Ust. Nurbani Yusuf Aktivis Persyarikatan Muhammadiyah di Ranting Gunungsari Kota Batu dan Ustaz di Komunitas Padang Makhsyar yang Tinggal di Batu, Malang.

Sosialisme Islam ala Kiai Ahmad Dahlan

1 min read

Benarkah Kiai Ahmad Dahlan lewat pergerakan Muhammadiyah telah menghapus kelas-kelas agama? Sehingga melahirkan komunitas berbentuk Persarikatan yang egaliter, demokratis dan setara.

Jika tesis ini benar, maka Kiai Dahlan sesungguhnya adalah penganjur sosialisme Islam yang kuat berpengaruh dan berhasil spektakuler. Di Muhammadiyah tidak lagi dijumpai pemisahan ulama dan umat yang secara vertikal berbatasan dan secara horizontal tidak sebanding. Semua setara tidak ada batas, membaur dalam sebuah kelas komunal.

Kiai Dahlan bukan hanya konseptor atau penganjur sosialisme Islam yang cerdas lagi brilian, tapi sekaligus seorang praktisi sosialisme Islam modern melebihi Karl Marx, Hegel, Ludwig Feuerbach, Ali Syariati, Mohammad Arkoen atau Hubermans. Mereka hanyalah tokoh-tokoh sosialis macan kertas yang tidak pernah berhasil mewujudkan gagasan dan idenya.

Bandingkan pula dengan NU, LDII, HTI atau FPI dimana peran dan fungsi ulama, kiai, habib sangat dominan dan berpengaruh terhadap setiap pengambilan kaidah hukum dan muamalah. Baik bersangkut urusan individual atau kolektif. Pada perkumpulan ini kelas agama masih sangat dominan.

Kiai Dahlan dengan jenius mengonversi sosialisme Islam dalam watak teologis yang kuat. Islam menjadi sandaran utama pergerakan dan rakyat kecil yang tertindas menjadi fokus gerakan.

Pun dengan teologi al-Māūn juga mendasari pemikiran sosialisme Kiai Dahlan yang dijabarkan dalam bentuk keberpihakan kepada rakyat atau proletar yang ditindas dan dimiskinkan dan tidak punya akses. Gerakan filantropi adalah puncak sosialisme Islam yang realistis dan faktual hidup dalam jiwa setiap jemaah persyarikatan.

Setiap orang akan bekerja sesuai kemampuan dan mendapatkan upah sesuai kebutuhan’. Rumus ini tak selamanya bisa dipandang benar bila dikonversi dengan firman Allah: Barangsiapa berbuat baik maka kebaikan itu untuk dirinya sendiri dan seseorang tidak akan memikul dosa orang lain.

Baca Juga  Akhlak dalam Islam: Pilar Utama Kehidupan Manusia

Peter Hudi seorang pemikir sosialis barat mutaakhir menyatakan bahwa setiap individu menerima kompensasi berdasar waktu kerja aktual yang mereka curahkan, terlepas profesi masing-masing. Karena tidak ada dua individu yang sama persis dan mereka bebas menentukan banyak atau sedikitnya kerja mereka, maka beberapa menerima kompensasi lebih besar dari yang lain atau sebaliknja.
Kelas dihapuskan, namun ketidaksetaraan tetap ada. Penerapan standar yang sama (waktu kerja aktual) terhadap individu yang tidak sama menyebabkan kompensasi yang tidak sama. Karl Marx tak pernah berpegang pada gagasan vulgar bahwa dalam “sosialisme” setiap orang mendapat jumlah yang sama.

Sementara Soekarno salah seorang penganjur Marhaenisme lantang berkata: Perjuangan untuk rakyat itu Bung, bukan narsisme, bukan untuk nampang, untuk jadi pahlawan, bukan untuk diliput media. Perjuangan untuk rakyat adalah kerja tekun, gigih, tanpa tepuk tangan.

Kajian pemikiran Kiai Dahlan sangat menarik, meski jarang mendapatkan perhatian sebab sebagian besar telah hanya fokus pada amal usaha Muhammadiyah (AUM) sebagai buah sosialisme Islam yang meninabobokan para pengikutnya tanpa kata tapi. [MZ]

Ust. Nurbani Yusuf Aktivis Persyarikatan Muhammadiyah di Ranting Gunungsari Kota Batu dan Ustaz di Komunitas Padang Makhsyar yang Tinggal di Batu, Malang.