Syafa Rosita Devi Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Konsep Insan Kamil Syaikh Abdul Karim Al-Jili

2 min read

Mengenai riwayat hidup al-Jili menyangkut tempat dan tahun kelahirannya, pendidikan dan peranannya dalam masyarakat secara utuh tidak dapat diketahui dengan jelas. Hal tersebut disebabkan al-Jili tidak menuliskannya dalam berbagai karya yang ia buat, pun para murid-muridnya juga tidak menjelaskannya. Akan tetapi kegelapan yang menyelimuti jati diri al-Jili bisa diungkap dengan melacak beberapa uraian yang terdapat dalam karyanya yang menjelaskan tentang keberadaannya.

Menurut Yaqut dalam kitabnya Mu’jam al-Buldan, nama lengkap al-Jili adalah ‘Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn ‘Abd al-Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Jili. Penisbatan nama al-Jili dikarenakan ia berasal dari daerah Jilian. Genealogi al-Jili menurut Nicholson berawal dari Jilan di kawasan selatan Kaspia, dan terkait dengan ‘Abd al-Qadir al-Jili, pendiri tarekat Qadiriyah yang wafat 300 tahun sebelum kelahiran al-Jili. Al-Jili dilahirkan di suatu tempat di kawasan Baghdad pada tahun 767 Hijriah dan meninggal pada tahun 805 Hijriah. Dia sempat belajar di Zabid (Yaman) dengan Syarifuddin Isma’il bin Ibrahim al-Jabarti; dan mengunjungi Kushi India pada tahun 790 Hijriah.

Kitab al-Jili yang paling terkenal yang menggambarkan ajaran tasawufnya, khususnya tentang konsep al-Insan al-Kamil (manusia sempurna), berjudul Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakhir wa al-Awail (dua juz untuk satu buku, yang memuat 63 bab: 41 bab untuk juz pertama dan 22 bab untuk juz kedua). Kitab ini diterbitkan oleh beberapa penerbit yakni Dar al-Kutub al-Mishriyah Kairo, Maktabah Shabih dan Mushthafa al-babi al-halabi di Kairo dan Dar al-Fikr di Beirut. Kitab Al-Insan al-Kamil ini, menurutnya, ditulis berdasarkan instruksi Allah SWT yang diterimanya melalui ilham; dan seluruhnya sejalan dengan makna hakiki yang diisyaratkan al-Qur’an dan al-Sunnah. Al-Jili menolak segala pengetahuan yang tidak memiliki kaitan makna dengan kedua sumber ajaran Islam tersebut.

Baca Juga  Mahasiswa dan Perubahan Sosial

Secara bahasa istilah insan kamil terdiri dari dua kata, kata al-insan yang diartikan sebagai manusia dan kata al-kamil yang berarti sempurna. Dalam khazanah literatur Islam, istilah insan kamil baru muncul sekitar pada awal abad ke-7 Hijriah, atas ide Ibn ‘Arabi yang digunakannya untuk melabeli konsep “manusia ideal” sebagai penampakan dari Tuhan. Menurut Yusuf Zaidan, istilah ini muncul dari adanya pandangan tentang wali yang mengacu kepada karakteristik manusia yang shalih. Hamba yang shalih tersebut dikenal oleh kalangan kaum muslimin sebagai istilah untuk Nabi Khidir, karena ia dapat mengetahui segala rahasia yang tidak dapat diketahui oleh manusia biasa.

Untuk menggambarkan gagasan pokok al-Jili tentang insan kamil, ada dua hal yang perlu dikemukakan terlebih dahulu. Pertama, insan kamil adalah suatu tema yang berhubungan dengan persepsi mengenai sesuatu yang dipandang memiliki sifat mutlak, Tuhan. Dia memiliki sifat sempurna, suatu sifat yang patut ditiru oleh manusia. Makin seseorang memiripkan diri kepada sifat sempurna Tuhan, makin sempurnalah dirinya. Kedua, keyakinan bahwa yang memiliki sifat mutlak dan sempurna itu mencakup asma’ sifat dan hakekat-Nya. Seterusnya, bagaimanakah hal-hal tersebut terwujud pada manusia.

Al-Jili memandang insan kamil tidak berbeda dengan Ibn ‘Arabi yakni sebagai wujud tajalli Tuhan. Pandangannya tersebut didasarkan pada asumsi bahwa segenap wujud yang ada ini hanya memiliki satu realitas. Dan realitas tersebut adalah Wujud Mutlak. Menurut al-Jili, alam ini bukanlah diciptakan dari bahan yang telah ada, akan tetapi diciptakan dari ketiadaan di dalam ilmu-Nya. Dengan jelas bahwa al-Jili menegaskan bahwa penciptaan itu berasal dari tidak ada. Lain halnya dengan Ibn ‘Arabi yang mengatakan bahwa alam ini bukanlah diciptakan dari sesuatu yang tidak ada melainkan dari sesuatu yang telah ada, yakni yang terdapat dalam ilmu Tuhan.

Baca Juga  Cinta, Itu Saja

Dalam mencapai derajat insan kamil, seseorang harus memulainya dengan melakukan pengalaman rukun Islam secara baik dan dilakukan secara lahir dan batin. Setelah sufi mengamalkan dan menghayati rukun Islam, kemudian meyakini rukun Iman secara mantap seperti meyakini sesuatu yang ditangkap oleh panca indra. Karena iman menurut al-Jili adalah cahaya Ilahi, melalui cahaya tersebut seorang sufi dapat melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh mata kepala.

Menurut Arberry, kedekatan konsep al-Insan al-Kamil al-Jili dengan konsep kesatuan wujud dari Abu Yazid (ittihad), al-Hallaj (hulul) dan Ibn ‘Arabi (wahdah al-wujud) daripada konsep al-Ghazali yang membedakan wajib al-wujud (Tuhan) dengan mumkin al-wujud (alam) secara fundamental. Manusia tertinggi bagi transendentalisme mencapai tingkat ma’rifah, mengalami kasyf dan memperoleh ilham atau ilmu ladunni langsung dari Tuhan.

Al-Jili membawa konsep kesatuan wujud dan tetap konsisten terhadap ajarannya, namun dalam syari’atnya ia tetap menjalankan kewajiban (taklif) ibadah, seperti shalat, puasa zakat dan sebagainya. Bahkan al-Jili berkeyakinan, semakin tinggi derajat manusia, semakin banyak ibadah yang harus dilakukannya. Pelanggaran terhadap larangan Allah, harus dihukum sesuai dengan ketentuan Allah SWT dalam al-Qur’an.

Syafa Rosita Devi Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya