“Orang yang menolak keberagaman, berarti menolak realita, belum beragama, bahkan belum mengenal dirinya sendiri. Sehingga, hidupnya tidak akan bahagia.” Begitulah pesan Bhante Nyanasila dalam salah satu forum diskusi bertajuk “Seribu Jalan, Satu Destinasi: Menemukan Kebahagian dalam Keberagaman” di Vihara Budhayana Mojokerto awal Mei lalu.
Bhante Nyanasila sendiri merupakan salah seorang biksu Theravada yang mengikuti tradisi dan ajaran Pali Cano, kitab suci tertua dalam Buddisme. Tradisi tersebut banyak menekankan pentingnya meditasi, moralitas, serta kebijaksanaan menuju pencerahan.
Bhante Nyanasila sering memberikan ceramah, mengajar meditasi, dan terlibat dalam kegiatan sosial yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, ia juga banyak membantu orang-orang menemukan kedamaian batin dan memahami lebih dalam tentang ajaran Buddha.
Kebetulan pada acara tersebut Bhante Nyanasila juga berperan sebagai salah seorang pembicara dari perwakilan tokoh agama. Sebelum menjelaskan banyak hal, ia mulai dengan menganalogikan kebahagiaan dengan makanan.
Dengan ini, ia mengajak para peserta diskusi untuk membayangkan sosok orang yang sangat menyukai makanan A. Suatu hari, yang tersedia di depannya hanyalah makanan B. Karena orang tersebut lebih menyukai makanan A, ia mungkin merasa kecewa, menggerutu, dan jengkel terhadap realita yang ada.
Rasa tidak puas itu menghambat kebahagiaannya. Namun, jika ia mampu menerima makanan B dengan baik dan rasa syukur, terlepas dari preferensinya terhadap makanan A, orang tersebut akan merasakan kebahagiaan.
Lahirnya Persepsi Negatif
Sering kali, orang sulit menerima keberagaman di sekitarnya, di lingkungannya, bahkan di depan matanya. Mereka mungkin memiliki preferensi yang kuat terhadap satu cara hidup atau satu pandangan dan merasa tidak nyaman dengan yang berbeda. Mereka biasanya tidak mau memahami apa yang ada di luar dirinya, kesukaannya, maupun kecondongannya.
Mereka cenderung fokus pada satu arah saja dan menganggap yang lain tidaklah baik untuk mereka. Sikap ini sering kali berakar pada ketidakpahaman dan ketakutan terhadap yang berbeda.
Ketika seseorang hanya berfokus pada kesukaannya sendiri dan tidak mau membuka diri terhadap pandangan atau pengalaman lain, dia cenderung menganggap apa yang berbeda sebagai ancaman atau sesuatu yang negatif.
Ketidakmampuan untuk menerima perbedaan ini menciptakan ketidaktenangan dalam diri mereka. Bahkan, orang yang memiliki strata sosial tinggi, pengetahuan akademik luas, atau dianggap sebagai tokoh agama, jika sulit menerima keberagaman, menunjukkan bahwa ia belum mencapai kedewasaan batin dan spiritual yang matang.
Kedewasaan Spiritual
Untuk mencapai kedewasaan spiritual yang matang, ada tiga rumus besar yang Bhante berikan, yakni memahami (tiap perbedaan yang ada), menerima (realita), dan melepaskan (batin). Maksud dari memahami adalah, bahwa kita tidak pernah hidup dengan kesamaan 100%. Setiap orang, tempat, dan keadaan selalu memiliki keberagaman dan keunikannya masing-masing.
Pada tahap kedua, setelah kita bisa memahami keadaan, maka kita perlu untuk menerimanya keberadaannya dan tidak bisa ditolak. Untuk menerima realita dan keberagaman keadaan yang terjadi, perasaan harus dibebaskan dalam batin dari suka maupun tidak suka serta kebencian maupun keserakahan.
Sikap ini tidak hanya menghambat pertumbuhan pribadi, tetapi juga dapat membawa kerusuhan dan perpecahan dalam masyarakat. Maka, caranya adalah mencoba untuk tidak mudah terkonfrontasi oleh persepsi negatif dalam hati.
Ketidakmampuan untuk menerima perbedaan dan keberagaman sering kali menjadi akar dari konflik sosial, diskriminasi, dan ketidakadilan. Perpecahan ini terjadi karena orang-orang tidak mau melihat nilai dari keberagaman dan cenderung mengisolasi diri dalam kenyamanan mereka sendiri.
Sebaliknya, jika seseorang terbuka terhadap keberagaman, memahami keadaannya, menerima kenyataannya, dan melepaskan batinnya dari perasaan suka maupun tidak suka, maka orang tersebut akan menuju jalan yang bahagia.
Ketika kita membuka diri terhadap keberagaman, kita mulai melihat dunia dari perspektif yang lebih luas. Kita mulai memahami bahwa setiap orang memiliki nilai dan kontribusi yang unik untuk diberikan.
Menerima keberagaman berarti belajar untuk melihat keindahan dalam perbedaan. Ini berarti mengakui bahwa ada banyak cara untuk menjalani hidup, dan tidak ada satu cara pun yang mutlak benar.
Dengan sikap yang terbuka, kita dapat belajar banyak dari orang lain, memperkaya pengalaman hidup kita, dan memperluas wawasan kita. Kebahagiaan yang datang dari menerima keberagaman adalah kebahagiaan yang mendalam dan berkelanjutan, karena itu berasal dari pemahaman dan pengertian yang lebih dalam tentang manusia dan dunia di sekitar kita. [AR]