

Lima belas tahun sebelum Kartini tutup usia, tepatnya pada tahun 1906, lahir seorang perempuan yang punya jiwa serupa dengannya. Ia lahir di sebuah kota mungil bernama Jombang dari kalangan keluarga pesantren pesantren.
Namun, tak seperti Kartini, ia tak pernah secuilpun mengenyam pendidikan formal, walau kala itu pemerintah Kolonial Belanda telah membuka sekolah bagi perempuan dari kalangan elit atau kelas atas.
Srikandi itu memiliki nama lengkap Khoiriyah Hasyim, sebuah nama yang dikenal sekaligus dikenang oleh kaum bersarung hingga saat ini. Namun, barangkali tak seperti Kartini, nama itu hanya sayup-sayup terdengar di telinga khalayak umum.
Petualangan Intelektual Nyai Khoiriyah di Makkah
Kehebatan Khoiriyah Hasyim dalam menguasai berbagai kitab Islam klasik dan cabang ilmu pengetahuan Islam tak akan mengejutkan bila seseorang mengetahui sejarah hidupnya. Ia bukan saja lahir dari pasangan K.H. Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqah maupun belajar langsung di bawah didikan ayahnya. Ia juga belajar langsung pada K,H. Ma’shum Ali, suaminya sendiri, setelah menikah denganya pada usia 13 tahun.
Menikah di usia dini bagi perempuan pada masa itu memang adalah hal yang umum. Namun, KH. Ma’shum Ali bukanlah orang yang sembarangan. Ia adalah santri kesayangan ayahnya, Abdul Muhyi Al Maskumambang, Gresik, yang terkenal sebagai sosok ahli dalam bidang ilmu tata bahasa Arab dan ilmu falak. Karena itu, ketika belajar pada sang suami, penguasaan ilmu agama Nyai Khoiriyah justru kian bertambah dan matang.
Setelah Nyai Khoiriyah tinggal satu atap dengan suaminya, K.H. Hasyim Asy’ari memberikan beberapa hektar tanah untuk membangun sebuah pondok. Pada tahun 1921, pondok pesantren itu berdiri dan dipimpin oleh suaminya.
Mereka yang belajar di pondok pesantren itu adalah santri laki-laki yang di antaranya berasal dari Pondok Pesantren Tebuireng. KH. Ma’shum Ali mengajar sampai 12 tahun. Selepas itu, ia kembali ke pangkuan Tuhan setelah berjibaku melawan penyakit paru-paru pada tahun 1933 di usia 46 tahun.
Sepeninggal K.H. Ma’shum Ali, Nyai Khoiriyah kemudian menikah dengan Kiai Muhaimin dari Lasem, yang dulunya sempat menjadi menantu dari KH. Wahab Chasbullah. Setelah itu, ia diajak oleh suaminya itu untuk berangkat ke Makkah. Sehingga, pesantrennya kemudian dititipkan pada menantunya yang bernama KH. Mahfudz Anwar.
Terkait hal ini, Eka Sri Mulyani, dalam bukunya yang berjudul Women from Traditional Islamic Educational Institutions in Indonesia mengatakan bahwa hampir tidak ada catatan atau dokumentasi khusus mengenai perempuan dari kalangan pesantren yang belajar di Makkah, walau praktik ini telah berlangsung selama 3 abad, tepatnya sejak abad ke-17 hingga abad ke-20.
Ini juga yang berlaku pada Nyai Khoiriyah. Sehingga, orang kini tak tahu bagaimana proses kegiatan belajar yang dilakukan oleh Nyai Khoiriyah. Yang pasti, kesempatan di tanah suci itu digunakan oleh Nyai Khoiriyah untuk belajar ilmu pengetahuan Islam secara lebih dalam lagi.
Dikisahkan bahwa ia merasa tak cukup bila hanya belajar saja di sana. Ia pun merasa bahwa ilmu yang telah ia peroleh perlu diajarkan pada orang lain, khususnya perempuan. Kala itu, ia prihatin melihat kondisi perempuan di Makkah yang tidak memperoleh fasilitas pendidikan sedikitpun. Apalagi pula mulai banyak rombongan perempuan yang pergi ke Makkah untuk berhaji.
Karena itu, ia kemudian membuka sekolah khusus bagi perempuan bernama Madrasatul Banat pada tahun 1942 M. Sekolah ini kelak dianggap sebagai sekolah perempuan pertama di Makkah mengingat sekolah Dar al-Hanan baru didirikan 14 tahun kemudian oleh Ratu Iffat, tepatnya pada tahun 1956 M.
Pada 1957, ia kembali ke Indonesia setelah diminta oleh Bung Karno untuk turut memajukan pendidikan perempuan di tanah air. Setelah ditinggal oleh Nyai Khoiriyah, sekolah itu berhenti beroperasi akibat kebangkrutan. Sehingga, yang ada sekarang hanya sejarahnya belaka.
Aktif Dalam Bidang Sosial-Kemasyarakatan
Setelah kembali ke negerinya, Nyai Khoiriyah langsung mengambil alih kepemimpinan Pondok Pesantren Seblak. Pondok pesantren yang telah ia tinggalkan selama hampir 20 tahun itu rupanya telah berkembang.
Menantunya, K.H. Mahfudz Anwar yang menikahi putri sulungnya bernama Abidah Ma’shum, juga telah mendirikan pesantren untuk kalangan perempuan atas arahan dari K.H. Hasyim Asy’ari. Sehingga, ia hanya perlu meneruskan dan mengembangkan inisiasi menantunya itu.
Kembali menjadi pengasuh Pondok Pesantren Seblak, berbagai cerita hadir mengiringi dirinya. Ia dikenal sebagai guru yang menguji bacaan Al-Qur’an para santri laki-laki yang akan menjadi imam sholat Jumat.
Ia bahkan menjadi sosok perempuan yang berani menentang pendapat seorang kiai dalam Bathsul Masa’il, sebuah forum musyawarah yang utamanya dihadiri oleh para kiai sepuh guna menentukan fatwa hukum akan pokok permasalahan agama.
Kendati demikian, patut diinggat, Nyai Khoiriyah bukan saja seorang pengasuh yang hanya berdiam diri di pesantren sembari menuntun para santrinya untuk memahami isi dari kitab Islam klasik. Ia pun terlibat aktif dalam berbagai bidang sosial-kemasyarakatan. Selama dua periode, tepatnya pada tahun 1959-1962 dan 1967-1979, ia menjadi penasihat tingkat nasional organisasi Muslimat NU,
Saat ini orang mungkin banyak yang merasa tercengang ketika mengetahui bahwa bahwa ia aktif menumpahkan gagasannya dalam karya tulis tulis. Salah satu tulisannya yang masih terarsipkan adalah sebuah artikel dengan judul “Pokok-Pokok Ceramah Pengertian Antar Mazahib dan Toleransinya” yang terbit di Majalah Gema pada Agustus 1962.
Kiprahnya dalam bidang pendidikan dan sosial-kemasyarakatan itu berhenti pada hari Sabtu, 2 Juli 1983 ketika ia memejamkan mata untuk selamanya pada usia 73 tahun.
Ia memang tak seberuntung Kartini yang buah pikirannya dibukukan dan kisah hidupnya ditulis berkali-kali. Cerita tentangnya hanya mengalir dari mulut ke mulut karena tradisi pesantren lebih lekat dengan tradisi lisan.
Walau demikian, kalangan pesantren akan tetap mengenangnya sebagai perempuan pembawa obor yang menerbarkan cahaya dan nyala api pada perempuan di masanya yang diliputi kegelapan. [AA]
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya