Ketika mendengar ayat-ayat tentang munafik, para sahabat Nabi tidak menuding-nuding orang lain, melainkan mengarahkan ayat itu kepada diri masing-masing. Mereka takut dan khawatir, jangan-jangan munafik yang disebut dalam ayat itu adalah mereka sendiri.
Ibnu Abu Malikah, tokoh tabiin berkata, “Saya menjumpai 30 sahabat Nabi yang bersedih, khawatir dalam dirinya terdapat tanda-tanda kemunafikan, sebab keimanan mereka masih jauh dari yang seharusnya.” Sebagian dari mereka berdoa,
اَللهُمَّ اِنِّى أَعُوْذُ بِكَ مِنْ خُشُوْعِ النِّفَاقِ
“Wahai Allah jauhkanlah aku dari khusyuk munafik.” Para sahabat bertanya, “Apa maksudmu?” “Yaitu kekhusyukan palsu: hanya fisik, bukan hati.”
Umar bin Khattab r.a sering bertanya pada Khudzaifah bin Yaman r.a, “Apakah engkau melihat tanda-tanda munafik pada diri saya?” “Tidak,” jawaban yang melegakan Umar. Khudzaifah adalah sahabat yang paling jeli melihat tanda kemunafikan, karena paling sering bertanya kepada Nabi tentang hal itu.
Ketika melihat kerumunan orang yang bersiap mengantar jenazah ke pemakaman, Umar r.a bertanya, “Apakah Khudzaifah hadir?” Jika ya, Umar cepat-cepat datang menemuinya untuk ke sekian kalinya meminta kejelasan ada tidaknya sifat munafik pada dirinya.
Sahabat yang lain, Handhalah al-Usayyidiy r.a juga selalu mengakui kemunafikan dirinya. Ia bercerita, “Abu Bakar r.a suatu hari menjumpainya dan bertanya, “Bagaimana keadaanmu, wahai Handhalah?” “Handhalah orang munafik,” jawabku. Abu Bakar terkejut, “Subhanallah, apa yang kau katakan itu?” Aku menjawab, “Kami pernah mendengarkan Rasulullah SAW menjelaskan neraka dan surga dalam sebuah pertemuan (dengan jelas dan mengesankan), sehingga kami seakan-akan melihat keduanya itu secara langsung.
Akan tetapi, setelah keluar dari pertemuan itu, dan bersukaria dengan istri dan anak-anak, serta kegiatan-kegiatan lain yang tidak penting, kami benar-benar lupa neraka dan surga itu.” Abu Bakar r.a. berkata, “Demi Allah, kalau begitu, saya juga munafik.”
Oleh karena itu, aku dan beliau pergi menemui Nabi di rumahnya. Aku berkata, “Wahai Rasulullah, saya, Handhalah benar-benar munafik.” “Apa yang engkau maksud?” Aku menjawab, “Kami pernah mendengarkan tuan menerangkan neraka dan surga dalam sebuah pertemuan, sehingga kami seakan-akan melihat keduanya secara langsung.
Akan tetapi, setelah keluar dari pertemuan itu, dan bersukaria dengan istri dan anak-anak, serta kegiatan-kegiatan lain yang tidak penting, kami lalu benar-benar lupa neraka dan surga itu.” Rasulullah menjawab,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنْ لَوْ تَدُومُونَ عَلَى مَا تَكُونُونَ عِنْدِي وَفِي الذِّكْرِ لَصَافَحَتْكُمْ الْمَلَائِكَةُ عَلَى فُرُشِكُمْ وَفِي طُرُقِكُمْ وَلَكِنْ يَا حَنْظَلَةُ سَاعَةً وَسَاعَةً
“Demi Tuhan yang menguasai diriku, jika kalian tetap (beriman dan bertakwa) seperti ketika kalian berada di sisiku, dan ketika berzikir, niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian dalam semua langkah hidup kalian. Namun, (ingatlah) wahai Handhalah, semuanya itu harus setahap demi setahap” (Beliau mengulang ucapan “setahap demi setahap” itu) tiga kali.” (HR. Muslim no. 2750, dalam bab tobat, pada subbab keistimewaan keajegan zikir dan penguatan keyakinan pengawasan (murāqabah) Allah terhadap manusia, serta diperbolehkannya menjalani kesibukan yang dapat mengurangi zikir).
Siapakah Handhalah bin Abi ‘Amir r.a itu? Ia adalah pengantin baru yang gugur sebagai syuhadak perang Uhud pada tahun 3 H (625 M). Dialah yang pernah meminta ijin Nabi untuk membunuh ayahnya, Abu ‘Amir yang berada dalam pasukan kafir, tapi Nabi melarangnya. Sehari sebelum perang Uhud, Handhalah menikah dengan wanita pujaannya. Esok harinya, ia bangkit dan berlari memenuhi ajakan Nabi untuk perang.
Begitu semangatnya, sampai ia lupa belum mandi besar. Maka, ketika ia gugur sebagai syuhadak, Nabi mengatakan, “Ia akan dimandikan oleh malaikat.” Sejak itulah, ia dikenal dengan julukan “Ghasīl al-Malāikah” (orang yang dimandikan malaikat).
Ketika tersebar hoax atau berita bohong, bahwa Nabi gugur dalam perang Uhud itu, tentara kafir, termasuk ayah Handhalah mencari jenazah Nabi. Tapi, yang ditemukan justru jasad Handhalah, anaknya. Ia menangisi putranya dan meminta pasukan kafir tidak melakukan mutilasi putranya.
Handhalah terkenal keperkasaannya dalam perang, dan kesungguhannya dalam pembersihan diri dari sifat-sifat munafik. Berulang kali, ia mengatakan, “aku munafik.” Abdullah, putra Handhalah yang lahir beberapa bulan sepeninggal ayahnya, juga mewarisi sifat-sifat sang ayah, yaitu semangat juang dan kerendahan hatinya terhadap setiap orang. Ia sangat jarang menegakkan kepalanya dalam pergaulan sehari-hari.
Orang sesuci Handhalah r.a dan Abu Bakar r.a mengaku munafik di mana-mana. Mengapa ada di antara kita yang justru sibuk memberi label munafik pada orang lain.
Melalui artikel ini, kita berharap bisa menghentikan kebiasaan memandang jelek orang lain. Hentikan berkiblat pada Iblis yang selalu mengatakan dengan congkak, “Anā khair minhu (aku lebih baik dari dia).” (QS. al-A’rāf [7]:12).
Kita berharap berubah menjadi muslim rendah hati, tidak merasa suci atau memandang rendah orang lain, selalu memintakan ampunan untuk orang yang melakukan maksiat, dan tidak justru menghina dan memberitakan kemaksiatannya.
Termasuk dalam hal ini adalah orang yang tertangkap aparat keamanan karena kejahatan kriminal, korupsi, atau skandal seks. Sebab, Allah sengaja membongkar dosa itu agar ia tidak menambah dosa yang lebih banyak. Itulah rahasia kasih Allah. Ingatlah juga peringatan Nabi SAW,
مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ
“Barangsiapa mencela orang karena suatu dosa, maka ia tidak akan mati sebelum melakukan dosa yang sama” (HR. Al-Tirmīdzi dari Mu’ādz bin Jabal r.a).
Selamat berubah menjadi muslim rendah hati dan mengasihi semua pendosa. [MZ]
Sumber: (1) Al Naisaburi, Muslim bin Al Hajaj Al Qusyairi. Shahih Muslim. Beirut:Dar Al Fikr, 1988. (2) Hamka, Tafsir Al Azhar, juz 28, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985, p. 205-206. (3) Al Tirmudzi, Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah, Sunan Al Tirmudzi, Dar al-Fikr, Beirut, Lebanon, 2005.