Mukhammad Zamzami Santri PP Mambaus Sholihin Gresik; Executive Editor Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Ibnu Taimiyyah, Pemikiran Sufistiknya “Jarang” Diakui oleh Pengagumnya [Bag 2]

3 min read

Source: kasnazan.com

Ibnu Taimiyyah selalu menegaskan kewajiban mengutamakan syariat dalam mentradisikan praktik sufistik. Untuk mendukung penjelasannya ia menyebut ulama salaf dan syeikh sufi ideal. Ia menuturkan:

Orang-orang yang menjalankan praktik sufisme yang ideal, antara lain al-Fudayl b. Iyād, Ibrāhīm b. Adham, Ma‘ruf al-Karkhī, Sarī al-Saqatī, al-Junayd al-Baghdādī, ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī, Syeikh Hammād, Syeikh Abū al-Bayyān, dan yang lainnya. Mereka melarang para sālik mengabaikan perintah dan larangan syariat, bahkan sekalipun orang itu dapat terbang di udara atau berjalan di atas air [Baca: Ibnu Taimiyyah, Majmū‘ Fatāwā, Vol. 11, 21-24.]

Di beberapa karyanya, Ibnu Taimiyyah juga membela para sufi sebagai pengikut Sunnah Nabi Muhammad sebagaimana tampak dari ajaran dan tulisan mereka. Ia menuturkan:

Para syeikh besar yang disebutkan oleh Abū ‘Abd al-Rahmān al-Sullamī dalam Tabaqāt al-Sūfīyah dan ‘Abd al-Qāsim al-Qushayrī dalam al-Risālah merupakan para penganut mazhab Sunnī dan mazhab ahli hadis, seperti al-Fudayl b. Iyād, al-Junayd al-Baghdādī, Sahl b. ‘Abd Allah al-Tustarī, ‘Amr b. ‘Uthmān al-Makkī, Abū ‘Abd Allah Muhammad b. Kafīf al-Sarazī dan yang lainnya. Perkataan-perkataan mereka didasarkan atas sunnah dan mereka menulis buku-buku tentang sunnah [Ibnu Taimiyyah, al-Risālah al-Safādīyah, Vol. 1, 267.]

Pembelaan terhadap para sufi juga diwartakan Ibnu Taimiyyah dalam buku al-Radd ‘alā al-Shādhilī fī Hizbayh wa mā Sannafah fī Adāb al-Tarīq, di mana ia memuji paradigma sufisme mereka yang mengeliminir model penalaran spekulatif a la teolog yang sangat filosofis saat membincangkan ihwal pemahaman metaforis. Ia berujar:

Model penalaran teolog Muslim berbeda dengan model penalaran Muslim saleh yang ahli beribadah dari kelompok Ahl al-Sunnah wa al-Hadīth wa Sūfiyyatihim, seperti al-Fudayl b. ‘Iyād, Ibrāhīm b. Adham, Abū Sulaymān al-Dārānī, Ma‘rūf al-Karkhī, Sarī al-Saqatī, al-Junayd al-Baghdādī, Sahl b. ‘Abd Allāh al-Tustarī, dan ‘Amr b. Uthmān al-Makkī. Argumen para sufi ini lebih bagus dan utama ketimbang model penalaran filosofis ala teolog, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Mu‘tazilah dan Kullābīyah. Bisa dibayangkan betapa para saleh pasti menolak logika para filsuf [Baca: Ibnu Taimiyyah, al-Radd ‘alā al-Shādhilī fī Hizbayh wa mā Sannafah fī Adāb al-Tarīq, 39].

Berikut ini penulis mengklasifikasi para sufi yang doktrin dan praktik keagamaannya dianggap oleh Ibnu Taimiyyah sejalan dengan al-Qur’ān, Sunnah, dan tradisi al-salaf al-sālih.

Berikut ini Sufi Tradisional Perspektif Ibnu Taimiyyah yang penulis susun berdasarkan beberapa ulasan Ibnu Taimiyyah dalam beberapa karyanya. Mereka antara lain: ‘Umar b. Uthmān al-Makkī (w. 291 H/903 M), Abū al-Bayān (w. 551 H/1156 M), Abū Sulaymān al-Dārānī (w. 203 H/844 M), al-Fudayl b. ‘Iyād (107-187 H), Ibrāhīm b. Adham (718-777 M), Ma‘rūf al-Karkhī (w. 220 H/835 M), al-Junayd al-Baghdādī (830-910 M), Sarī al-Saqatī (762-867 M), Sahl b. ‘Abd Allah al-Tustarī (815-896 M), al-Ansārī al-Harawī (1006-1089 M), Hammād al-Dabbās (w. 525 H/1130 M), dan ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī (1077-1166 M).

Baca Juga  Bunyai Ainur Rohmah: Potret Otoritas Perempuan dalam Kepemimpinan Pesantren

Nama-nama sufi di atas tidak pernah sekalipun dihujat atau setidaknya dikritik oleh Ibnu Taimiyyah. Setidaknya para sufi tersebut di atas sangat memedomani prinsip dan standar syariat dalam beribadah. Kategori sufi yang “selamat” dari kritik Ibnu Taimiyyah masuk dalam tipologi sufi mazhab Sunnī.

Klasifikasi para sufi di atas adalah mereka yang dianggap oleh Ibnu Taimiyyah memedomani ajaran autentik Islam. Sesungguhnya Ibnu Taimiyyah memberikan persetujuannya untuk beberapa elemen moral dan etika dalam tradisi ini. Namun, ia masih tidak sepakat dengan sebagian besar sufi terkait sarana untuk mencapai standar etis dan moral [Baca: M. Abdul Haq Ansari, “Ibn Taymiyya and Sufism”].

Ibnu Taimiyyah mengakui beberapa praktik sufi yang mendorong moral dan etika yang baik yang bersumber dari al-Qur’ān dan Sunnah, namun ia masih mengecam keras beberapa dari doktrin mereka yang dianggap keluar dari mainstream Islam. Karenanya, ia membagi sufi menjadi tiga kategori. Kategori pertama Mashāyikh al-Islām, Mashāyikh al-Kitāb wa al-Sunnah, wa A’immat al-Hudā (syeikh Islam, syeikh al-Qur’ān dan Sunnah, dan para pemimpin yang mendapatkan petunjuk). [Ibid]

Mereka yang termasuk dalam kelompok ini senantiasa menjaga praktik-praktik ritualnya dari aspek yang keluar dari mainstream Islam. Bagi Ibnu Taimiyyah, sufi kelompok ini tidak pernah “mabuk” dan tidak pernah mengatakan apapun yang bertentangan dengan al-Qur’ān dan Sunnah. Kelompok sufi kedua adalah para sufi yang mengalami fanā’ (meninggalkan diri dari dunia) dan sukr (mabuk). Dia percaya bahwa sufi ini kalah oleh perasaannya. Pada kelompok ini Ibnu Taimiyyah memaafkan kondisinya.

Sedangkan sufi model ketiga adalah mereka yang banyak mendapatkan kritik keras dari Ibnu Taimiyyah. Kelompok ini adalah para sufi yang percaya pada ide dan doktrin yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam [Baca ‘Abd al-Fattāh Muhammad Sayyid Ahmad, al-Tasawwuf bayn al-Ghazālī wa Ibnu Taimiyyah, 2-3].

Baca Juga  Belajar Filsafat dari Imam Bukhari (1)

Menurut Ibnu Taimiyyah, dalam ajaran ‘Abd al-Qādir, seorang sālik harus melepaskan diri dari ragam keinginan yang dibolehkan. Maksudnya, sālik mesti menghindari berbagai hal yang diperbolehkan, karena ditakutkan mengandung bahaya. Jika Islam didasarkan pada upaya mengetahui dan mengemban perintah Allah, maka harus ada cara bagi para hambanya di jalan itu untk mengetahui seluruh kehendak Allah pada segenap situasi.

Ibnu Taimiyyah mengakui bahwa al-Qur’ān dan Sunnah tidak mencakup seluruh peristiwa yang terjadi dalam kehidupan seorang Muslim. Meskipun demikian, jika ketundukan pada kehendak dan keputusan Allah harus dicapai oleh para hamba-Nya, maka harus ada cara untuk memastikan dan mengetahui perintah Allah itu yang mewujud dalam ragam bentuk khususnya.

Untuk menjawab permasalahan ini, Ibnu Taimiyyah mengemukakan konsep ijtihad yang sah dalam tarekat berkenaan dengan penggunaan intuisi atau ilham. Untuk mengintegrasikan antara kemauan diri seseorang dan kehendak Allah, sang sufi sejati mesti sampai pada suatu keadaan ketika ia tak menginginkan apa-apa melebihi keinginannya untuk mendapatkan kebaikan yang lebih besar, yang paling menyenangkan, dan paling dicintai Allah. Ketika hukum dan prinsip zahir tak dapat memandunya dalam persoalan semacam itu, ia dapat mengandalkan worldview sufi yang didapatkan dari intuisi atau ilham (dhawq). Ia menegaskan:

Apabila sālik berjuang mencari petunjuk syariat yang bersifat lahiriah dan tidak menemukan alternatif yang jelas berkaitan dengan tindakan yang lebih disukainya, kemudian ia merasa mendapat ilham selaras dengan kebaikan niat dan ketakwaannya kepada Allah untuk memilih salah satu di antara dua tindakan itu, maka ilham seperti ini merupakan petunjuk kepada kebenaran. Mungkin saja ilham itu merupakan petunjuk yang lebih kuat daripada qiyās (analogi) yang lemah, hadis da‘īf, argumen harfiah yang lemah (zawāhir) dan istishāb yang lemah yang digunakan oleh banyak orang yang mempelajari prinsip, perbedaan dan sistematisasi fiqh [Ibnu Taimiyyah, Majmū‘ Fatāwā, Vol. 10, 473-474].

Baca Juga  Nabi Isa, Aku, Temanku, dan Pertemanan Lintas Agama

[Bersambung]

Mukhammad Zamzami Santri PP Mambaus Sholihin Gresik; Executive Editor Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam UIN Sunan Ampel Surabaya