
Waktu telah menunjukkan pukul dua belas malam. Maryam, wanita tinggi kurus itu memandang keluar dari jendela kamar yang lapuk. Tak ada siapapun di sana. Ia hanya sangat membenci malam. Kerinduan selalu merangkulnya lebih erat saat gelap menyergap. Buliran bening ia biarkan tumpah dari celah matanya.
Maryam tak henti berharap Salman kembali dari rantauan. Suaminya itu sudah meninggalkannya selama tiga tahun dan tiga tahun itu pula Salman tak pernah berkirim kabar. Banyak yang mengira kalau Salman sudah menikah lagi di kota. Ia pasti melupakan Maryam serta kampung halamannya. Mendengar hal semacam itu, hati Maryam tak pernah bisa tenang. Tubuhnya kian mengering digerogoti ucapan tetangga yang tak pandai menjaga mulut.
Di rumahnya, Maryam tinggal bersama Pak Sairan. Bapaknya itu telah lanjut usia dan tak mampu lagi bekerja. Keluarga ini hidup dari upah Maryam mencuci pakaian. Sayangnya, Pak Sairan terpengaruh omongan tetangga perihal menantunya.
“Lelaki pilihanmu itu jelas salah. Tak seharusnya dia memperlakukanmu seperti ini. Lelaki macam apa yang tak mau mengirim kabar pada istrinya sendiri?” ucap Pak Sairan pada putri semata wayangnya.
Kalimat semacam itu sudah ratusan kali didengar Maryam. Namun, Maryam tetap sabar menanti. Ia ingat betul janji suaminya. Janji yang masih lantang terdengar di telinganya hingga sekarang.
“Aku ingin bekerja dan membahagiakanmu. Aku akan segera pulang setelah memiliki uang. Kala itu, Salman menatap lekat wajah Maryam yang manis. Maryam tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Tak ada pilihan lain memang. Desa yang mereka tinggali tak cukup bersahabat untuk memberinya pekerjaan tetap. Upahnya dari kerja serabutan hanya cukup untuk biaya makan.
Sebab itulah Maryam dan Salman menunda untuk punya keturunan setelah mereka menikah. Khawatir jika punya anak akan menambah banyak pengeluaran. Jauh di lubuk hatinya, Maryam benar-benar menyesali kepergian suaminya ke kota.
Pagi itu, Maryam berpamitan pada Pak Sairan untuk berangkat mencuci pakaian. Kali ini ia harus mencuci pakaian di rumah Bu Ratna. Sebenarnya rumah Bu Ratna cukup jauh ditempuh dengan berjalan kaki. Namun, Maryam tetap harus bekerja agar perut keluarganya terisi.
“Saya akan pergi mencuci baju di rumah Bu Ratna. Jaga diri Bapak baik-baik di rumah.” Maryam berpamitan pada bapaknya sambil berjalan keluar.
Kakinya terus melangkah menuju rumah Bu Ratna. Ketika hampir sampai, ia dikejutkan oleh seorang lelaki yang memanggil namanya dari seberang jalan. Maryam berusaha menajamkan penglihatannya. Ia memang menderita rabun sehingga sulit mengenali seseorang dari jarak jauh.
“Mar Mar .” Lelaki itu melambaikan tangannya.
Maryam terus mengamati lelaki di seberang jalan. Lelaki itu mengukir senyum. Senyuman yang tak mungkin Maryam lupakan.
“Mas Salman benarkah itu dirimu?” Maryam masih berdiri di tempatnya. Ia hampir tak percaya.
“Iya, ini aku,” teriak lelaki itu sambil menyeberang.
Brakkkk. Sebuah suara menghentikan senyum bahagia Maryam. Seorang pengendara sepeda motor dengan kecepatan tinggi kehilangan kendali melihat Salman yang tiba-tiba menyeberang. Keduanya tak sadarkan diri. Darah bercucuran.
Ternyata malam masih pekat. Maryam terbangun dari tidur singkatnya. Ia menatap jam dinding yang masih menunjukkan pukul dua malam. Keringat di dahinya keluar. Bukan karena cuaca terlalu panas melainkan karena mimpinya terasa nyata. Maryam seperti mendapat firasat bahwa esok hari kekasihnya akan pulang. Namun, sebelum sampai pada dirinya, Salman akan mengalami musibah. Karena tentu tak ingin itu terjadi, Maryam berpikir untuk mengubah nasib suaminya esok hari. (Bersambung)
[HM]
Penyuka kopi dan hujan. Saat ini tinggal di Ngawi.