Selain dikenal sebagai murid setia Muhammad Abduh (1849-1905), Muhammad Rasyid Rida (1865-1935) jelas melanjutkan gagasan-gagasan fundamental dari sang guru. Walaupun pada banyak hal terutama pasca-meninggalnya Abduh dan latar historis yang melingkupinya, Rasyid Rida jauh lebih konservatif ketimbang sang guru, Abduh. Muhammad Imarah malah menyebutnya sebagai “Bapak Islam-Politik” di dunia Arab.
Abduh memang mempunyai dua kelompok murid. Oleh beberapa pemikir Arab kontemporer, kedua kelompok ini biasa disebut dengan Kanan-Abduh dan Kiri-Abduh. Kanan-Abduh digunakan untuk menyebut muridnya seperti Muhammad Rasyid Rida yang reformis-konservatif, sedangkan Kiri-Abduh digunakan untuk menyebut beberapa murid Abduh yang reformis-progresif—untuk tidak menyebut liberal—seperti Qāsim Amīn, Sa‘ad Zaghlūl, Thaha Husain, dan lain-lain.
Bagi saya, rasa-rasanya gambaran kedua kelompok ini tentu akan melahirkan kluster lain yang di dalamnya ada nama-nama seperti dua syeikh al-Azhar, Muhammad Mustafā al-Maraghī dan Mustafā ‘Abd al-Rāziq. Saya menyebutnya reformis-moderat.
Khusus untuk sosok Rasyid Rida, pada awalnya ia dikenal sebagai seorang pengagum Imam Ghazali terutama dalam karya Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Bagi Rida, kitab Ihyā’ membantu membentuk pandangannya bahwa umat Muslim harus secara sadar menghayati (menginternalisir) keimanannya, melampaui segala ketaaatan lahiriah (eksternal), serta harus selalu menyadari implikasi etis dari tindakan-tindakannya. Dia pun sempat berbaiat kepada mursyid tarekat Naqsyabandiyah–walaupun awalnya ia mengenal dan menjalani tarekat Syadziliyyah. [Elizabeth Sirriyeh, Sufis and Anti-Sufis, 146-147].
Konstruksi sufismenya mulai bergeser saat ia menemukan eksemplar majalah al-Urwah al-Wutsqā di antara surat-surat kabar ayahnya pada 1892. Kejadian ini mengarahkannya pada pemahaman baru terhadap Islam sebagai agama yang juga memperhatikan hidup ini dan mengatur urusan-urusan dunia, hingga akhirnya ia berkirim surat kepada Jamaluddin al-Afghani seraya memohon kepadanya untuk dijadikan murid. Sufisme tak lagi digelutinya–bahkan cenderung dianggap menyimpang.
Pada akhirnya Rida berhasil bergabung dengan Afghani hingga Afghani meninggal tahun 1897. Selanjutnya di kemudian hari Rida menjadi sahabat sekaligus murid Abduh di Mesir [Yudian Wahyudi, Dinamika Politik, 60]. Pada tahun 1898, Rida mulai mempublikasikan majalah al-Mannār, yang dimaksudkan sebagai sarana promosi reformasi ideologi salafisme dengan dukungan ‘Abduh. Rida menjabat sebagai editor majalah al-Mannār sampai ia wafat pada 1935, dan menyatakan dirinya sebagai pewais spiritual Abduh yang terpercaya, meskipun di beberapa tempat status itu diragukan.
Jika dicermati dengan saksama, dibandingkan pengaruh Afghani dan Abduh justru pemikiran Rida lebih dekat dan erat dengan pemikiran Ibn Taimiyyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab. Berbeda dengan Afghani dan Abduh, Rida mengambil pandangan anti-sufi yang lebih keras. Hal ini karena pengaruh ajaran Ibn Taimiyyah dan kaum Wahhabiyah. [Lebih jauh lihat buku Elizabeth Sirriyeh]
Dalam salah satu artikel yang ditulis oleh Husam al-Haddad berjudul “Wahdat al-Islām al-Siyāsī.. Bawwābat al-Harakāt al-Islāmīyah” [Pan-Islamisme.. Gerbang Gerakan-gerakan Islam] disebutkan bahwa ideologi Wahabisme yang banyak tertuang dalam majalah al-Mannār atau bahkan pada karya tafsir Rida, membuat seorang syeikh sufi dari al-Azhar, Yūsuf al-Dajwī (w. 1946) mengkritik keras melalui majalah “Nūr al-Islām” terhadap konten majalah maupun tafsirnya yang mengarah kepada tuduhan mengingkari eksistensi jin dan malaikat, mengingkari sebagian mukjizat, dan lain-lain. Walaupun pada akhirnya Rida pun membantah tuduhan-tuduhan tersebut.
Kelompok al-Ikhwān al-Muslimūn/IM—gerakan politik-keagamaan yang didirikan oleh Hasan al-Bannā tahun 1928—adalah gerakan yang selalu mendapat arahan dari Rida. Figur Rida pula yang sangat berjasa memperkenalkan Hasan al-Bannā muda kepada tokoh-tokoh Wahabi di Arab Saudi, termasuk Hafiz Wahbah, penasihat Raja Abdul Aziz dan Muhammad Nassif, tokoh di Jeddah yang paling terkenal. Putra Abdullah Nassif adalah orang yang memimpin Liga Dunia Muslim, di mana pengaruh Saudi menembus dunia Islam hingga saat ini.
Pada 1920-an, kebangkitan kembali kaum Wahhabiyah menarik perhatian internasional karena kampanye ekspansionis Ibn Sa‘ud di Arab, yang mencapai puncaknya pada pendudukan Hijaz pada 1924, dan pengangkatan Ibn Sa‘ud sebagai raja kecil kota Hijaz pada 1926. Eliezer Tauber dalam tulisan tentang Rida menyatakan bahwa Rida terus memperjuangkan agenda Afghani (Pan-Islamisme) dan Wahabi melalui jurnal al-Mannār.
Pada saat itu, Rida menulis buku untuk mendukung Ibn Sa‘ud sebagai pembela Sunnisme sejati, dan mendeklarasikan doktrin-doktrin Wahhabiyah sebagai keimanan yang benar. [Lihat buku Muhammad Rasyīd Ridā, al-Wahhābīyūn wa al-Hijāz, 1926]. Sikap inilah yang kemudian dicurahkannya dalam majalah al-Mannār, disertai kritik-kritik keras terhadap segenap penyimpangan sufi. Sangat khas kelompok Salafi-Wahabi.
Dalam konteks hubungan agama dan Negara, Rida berusaha membungkus demokrasi dengan istilah Islam. Ia ingin membatasi kekuasaan penguasa Islam dan menjadikan rakyat sebagai sumber kekuasaan melalui konsensus (syūrā). Dalam gagasannya tentang “republik khilafah Islam”, ulama (kelas agama yang ada di wilayah pinggiran dalam negara nasional dan sekuler) ditempatkan pada pusat kekuasaan dengan mengangkat mereka sebagai penasihat khalifah.
Khalifah harus membagi kekuasaannya dengan presiden dan perdana menteri. Sementara itu, dalam memperjuangkan autentisitas Islam—yang harus berhadapan dengan tantangan nasionalisme dan sekularisme Arab-Mesir—yang didukung oleh beberapa murid Afghani dan Abduh seperti Sa‘ad Zaghlūl, Mustafā Kāmil, Thaha Husain, dan ‘Ali Abd al-Rāziq), Rida menyatakan bahwa keturunan Quraisy merupakan persyaratan mutlak bagi seorang khalifah.
Namun demikian, wilayah yang menarik perhatian utama Rida mengenai Islam autentik tersebut bukanlah Mesir—kampung halaman keduanya—tetapi lebih tertuju pada Saudi Arabia dan Suriah.
Dalam trias politica Islaminya, Rida mencoba menjadikan Mekkah sebagai pusat kekuasaan khalifah dan Damaskus, kota asalnya, sebagai pusat kekuasaan presiden dan pusat kekuasaan dewan deputi.
Melalui konsep ini, Rida sama sekali tidak memberikan ruang kekuasaan kepada masyarakat non-Arab. Bahkan melalui gagasannya untuk menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa persatuan khilafah, Rida mengurung kekuasaan Mustafa Kemal Ataturk di Turki, wilayah pinggiran yang dulunya pernah menjadi pusat kekuasaan Islam.
Sebagai catatan, antara Muhammad bin Abd al-Wahhab/Wahabisme dan Rida sama-sama berkomitmen tidak pernah tunduk dengan Turki Usmani. Keduanya sangat membenci Turki baik saat menjadi dinasti atau menjadi Negara sekuler.