Achmad Room Fitrianto Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

Agama Mengajarkan Kebaikan, Namun Tak Semua Pemeluk Mengamalkannya

1 min read

World religion symbols colored signs of major religious groups and religions. Easy to modify.

Pertanyaan ini mungkin banyak menghinggapi mereka yang merasa aneh karena tindakan orang-orang yang terlihat agamis namun ternyata masih saja melakukan hal yang kurang sepatutnya, seperti melakukan tindak kekerasan dan memaksakan kehendak atas nama agama.

Menanggapi fenomena yang demikian, saya kira agama yang paling benar adalah agama yang bisa dimengerti dan pahami oleh umatnya, di sampaikan dengan cara yang indah, serta dipraktikkan secara seksama dalam bingkai menjunjung tinggi rasa kemanusiaan.

Pendapat saya tersebut setidaknya merupakan bentuk pemahaman saya atas sebuah hadis tentang hakikat sebuah keimanan yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, yakni“al imanu huwa tasdiqul qolbi wal iqroru bil lisan wal amalu bil arkan” (Iman adalah membenarkan dengan hati, berikrar–memantapkan–dengan lisan dan diamalkan melalui perbuatan).

Hadis ini seolah mengungkapkan bila segala sesuatu (ajaran) yang dipahami, dimengerti seharusnya membawa implikasi kesatuan gerak dan nafas dari amalan lahir maupun batin.

Pertama “tasdiqul qolbi“, memantapkan pemahaman atas value (nilai) yang di yakini. Pemantapan atas pemahaman atas nilia ini membawa pengertian dan pemahaman yang komprehensif atas nilai yang dipercaya (agama), sehingga melandasi proses berfikir seseorang.

Kedua, “iqroru bil lisan“, ekpresi dari pemikiran yang dilandasi oleh nilai-nilai yang dimengerti ke dalam bentuk penyampain kepada orang lain. Meskipun dalam hadis tersebut hanya menyebutkan dengan ucapan (lisan), namun saya kira penyampaian kepada orang lain ini bisa diartikan ke dalam bentuk yang lebih luas yakni, lisan dan tulisan.

Bentuk lisan misalnya bisa berupa ucapan, pidato, diskusi dan sejenisnya. Sedangkan bentuk tulisan bisa disampaikan, misalnya, melalui seperti artikel, status di media sosial dan lain sebagainya. Kadang kala bentuk penyampaian nilai-nilai luhur (baca: ajaran agama) yang tanpa dibarengi dengan cara bijaksana atau informasi yang tidak valid cenderung mendiskriditkan mereka yang tidak sepaham.

Baca Juga  Filsafat Kebahagiaan: Eudaemonisme dan Ajaran Islam

Ketiga “amalu bil arkan“; mengamalkan apa yang dipahami dan apa yang diucapkan (baik lisan dan tulisan) dalam laku perbuatan yang menjunjung tinggi kemanusiaan

Dari sini terlihat bahwa tidak aneh bila ada seorang yang bersorban atau memakai rosario ditangan tiap hari, pergi ke klenteng rutin dan melakukan berbagai macam ritual keagamaa namun kelakuannya masih saja membuat orang lain sakit hati, melakukan korupsi kitab suci atau pun melakukan kesepakatan jahat lainnya. Atau, malah di belahan bumi lainnya banyak orang orang yang saling bunuh dan menghalalkan darah orang lain atas nama agama.

Untuk itu, saya kira, kita tidak usah merepotkan diri untuk menilai apakah kita lebih baik dari orang lain atau tidak. Karena ketika kita beribadah (apapun agamanya), kita tidak menerima receipt (tanda terima) dari malaikat Rokib “Wahai si fulan sholat anda pada jam 1.30 pada hari senin, telah diterimah dengan minor revision“.

Akhirnya, boleh saja–atau bahkan menganggap sebagai sebuah kewajiban–kita mengingatkan orang lain. Namun, usaha itu tentunya harus disadari bahwa tidak selayaknya disertai dengan pememaksaan. Wallahu a’lam… [AA]

Achmad Room Fitrianto Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya