur dari peristiwa replikasi (penggandaan) DNA induk sampai dihasilkan DNA anakan yang sama dengan genom induknya. Sederhananya, silahkan bayangkan mengapa untuk membuktikan forensik kecelakaan dibutuhkan tes DNA korban dengan DNA keluarganya. Secara in vitro, peristiwa replikasi tadi bisa terjadi dalam mesin PCR dengan kombinasi 3 prinsip PCR yaitu denaturasi, annealing dan ekstension, kemudian bisa menghasilkan sampai jutaan kopian DNA.

Khusus untuk Virus SARS CoV 2 sendiri karena genom yang terkandung di dalam intinya berupa RNA, sehingga untuk protokol preparasinya sendiri masih perlu untuk dibalik genomnya ke bentuk DNA, sebut saja DNA komplementer dengan bantuan enzim reverse transcriptase. Sampel yang dibutuhkan hanya dalam ukuran microliter, dengan tambahan beberapa kit PCR dan primer berupa RNA yang diambil dari urutan nukleotida jenis virus SARS-CoV 2, sehingga genom RNA tadi bisa memanjangkan untainya sesuai dengan cetakan primer yang disisipkan tadi. [MZ]

–Bersambung–

Cut Muthiadin Dosen Dept Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin Makassar; Peneliti Bidang Proteomik/Genomik Penyakit Infeksi Demam Tifoid