Moh. Mufid Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Alumnus Universitas al-Ahgaff Yaman, Penulis Buku Islam Teduh: Menyelami Nasihat Spiritual M. Said Ramadhan al-Buthi

Ceramah Muhammad Said Ramadhan al-Būtī: Tuhan yang Mahapengampun dan Mahamenyayangi

2 min read

Dalam kunjungan Muhammad Said Ramadhan al-Būtī ke Paris, beliau pernah menyampaikan ceramah di salah satu masjid dengan topik yang sangat menyentuh. Ya, topik yang benar-benar membangkitkan optimisme untuk berharap ampunan dan kasih sayang dari sang Mahasegalanya.

Di akhir ceramahnya, al-Būtī berpesan begini:

في الدقائق الأخيرة أقول لكم الشيئ، هذا لا أقول من قبيل التعالي على الله لكن من قبيل حسن الظن بالله عز وجل. ما من إنسان يرحل إلى الله غير مستكبر على سلطانه، غير باغ على أوامره، موقن بأنه عبده المخلوق له، أنه مكلف بأن ينفذ أوامره لا لشيئ إلا لأنه عبده ولأن الله مولاه وخالقه. رحل من هذه الدنيا بهذا اليقين ولسوف يغفر الله له ذنوبه كلها.

Maksudnya: Di menit-menit akhir ini saya ingin katakan pada kalian satu hal. Pernyataan ini bukan bermaksud menyombongkan diri kepada Allah, tetapi lebih pada sikap berbaik sangka kepada-Nya. Tidak ada seorang hamba pun yang menuju kepada Allah [mati] dalam keadaan tidak bersikap sombong atas kuasa-Nya, tidak melawan atas perintah-Nya, berkeyakinan penuh bahwa dirinya adalah hamba-Nya yang diciptakan-Nya, siap menunaikan perintah-Nya, dan semata-mata dirinya merasa bahwa Allah-lah Zat Sang penciptanya. Orang yang mati meninggalkan alam dunia dengan keyakinan semacam ini, niscaya ia akan mendapatkan ampunan atas seluruh dosa-dosanya.

Al-Būtī pun melanjutkan ceramahnya. Menurutnya, kendatipun seorang hamba yang beriman kepada Allah seringkali berbuat dosa dan maksiat, Allah akan tetap mengampuninya. Allah tak akan pernah bosan untuk mengampuni hamba-hamba-Nya. Selama hamba-Nya tersebut tidak memiliki sikap sombong dalam dirinya atas dosa-dosanya. Al-Būtī melanjutkan ceramanya begini:

المعاصي يا أيها الإخوة لا تحجب عن الله، الاستكبار هو الذي يحجبه، أنا ما رأيت في كتاب الله من أوله إلى آخره انذارا لعاص مقابل معصيته بالعذاب الواصب، لكنه دائما عندما ينذر ينذر من المستكبرين.

Baca Juga  Kisah Cinta Sufi (8): Khusrau dan Syirin - Cinta Selalu Mampu Mengubah Segalanya

Menurut al-Būtī, perbuatan maksiat seorang hamba bukanlah menjadi penghalang untuk menjadi dekat kepada Allah. Tetapi sebaliknya, sikap sombonglah yang akan menjadikan seorang hamba menjadi terhalang dan jauh dari kasih sayang-Nya.

Al-Būtī pun kemudian mengutip QS. al-A’raf 146 berikut: “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.”

Al-Būtī menegaskan bahwa Allah bersifat Mahapengampun dan Mahamenutupi aib hamba-Nya. Sifat Allah Al-Ghaffār dan al-Sittir berarti Allah Mahapengampun dan Menutupi aib, dosa, dan kesalahan hamba-hamba-Nya. Dia-lah yang menganugerahkan kepada hamba-hamba-Nya rasa penyesalan atas kesalahan dan dosa-dosa yang telah dilakukan, sehingga penyesalan tersebut mampu menjadi energi yang menyembuhkan luka dosa.

Pada titik ini, seorang hamba yang sering melakukan perbuatan dosa karena kelemahan dirinya atas godaan nafsu dan syahwatnya, bukan atas kesombongan diri dan kepongahannya kelak akan senantiasa mendapatkan rahmat-Nya.

Hamba-hamba Allah yang senantiasa “merasa” tersiksa atas perbuatan maksiat dan dosanya, dan pada saat yang sama ia tidak mampu menghindari gejolak nafsunya karena kelemahan dirinya sehingga kembali terjerumus dalam dosa adalah hamba-hamba yang beruntung. Hamba Allah yang semacam ini akan mengadukan kelemahan dirinya kepada Allah. Dan, sikap sadar atas kelemahan inilah yang membimbing dirinya untuk senantiasa mendekat kepada-Nya. Senantiasa kembali dan bermunajat kepada-Nya

Kelak hamba-hamba yang sadar atas kelemahan dirinya dan mengakui segala kesalahan seraya menutupi aibnya niscaya akan mendapatkan ampunan-Nya. Ini sesuai dengan sabda Nabi berikut:

Baca Juga  Antropologi Doa dan Psikologi Harapan

“Kelak setiap hamba di antara kalian akan dihadapkan kepada Tuhannya, lalu Allah bertanya, “Bukankah kamu pernah berbuat dosa ini dan itu?” Ia menjawab, “Ya.” Allah bertanya, “Bukankah kamu telah berbuat dosa ini dan itu?” Ia menjawab, “Ya.” Dia membuat hamba itu mengakui semua dosa-dosanya, lalu Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku menutupi aibmu di dunia dan Aku mengampuninya pada hari ini (kiamat).” (HR. Bukhari).

Adakah anugerah lebih besar dari ampunan-Nya semacam ini. Oleh sebab itu, sebagai seorang hamba beriman harus selalu menunjukkan kelemahannya kepada Allah dalam setiap munajatnya. Al-Būtī selalu mengajarkan murid-muridnya bermunajat sebagai berikut:

“يا ربي أنا ما عصيتك حين عصيتك استكبارا على أمرك ولا تعاديا لشرعك لكنه الضعف الذي ركبته في فالتوبة إليك والمغفرة منك”. ارحل إلى الله بهذه العبودية تجلبب بجلباب العبودية لله عز وجل وانظر كيف أن الله عز وجل يصفح عنك صفح الجميل.

Maksudnya: “Wahai Tuhanku, saya tidak berbuat maksiat kepada-Mu karena angkuh atas perintah-Mu, bukan pula melawan syariat-Mu, akan tetapi kelemahan diri yang Engkau sematkan dalam diriku, maka hamba bertobat kepada-Mu dan mengharap ampunan dari-Mu.” Tinggalkan dunia [mati] menuju Allah dengan penghambaan yang tulus kepada-Nya seperti ini, dan lihatlah kelak [di akhirat] bagaimana Allah akan memaafkan Anda dengan pengampunan yang indah.

Di momentum tahun baru Hijriah ini, semoga kita semua senantiasa bermuhasabah dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Dengan demikian, kita kelak bertemu dengan Allah dengan penuh harapan atas ampunan-Nya.

Tapi ingat, jangan pernah berbangga diri dan bersikap sombong kepada-Nya di dunia fana ini. Karena kita hanya hamba-Nya yang lemah. Dan, hanya kepada-Nya kita berserah diri. Wallāhu a’lam. [MZ]

Moh. Mufid Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Alumnus Universitas al-Ahgaff Yaman, Penulis Buku Islam Teduh: Menyelami Nasihat Spiritual M. Said Ramadhan al-Buthi