Sebelumnya: Tokoh-Tokoh Father Parenting dalam Al-Qur’an (https://arrahim.id/niam/tokoh-tokoh-father-parenting-dalam-al-quran/)
Pola asuh anak ala Nabi Ibrahim yang cenderung demokratis dan dialogis pada tulisan sebelumnya memperlihatkan bahwa Ibrahim sangat menghindari sikap otoritas yang akan berdampak pada sikap emosional Ismail. Selain Nabi Ibrahim sinopsis pola asuh anak dalam al-Qur’an juga dicontohkan oleh Nabi Ya’qub, Nabi Nuh, dan Luqman.
Interaksi Ya’qub dan Anak-Anaknya dalam al-Qur’an
Interaksi Nabi Ya’qub dan anak-anaknya terekam dalam al-Qur’an surah Yusuf. Peran Nabi Ya’qub sebagai seorang ayah di ceritakan dalam surah ini secara lengkap. Wahbah az Zuhaili dalam tafsir al-Munir menjelaskan bahwa dalam surah ini mengandung kisah nabi Yusuf yang mencakup semua bagian. Terkadang bahagia dan sedih. Diawali dengan kedekatan Yusuf dan Ya’qub, kemudian hubungannya dengan saudara-saudaranya, sikap kecemburuan saudar-saudaranya kepada Yusuf dan persekongkolan saudara-saudaranya untuk melemparkan Yusuf ke dalam sumur.
Begini narasinya dalam al-Qur’an
اِذْ قَالَ يُوْسُفُ لِاَبِيْهِ يٰٓاَبَتِ اِنِّيْ رَاَيْتُ اَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَّالشَّ مْسَ وَالْقَمَرَ رَاَيْتُهُمْ لِيْ سٰجِدِيْنَ
Artinya : Ketika Yusuf Berkata kepada ayahnya (Ya’qub), “wahai ayahku sesungguhnya aku telah (bermimpi) melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan. Aku melihatnya semuanya sujud kepadaku”. (QS. Yusuf: 4)
Quraisy Shihab dalam Tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa Yusuf bercerita kepada ayahnya mengenai mimpi yang dia alami malam itu. Apa yang disampaikan itu itu adalah suatu hal yang besar, apalagi seorang anak yang sejak kecil hatinya diliputi oleh kesucian dan kasih sayang ayah. Kasih sayang Ya’qub kepada Yusuf disambut dengan bentuk penghormatan. Ayat ini tidak berkata “ingatlah ketika Yusuf berkata kepada Ya’qub”, tetapi “ketika Yusuf berkata kepada ayahnya”. Panggilan Yusuf kepada ayahnya ya abati (wahai ayahku) membuktikan kedekatan seorang anak kepada ayah dibuktikan oleh ayat ini.
قَالَ يٰبُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُءْيَاكَ عَلٰٓى اِخْوَتِكَ فَيَكِيْدُوْا لَكَ كيَدًا ۗا ِنَّ الشَّيْطٰنَ لِلْاِنْسَانِ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
Artinya: wahai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpi kepada saudara-saudaramu karena mereka akan membuat tipu daya yang sungguh-sungguh kepadamu. Sesungguhnya setan adalah musuh yang jelas bagi manusia (QS. Yusuf: 5)
Quraisy Shihab dalam Tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa sebagai seorang nabi, Ya’qub memahami dan merasakan bahwa ada suatu anugerah besar yang akan diperoleh oleh anaknya. Ya’qub juga menyadari bahwa saudara-saudaranya yang tidak sekandung selama ini selalu cemburu kepadanya. Ya’qub memang memberi perhatian lebih kepada Yusuf yang masih kecil dan ditinggalkan ibunya ketika melahirkan adiknya, Benyamin. Sehingga Yusuf kecil masih membutuhkan kasih sayang. Jika saudara-saudaranya mengetahui mimpi Yusuf pasti akan lebih memberikan sikap cemburu yang lebih besar.
Nabi Ya’qub sangat yakin dengan kecemburuan anak-anaknya kepada Yusuf. Ya’qub tidak berkata “aku khawatir mereka membuat tipu daya”, tetapi langsung menyatakan “mereka akan membuat tipu daya”. Dengan penekanan sekali lagi “tipu daya besar”. apa yang disampaikan Ya’qub kepada Yusuf merupakan sebuah usaha agar tidak memperkeruh hubungan persaudaraan mereka. kata ya bunayya yang berarti ‘anakku’ merupakan bentuk gambaran kasih sayang yang biasanya tercurah kepada anak, apalagi anak yang masih kecil.
Pola Asuh Nabi Ya’qub
Ayat di atas merupakan interaksi bagaimana bentuk kasih sayang ayah kepada anak dan sebaliknya. Pada surah Yusuf menggambarkan bagaimana sikap seorang ayah dalam menghadapi anak-anaknya. Berangkat dari kisah Ya’qub dan anak-nya setidaknya terdapat beberapa poin penting yang dapat dijadikan contoh dalam mendidik anak. Pertama, sosok ayah yang sangat menyayangi anaknya. Ini terlihat dari panggilan Ya’qub kepada Yusuf dengan “ya bunayya” menurut Wahbah az-Zuhaili “ya bunayya” merupakan panggilan untuk memperlihatkan rasa kasih sayang, dan respon Yusuf dengan memanggil “ya abati” yang menggambarkan kedekatan anak-ayah.
Kedua, sikap sabar ayah dalam menghadapi anak-anaknya. Sikap ini digambarkan ketika saudara-saudara Yusuf menceritakan kepada Ya’qub bahwa Yusuf telah dimakan serigala. (QS. Yusuf: 18). Nabi Ya’qub tidak menghukumi anak-anaknya melainkan menurut Quraisy Shihab Ya’qub justru menyatakan bersabar dan meminta bantuan Allah. Tujuan sabar adalah menjaga keseimbangan emosi agar hidup tetap stabil.
Sikap sabar juga ditampakkan yusuf ketika saudara-saudaranya tidak bisa membawa Bunyamin yang ditahan di Mesir karena telah dituduh mencuri (QS. Yusuf: 82). Mendengar kabar tersebut kedua mata Ya’qub menjadi putih karena kesedihan dan menahan diri. (QS. Yusuf: 84). Dalam Tafsir Al-Misbah diterangkan kedua matanya menjadi putih, yakni buta, atau penglihatannya amat kabur karena kesedihan, dan dia adalah seorang yang mampu menahan diri, sehingga betapapun sedihnya dan betapa besar petaka yang dialaminya, dia tidak melakukan hal-hal yang tidak diresetui Allah. Ya’qub justru berpaling untuk menghindari kata-kata yang tidak diinginkan.
Sebagai seorang utusan tentu saja Nabi Ya’qub tidak lupa untuk menasehati anaknya agar tetap menyembah Tuhan Yang Maha Esa, untuk tunduk dan patuh kepadanya (QS. Yusuf: 133). Sikap sabar, kepasrahan, dan nasehat-nasehat Ya’qub kepada anak-anaknya dalam surah Yusuf setidaknya bisa dijadikan role model untuk para ayah dimanapun untuk menciptakan sikap romantisme antara ayah-anak dan keluarga.