Muhammad Naufal Hakim Santri YPP Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Ampel.

Paradoksal Feminisme al-Qur’an Asma Barlas

3 min read

Isu gender menjadi isu problematik. Gerakan dan pertentangan yang dilakukan para feminis guna menyuarakan kesetaraan justru melahirkan pro-kontra serta dinamika yang pelik. Pada era post-truth, diskursus gender di ruang akademik telah merambah ke dalam hal substantif keagamaan, termasuk pada ranah reinterpretasi teks kitab suci. Hal ini secara nyata terjadi dalam Islam yang diakomodir para pemikir tafsir kontemporer.

Angin segar munculnya gerakan feminis yang menyasar wilayah reinterpretasi al-Qur’an diawali dengan adanya upaya untuk memperbarui metodologi penafsiran, salah satu tokoh yang paling berpengaruh adalah Fazlur Rahman, yang melahirkan metode interpretasi double movement. Metode ini kemudian banyak diaplikasikan oleh beberapa sarjana, dua di antara yang kental dengan paham feminisnya yaitu Amina Wadud dan Asma Barlas.

Barlas berbeda dengan Wadud yang lahir dan tumbuh besar di negara liberal seperti Amerika. Barlas lahir di Pakistan, di negara yang secara sosial-keagamaan didominasi umat Islam dengan kultur konservatifnya. Pada perjalanan hidup Barlas hari ini, memang banyak dihabiskan di dunia Barat. Hal ini disebabkan pada sekitar tahun 1983 ia diusir oleh rezim militer Pakistan kala itu karena melontarkan kritik yang keras.

Sebagaimana yang didapat Naufil Shahrukh dari hasil wawancara dengan Barlas yang bertajuk The Qur’an Doesn’t Support Patriartcy, terdapat dua tuduhan yang menjadikannya diusir oleh pemerintah Pakistan, yaitu tuduhan bahwa ia telah menulis di buku harian, yang menyebut pemimpin Pakistan, Ziaul Haq, adalah seorang badut, dan menyebut sistem peradilan di Pakistan jauh dari nilai keadilan. Barlas memang seorang yang reformatif, gagasan feminisme Islamnya dilatar belakangi oleh praktik patriarki, misogini, seksisme, dan bentuk bias-bias gender lain yang sering terjadi di Pakistan yang kemudian dilegitimasi dengan dalil-dalil al-Qur’an.

Baca Juga  Perempuan di Bilik Musala al-Lathifiyyah Tambakberas

Problem Subjektivitas Penafsiran dan Tafsir Feminis Barlas

Praktik-praktik seperti patriarki, misogini, dan seksisme yang ada di dalam agama Islam, tentu terjadi sebagai akibat dari ketidakberdayaan seseorang melakukan interpretasi al-Qur’an. Penafsiran yang tekstual dan ahistoris pada akhirnya akan melahirkan pemahaman yang tidak berasaskan pada keadilan dan kesetaraan. Hal inilah yang kemudian mendorong Barlas untuk mengaungkan “reinterpretasi al-Qur’an perspektif perempuan”.

Baginya, praktik-praktik yang merugikan perempuan merupakan hasil atau produk dari interpretasi, dengan kata lain, itu bukan karena al-Qur’an yang mengatakannya. Sehingga reinterpretasi al-Qur’an menjadi satu hal yang urgen, dalam bukunya yang berjudul Believing Women in Islam, Barlas menuliskan:

“a reinterpretation of the scripture is particularly important because the Qur’ān’s teachings provide Muslims with role models for both women and men. Since different readings of the Qur’ān (and of other texts) can yield what are forwomen fundamentally different Islams, it becomes crucial for them to reinvestigate the normative religious texts” and even to become specialists in thesacred text.”

Pemikiran Barlas tentang pentingnya melakukan reinterpretasi al-Qur’an perspektif perempuan ini sejalan dengan Wadud dalam magnum opus-nya yang berjudul Qur’ān and Women. Terdapat dua fondasi epitemologis yang diterapkan Barlas untuk menghasilkan interpretasi egaliter dan anti-ptariarki, hal ini sebagaimana yang tuliskan oleh Khalil dan Thahir dalam artikelnya: pertama, menyatakan bahwa semua teks bersifat polisemik (all text are polysemic) sehingga menerima semua bentuk pembacaan; kedua, menyatakan bahwa al-Qur’an bersifat egaliter dan antipatriarki (The Qur’ān is egalitarian and antipatriarchal).

Pada tataran implementatif, reinterpretasi Barlas dapat dilihat ketika menafsirkan Qs. an-Nisa’ [4]: 34. Terdapat dua kata yang sering disalah artikan sehingga menyebabkan terjadinya bias gender. Pertama kata qawwāmūn yang oleh kebanyakan mufasir diartikan “pemimpin.” Bagi Barlas, kata qawwāmūn itu juga dapat dimaknai dengan pelaksanaan tanggung jawab ekonomi dan sosial, yang dalam arti lebih luas dapat ditujukan untuk laki-laki ataupun perempuan.

Baca Juga  Ibu, Ramadan, dan Covid-19

Kata kedua adalah kata waaribūhun yang oleh kebanyakan mufasir diartikan “dan pukullah mereka (isteri)”. Barlas mengutip pendapat Wadud, bahwa kata araba dalam ayat ini, bukan hanya dapat diartikan dengan “memukul” tetapi juga dapat diartikan dengan “memberi contoh”. Kemudian Barlas pun mengomentari bahwa ketika dimaknai memukul ini akan bertentangan dengan konsep kesetaraan.

Konstruksi dan Paradoksal Penafsiran Feminis Barlas

Selain wilayah epistemologis-interpretatif al-Qur’an, Barlas juga membangun argumentasi yang bersifat sosiologis. Pada bukunya Barlas menuliskan satu sub dengan judul The Qur’ān, Sex/Gender, and Sexuality dan menyebut bahwa pandangan masyarakat Islam yang tidak dapat membedakan serta cenderung mencampur adukan antara “seks” dan “gender” merupakan bawaan dari konstruksi sosial yang telah menyejarah.

Seks itu bersifat kodrati, sedangkan gender itu bersifat konstruksi, ketika seseorang tidak dapat membedakan keduanya, maka akan muncul bias-bias pemahaman. Misal pandangan tentang wilayah domestik dalam rumah tangga, bagi yang tidak dapat membedakan, mereka akan menganggap bahwa wilayah dosmetik ini merupakan tanggung jawab dan menjadi kodrat perempuan, padahal ini bukanlah kodrat perempuan, tetapi merupakan bagian dari konstruksi sosial.

Terkait yang terakhir, di Indonesia ada Zaitunah Subhan yang juga sejalan dengan pemikiran feminis Barlas. Melalui narasi yang sedikit berbeda, Subhan menuliskan dalam disertasinya yang kemudian dibukukan dengan judul Tafsir Kebencian, bahwa sebenarnya praktik-praktik patriarki, misogini, dan seksisme yang terjadi dalam Islam merupakan bagian dari konstrukasi sosial yang dilegitimasi dalil-dalil al-Qur’an.

Maka dari sini, ada dua tugas yang harus dilakukan, pertama yaitu reinterpretasi, dan kedua yaitu melakukan dekonstruksi serta rekonstruksi sosial. Sebab bagaimanapun, ketika sebuah pemahaman yang mengakar telah dijalankan sejak lama, maka upaya untuk melakukan reinterpretasi saja tidaklah cukup.

Baca Juga  Antara Jilbab dan Kemaslahatan Perempuan

Akhirnya, penulis berkesimpulan bahwa Asma Barlas dengan pemikiran feminisme al-Qur’an telah melontarkan wacana baru tentang pentingnya melakukan reinterpretasi teks keagamaan secara egaliter, adil, dan ramah gender. Gagasan yang dibawa Barlas meski bagi sebagian kelompok akan dinilai liberal hingga subversif, namun bertolak dari semua itu, gagasan ini tetaplah mengandung nilai-nilai kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan secara akademik. Maka inilah yang kemudian disebut oleh penulis sebagai salah satu bentuk “paradoksal” yang terjadi dalam diskursus feminisme al-Qur’an di era kontemporer. Wallahu a‘lam

 

Muhammad Naufal Hakim Santri YPP Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Ampel.