Raha Bistara Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Panji-Panji Usmani Dalam Perang Diponegoro

3 min read

Setelah Sang Pangeran mengemban amanah sebagai Wali Wudhar, yakni seorang wali yang harus menegakan keadilan dunia dan melaksanakan kewajiban rohani yang pada saat itu penuh kelaliman oleh pihak Beland, inilah saatnya Diponegoro melawan kaumnya sendiri (orang-ornag Keraton Jawa) yang lalim melalui perang suci (perang sabil).

Sebenarnya perang Diponegoro tidak akan terjadi jika Belanda tidak terlalu agresif menancapkan dirinya di pedalaman Jawa pada saat itu, ditambah konflik internal keraton Yogyakarta antara Pangeran Diponegoro sebagai penasehat raja yang masih kecil dan Patih Danurejo IV beserta Ratu Kencana sebagai pelaksana Keraton, serta melemahnya ekonomi rakyat akibat wabah kolera dan permainan orang Thionghoa dalam pelaksanaan bea cukai (Houben, 2017:17-20).

Bagi orang Jawa, perang yang berlangsung selama lima tahun dari tahun 1825-1830 M. ini berdampak sangat luas. Mungkin inilah pertama kali pemberontakan pecah di lingkungan salah satu keraton Jawa Tengah selatan yang pokok masalahnya terletak pada segi ekonomi dari pada ambisi kekuasaan seorang kerabat keraton. Munculnya seorang pemimpin yang kharismatik seperti Pangeran Dipnegoro (1785-1855 M), yang menyebut dirinya sebagai Ratu Adil Jawa, berdaya guna menghimpun beraneka ragam unsur masyarakat di bawah panji tunggal Islam-Jawa.

Harapan yang begitu besar akan penyelamatan Ratu Adil memukau jiwa para petani yang sudah memupuk sejak awal abad ke-IX. Wawasan Perang Suci (perang sabil), adalah suatu kerinduan yang mendalam bagi siapa saja terhadap pemulihan tatanan lama yang adilihung yang diberikan oleh Sang Pangeran sebagai “mangun luhuripun agami Islam wonten ing Tanah Jawi sedaya”, semuanya membantu terbentuknya suatu jati diri bersama di kalangan pengkikut sang Pangeran.

Selama Perang Jawa berlangsung nama sang Pangeran dari Ngabdurahim diganti dengan Ngabdulkamit. Pergantian ini memiliki makna yang begitu penting. Ngabdulkamit ini adalah nama yang disandang oleh sang Pangeran yang disematkan dalam gelarnya sebagai raja, yakni Sultan Erucokro pada Agustus 1825 M.  Nama itu juga ia gunakan di Manado, di mana setelah Pangeran tiba di tempat pengasingannya itu, Pangeran minta dipanggil hanya dengan “Pangeran Ngabdulkamit”.

Baca Juga  Perempuan Melamar Pria, Lazimkah?

Pemilihan nama ini berkaitan dengan Abd al-Hamid I, raja Turki Usmani akhir abad ke-VIII yang bertahta pada 1773-1787 M., raja Turki pertama yang mengaku sebagai khalifah dan pelindung kaum muslimin di seluruh dunia. Terinspirasi dari sang khalifah Usmaniyah ini, sang Pangeran bertindak seperti Sultan Rum dalam cerita rakyat Jawa sebagai raja umat Islam sedunia (Ricklefs, 2006:210). Berbagai upaya Abd al-Hamid I untuk memperbarui tentara Turki Usmani dan pengakuannya atas wewenang sebagai khalifah dilaporkan semuanya kepada Diponegoro oleh mereka yang pulang dari naik haji.

Haji Badarudin misalnya, yang sudah dua kali naik haji atas biaya Keraton Yogyakarta dan mengabdi kepada Sang Pangeran selama Perang Jawa. Haji Badarudin memberikan informasi terkait pemerintahan Turki Usmani kepada Sang Pangeran dan bawahnya seperti Kiai Mojo mengenai contoh-contoh praktik pemerintahan Turki di Mekkah, diperkirakan pada masa sebelum kota-kota suci diduduki oleh kaum Wahabi.

Lagipula, pada saat itu banyak orang Jawa kagum dengan kemaharajaan Turki Usmani sebagai benteng kekuasaan Islam di Timur Tengah dan sebagai bakal pelindung terhadap meluasnya kekuatan Eropa yang menganut ideologi Kristen. Sang Pangeran malah menyalin sejumlah pangkat dan nama-nama resimen yang digunakan dalam kemiliteran Turki Usmani untuk keperluan organisasi militernya (Carey, 2012:176). Karena itu, pasukan elit Sang Pangeran mengenakan sorban aneka warna dan panji-panji resimen berlambang ular, bulan sabit, dan ayat-ayat Alquran, dan kesemuanya itu di tata dalam kompi-kompi dengan nama seperti Bulkio, Turkio, dan Arkio.

Nama-nama resimen itu langsung meniru nama-nama Boluki (dari kata boluk, satu regu), Oturaki, dan resimen kawal para Sultan Turki Usmani, Janissar Ardia, yang kala itu baru saja menjalani beragam perubahan penting. Itulah pembaharuan Nizam-i-cedit (Orde Baru) oleh Sultan Selim III yang bertahta pada 1789 sampai 1807 M yang gagal membentuk tentara gaya baru “prajuti Muhammad yang terlatih dan jaya” (muallem azakir-i-mansuri-I Muhammadije) yang berlangsung pada tahun 1826 M di bawah kekuasaan Sultan Mahmud II (bertahta 1809-1839 M ).

Baca Juga  DI WADAS

Sang Pangeran juga memberi gelar khsusus kepada para komandan militernya. Seperti contoh Sentot, sebagai panglima terkemuka yang baru menginjak usia tujuh belas tahun, menerima gelar Ali Basah, yang diambil dari istilah Turki “Ali Pasha” (‘al-Basha ‘Ali/ Pasha Yang Mulia) atau dari Muhammad Ali Pasha, penguasa Mesir (berkuasa 1805-1849 M), gubernur atau wakil terkemuka kesultanan Turki Usmani awal abad ke-IX.

Tidak hanya disitu saja, sang pangeran juga menggunakan panji-panji kebesaran dalam Perang Suci ini. Panji perang pribadi sang Pangeran sendiri berbentuk pola layar segitiga hijau dengan bulatan matahari di tengah dan panah bersilang. Panji ini juga diilhami oleh tradisi militer Turki Usmani (Carey, 2012:177) Panji-panji yang diusung dalam pertempuran oleh pasukan sang Pangeran, semuanya dianggap mengandung kekuatan gaib. Dengan diberkati oleh para ulama, karena berisi tulisan Arab yang khsusus ditulis oleh para ulama kharismatik

Setiap satuan pasukannya terdiri atas 150 orang yang mempunyai panji tempur sendiri baik itu berwarna merah, putih, atau kuning. Perisai sang Pangeran sendiri berbentuk bujursangkar dari kain sutera kuning bertuliskan gelar-gelar kerajaannya sebagai Sultan Erucokro dalam aksara Arab warna hitam. Namun, bila Pangeran terjun ke medan pertempuran, tampaklah panji segi tiga warna hijau dengan suatu lingkaran hitam di tengah untuk menunjukkan kehadirannya di tengah-tengah pasukan sedangkan perisai Sentot berwarna merah.

Dengan demikian, menyandang nama Ngabdulkamit, memakai gelar khsusus untuk komandan pasukan militernya, dan memakai panji-panji pertempuran ala Turki Usmani. Hal itu menandakan makna yang mendalam bagi sang Pangeran baik karena pertaliannya dengan kekuasaan duniawi dan rohani Kemaharajaan Turki Usmani. Namun dengan pertaliannya ini, pada saat Perang Jawa berlangsung tidak ada bantuan dari Khalifah Turki Usmani baik berupa tentara, dana, maupun berupa senjata. [AA]

Raha Bistara Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta