Politik seringkali dicitrakan sebagai sesuatu yang kotor dan penuh intrik. “Tapi suatu saat”, kata Soe Hok Gie, “di mana kita tidak dapat menghindari lagi, maka terjunlah!”. Politik menjadi sesuatu yang walaupun keruh dan begitu kotor, tapi sebagian rakyat mesti terjun, untuk menemukan manfaat di dasar air keruhnya itu.
Islam sebagai agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam, juga tidak lepas dari konsepsi dan pemikiran mengenai politik dan kekuasaan. Tentunya, berdasarkan sumber hukum dan pandangan dalam Islam, yaitu kitab suci, petunjuk nabi, tujuan-tujuan syariat, dan penalaran Islam. Banyak para ulama dan filsuf muslim yang mencoba merumuskan bagaimana konsep politik dan kekuasaan dalam Islam.
Al-Farabi misalnya, mengarang kitab al-Madinah al-Fadhilah, dimana beliau mengaitkan antara politik dan teori emanasi. Al-Mawardi menuliskan al-Ahkam as-Sulthoniyah yang masih banyak dikaji pesantren hingga sekarang. Kitab Muqoddimah juga merupakan salah satu rujukan politik dalam Islam karangan Ibnu Khaldun (Bulaini, 2011). Selain itu, ada juga filsuf muslim abad pertengahan yang juga memiliki pemikiran yang unik terkait politik dalam Islam, yaitu Abu Hasan Al-Amiri.
Abu Hasan Al-Amiri
Abu Hasan Muhammad bin Yusuf al-Amiri lahir di Naisabur, Persia, pada permulaan abad ke-4 H/abad ke-10 M. Beliau hidup saat era kekuasaan Islam berpusat di Baghdad. Secara garis besar, lingkungan masyarakat yang ada waktu itu bersifat individualisme, kosmopolitanisme, dan sekuralisme.
Al-Amiri digolongkan sebagai kelompok filsuf muslim yang banyak membahas sufisme oleh Syahrastani. Beliau merupakan murid dari Abu Zayd Ahmad bin Sahal bin Balkhi, yang mengajari beliau filsafat, metafisika, dan pemikiran Aristoteles. Beliau tercatat mengunjungi Baghdad dua kali, untuk mencari ilmu dan perlindungan penguasa. Saat di Baghdad inilah beliau terlibat perdebatan ilmiah dengan filsuf-filsuf muslim terkemuka waktu itu, yang membuatnya namanya semakin dikenal (Kramer, 1986).
Semasa hidupnya, beliau memiliki banyak rekan dan pengikut, di antaranya Abu Qasim al-Khatib, Ibn Hindun, Ibn Misykawaih, dan Ibn Sina. Ibn Sina dalam kitab an-Najah bahkan secara jelas mengungkapkan bagaimana pemikiran Al-Amiri menjadi salah satu rujukan utamanya. Karya Al-Amiri antara lain: al-Ibanah ‘an ilal ad-Diyanah, al-I’lam bi Manaqib al-Islam, al-Irsyad li Tahshih al-I’tiqad, an-Nusuk al-’Aqli wa al-Tashawuf al-Maliy, dan sebagainya.
Di antara banyak kitab yang ditulis Al-Amiri itu, kitab yang berisi pandangan Al-Amiri tentang politik dan kekuasaan adalah kitab al-I’lam bi Manaqib al-Islam. Kitab ini disusun untuk memenuhi permintaan seorang wazir (menteri) dinasti Samaniyah, karena rasa hormat dan cintanya pada raja. Kitab ini berisi esensi dan klasifikasi ilmu, keutamaan Islam di banding agama-agama lain, dan hubungan Islam dengan negara dan politik.
Pandangan tentang Kaitan Islam dan Kekuasaan
Hubungan agama dan kekuasaan bagi Al-Amiri saling berkelindan. Tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa, agama berada dalam bahaya. Tanpa wahyu, negara akan terjerumus ke dalam tirani. Penegakkan negara, bagi Al-Amiri, merupakan tugas mulia untuk mendekatkan manusia kepada Allah swt. Meski begitu, Al-Amiri berpendapat, ketaatan pada pemerintah penyelenggaran negara hanya dapat diberikan, sepanjang itu tidak bertentangan dengan agama.
Menurut Al-Amiri, pemimpin memiliki peran ganda, yakni ia merupakan duta Tuhan atas hamba-hamba-Nya, sekaligus ia juga adalah wakil para hamba. Dalam arti, ia harus sejalan dengan ketentuan dan petunjuk Tuhan, dan tidak boleh mengkhianati rakyat yang sudah memberi amanah padanya (Salim, 1999). Bagi Al-Amiri, ada dua karakter yang mesti dimiliki pemimpin, yaitu kekuatan dan integritas. Bila tidak ada seorang pun yang memiliki dua sidat tersebut, maka bisa dipilih salah satunya sesuai dengan kebutuhan jabatannya. Pemerintah dan rakyat bagi Al-Amiri memiliki bentuknya masing-masing, yang harus dijalankan dalam kebersamaan.
Kepemimpinan negara menurut Al-Amiri dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok. Pertama, para penjamin makanan. Golongan ini yaitu kelompok pekerja yang bertugas tersediannya kebutuhan pokok manusia. Kelompok pekerja itu seperti petani, nelayan, tukang, pedagang, buruh, pelaut, dan sebagainya. Kelompok ini harus diatur dan dilindungi oleh negara.
Kedua, para penjaga. Golongan ini yaitu kelompok pekerja yang mengabdikan diri pada kepentingan umum. Orientasi mereka adalah kemaslahatan umum. Kelompok ini antara lain polisi, tentara, aparatur sipil negara, dan sebagainya. Kelompok ini mesti diatur dan dijamin oleh negara.
Ketiga, golongan pemimpin. Golongan ini yaitu para pemegang otoritas dan penanggung jawab jalannya pemerintahan. Golongan ini yang bertugas memimpin, mengatur, dan menjamin kesejahteraan kedua kelompok lainnya, dan menegakkan keadilan bila terjadi penyimpangan. Golongan ini menurut Al-Amiri mestinya berasal dari kalangan kelompok penjaga yang mengerti filsafat. Kewajiban dan tugas pemimpin menurut Al-Amiri dalam Islam, ialah mewujudkan terwujudnya tujuan-tujuan syariat dan kekhalifahan Islam bagi masyarakat.
Bagi Al-Amiri, kekuasaan adalah anugerah dari Allah swt. yang diberikan kepada yang dikehendaki dan mampu oleh-Nya. Karena itu, seseorang yang mendapat anugerah itu, tidak boleh menyia-nyiakan dan menyelewengkan kekuasaan itu.
Dengan begitu, Islam tidak anti terhadap politik yang dianggap kotor itu. Islam justru memandang politik dan kekuasaan sebagai cara yang mesti dilaksanakan untuk mewujudkan kemaslahatan yang menjadi tujuan syariat agama pada kehidupan masyarakat. Al-Amiri menangkap pesan itu dengan mengklasifikasikan dan mengkonsepkan bentuk kepemimpinan dalam masyarakat, agar tujuan kepemimpinan dalam Islam itu dapat terwujud.
Wallahu a’lam bish showab.