Minggu lalu seusai membaca beberapa artikel tentang rape culture yang di dalamnya membahas tentang budaya perkosaan, saya semakin menyadari mengapa dalam setiap perkosaan, perempuan yang menjadi korban selalu disalahkan. Bahkan dalam relasi suami-istri pun suami merasa berhak untuk melakukan hubungan seksual sesuka hatinya tanpa merasa mempertimbangkan suara istrinya.
Budaya ini langgeng di antaranya karena kita lebih mendidik anak perempuan untuk tidak diperkosa tinimbang mendidik anak lelaki untuk tidak memerkosa. Kita, misalnya, lebih suka menyoroti bagaimana perempuan berpakaian daripada mendidik anak laki-laki untuk menghormati otonomi perempuan.
Maka, agar tidak mewariskan budaya ini, saya bertanya ke anak lelaki saya yang memasuki usia dewasa dini.
“Boy, kamu sudah paham tentang sexual consent?”
“Tahu.”
“How do you know?”
“Ya tanya lah…!”
Membincang secara terbuka masalah ini dengan anak laki-laki, saya percaya dapat memutus budaya kekerasan pada generasi berikutnya. Dalam lingkungan sosial di mana kekerasan seksual dianggap normal dan dibenarkan, agresi seksual bahkan dirayakan sebagai pembuktian nilai-nilai maskulinitas. Sementara, perempuan dijadikan objek pemenuhan kuasa seksual sehingga persetujuan perempuan tidak diperlukan.
Memahami Persetujuan Seksual
Secara sederhana persetujuan seksual adalah kesepakatan untuk ikut berpartisipasi dalam aktivitas seksual. Sebelum melakukan aktivitas seksual dengan pasangan kita, kita perlu tahu apakah ia juga ingin melakukannya atau tidak. Persetujuan seksual dapat dipahami dalam singkatan “FRIES” (Freely given/ tidak terpaksa, reversible/ dapat berubah, informed/ diberitahukan, enthusiastic/ antusias, dan specific/ spesifik).
Aktivitas seksual harus dilakukan secara bebas dan sukarela, tanpa tekanan, ketakutan, rasa bersalah, manipulasi, atau dibawah pengaruh alkohol atau obat-obatan. Persetujuan tidak dapat diberikan oleh anak-anak, penyandang disabilitas mental, dalam kondisi pingsan, kelelahan, tidur, atau belum sadar sepenunhya dari tidur.
Seperti halnya sebuah kesepakatan, persetujuan dapat berubah. Seseorang dapat mengubah pikirannya, kapanpun, bahkan jika sudah pernah melakukan atau saat melakukan sudah pada tingkat aktivitas seksual tertentu. Sayangnya, hal ini seringkali tidak dipahami oleh pasangan atau aparat penegak hokum. Mereka sering menilai jika seorang perempuan menolak aktivitas seksual, namun sebelumnya pernah berhubungan seksual konsensual, atau sudah ada ‘pemanasan’, itu dianggap sebagai hubungan seksual konsensual.
Cara pandang ini sering merugikan istri. Ikatan pernikahan dinilai begitu saja dalam setiap bentuk aktivitas seksual suami-istri. Karena itu, suami merasa berhak melakukan aktivitas seksual tanpa memerlukan persetujuan istri. Cara pandang inilah yang mengabaikan bahwa tidak ada perkosaan jika itu terjadi dalam hubungan perkawinan.
Selanjutnya adalah seseorang hanya dapat menyetujui sesuatu jika diberikan informasi terkait apa saja yang akan dilakukan. Persetujuan juga bermakna antusias, yaitu ketika melakukan aktivitas seksual, seseorang hanya melakukan hal-hal yang ingin dilakukan, bukan hal-hal yang diharapkan orang lain untuk dilakukan.
Terakhir adalah spesifik, yaitu ketika mengatakan “ya” pada satu hal tidak berarti “ya” untuk hal lain. Misalnya, ketika seseorang setuju untuk makan malam bukan berarti setuju untuk berhubungan suami-istri.
Intinya dalam hubungan seksual yang sehat, kedua belah pihak harus merasa nyaman, saling menikmati dan memuaskan. Langkah awalnya adalah persetujuan para pihak, khususnya perempuan. Mengapa? Selain sebagai bentuk kesetaraan, pengakuan dan penghormatan atas otonomi tubuh perempuan, hubungan seksual yang sehat juga akan meningkatkan kreatifitas, kecerdasan, dan kebahagiaan perempuan.
Naomi Wolf menyatakan bahwa kemauan perempuan tidak sekadar lubang untuk penetrasi, melainkan sebuah system yang meliputi kerja syaraf, otot dan hormon yang berkaitan dengan otak dalam memberikan renspon fisik maupun emosi. Saraf panggul perempuan bercabang ke dasar sumsum tulang belakang, klitoris, rahim, labia, dan vagina.
Intinya, semua untaian saraf perempuan itu berbeda sehingga respons seksual setiap perempuan berbeda-beda. Sistem syaraf otonom yang dioptimalkan melalui perlakuan yang benar akan membuat perempuan terpuaskan dan memberikan reward dengan dihasilkannya hormon dan zat-zat yang menstimulus kreativitas, kecerdasan, dan kebahagiaan.
Menurut Naomi, perlakuan yang benar terhadap sistem kemaluan perempuan berkontribusi pada kualitas hidup perempuan dan masyarakat. Sebaliknya, perlakuan salah, seperti kekerasan seksual, akan merusak system kerjanya dan menyebabkan otak tidak mampu menghasilkan hormon dan zat yang memberikan relaksasi dan stimulasi. Akibat lebih jauh, perempuan akan hidup dalam ketakutan, ketidaknyamanan, dan kehilangan potensi menggembangkan kecerdasan dan kreativitasnya.
Persetujuan Seksual dalam Konteks Islam
“Kalau hasrat (seks) sudah mau, ya mesti. Kalau sudah mau (seks), ya mesti, si istrinya mah diam aja, tidur aja, nggak sakit kok,”
Pernyataan Ustaz Tengku Zulkarnain di atas adalah sebagian dari perdebatan pro-kontra RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS). Dalam pernyataannya, Zulkarnain membenarkan pemaksaan hubungan seksual kepada istri. Apakah pandangan ini mewakili cara pandang mayoritas lelaki Muslim dalam memahami hubungan seksual dan relasi dengan pasangan? Apakah ketika perempuan sudah dinikahi, ia menjadi property suami yang dengannya si suami bebas melakukan hubungan seksual dengan istri sekalipun tanpa persetujuan?
Sebagai yang tidak memiliki otoritas keilmuan dan agama untuk membahas pandangan Islam terhadap persetujuan seksual perempuan, saya merujuk pada bahasan-bahasan yang telah dilakukan para KH. Husein Muhammad. Menurut Buya Husein, begitu biasa beliau dipanggil, dalam relasi perkawinan, termasuk hubungan seksual, terdapat prinsip kesamaan, keseimbangan, dan keadilan di antara keduanya. Perempuan memiliki hak atas laki-laki, sebagaimana laki-laki memiliki hak atas perempuan.
Pendapat senada disampaikan Prof. Dr. KH. Nasarudin Umar yang menggambarkan bagaimana al-Qur’an melukiskan hubungan seksual sebagai salah satu kesenangan dan kenikmatan (istimtā’) dari Tuhan. Kenikmatan dan dorongan seksual bukan hanya ditujukan bagi laki-laki, tetapi juga perempuan. “Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka” (QS 2:187).
Dengan demikian hubungan seksual dalam Islam bersifat holistik. Di samping untuk memenuhi kebutuhan biologis dan melengkapi hubungan sosial antara satu dengan lainnya, ia juga bersifat ibadah. Diingatkan pula agar kita perlu kritis dan melihat kesahihan hadis-hadis yang merugikan perempuan, misalnya, “Jika seorang istri diajak suaminya…hendaklah ia melakukannya sekalipun di dapur” dan dalam redaksi lain “sekalipun di atas punggung onta”
Dalam jurnal Srinthil edisi “Komodifikasi Seksualitas dan Pewadagan Perempuan”, saya menemukan beberapa istilah yang merujuk pada hubungan seksual, yaitu jimā’ (bersetubuh), liqā’ (bercinta), dan dukhūl (penetrasi). Baik jimā’ maupun liqā’ secara konseptual, sama-sama berarti sebuah pertemuan, perpaduan, dan kebersamaan antara dua makhluk berbeda kelamin. Ini kemudian mengalami reduksi menjadi sekadar dukhūl. Istilah ini pula yang jamak digunakan dalam hukum keluarga Islam.
Ketika saya tanyakan kepada kolega, Ust. Imam Nakhai, ia sempat tercenung dan tidak segera menjawab. Dalam status facebook-nya, Ust. Nakhai menulis bahwa ‘jimā’ berasal dari kata jāma’a (جامع) yang berarti “saling” berkumpul. Kata jāma’a mengandung filosofi bahwa suami istri harus “saling” melakukan hubungan seksual dan saling menikmatinya. Istri bukan objek dan suami subjek.
Suami istri adalah subjek-objek dalam satu tarikan nafas. Suami istri adalah setara dalam hubungan seksual. Kata liqa semakna dengan kata jāma’a. Hubungan seks bukan hanya menyatukan alat kelamin biologis, melainkan menyatunya (liqā) jiwa, rasa, dan asa.
Apa sebenarnya yang saya dapatkan? Saya mendapatkan bahwa dalam Islam, persetujuan harus diberikan dalam setiap aktivitas seksual dengan istri atau suami. Ijab kabul tidak boleh dimaknai sebagai surat izin memaksa satu sama lain. Hubungan seks secara paksa sama saja dengan melanggar nilai kesamaan, keseimbangan dan keadilan.
Jika sebagai orang tua, saya mendidik anak laki-laki untuk tidak melakukan pemaksaan, tidak lepas privilege yang selama ini diberikan masyarakat kepadanya. Saatnya memulai mengubah nilai bahwa lelaki keren adalah lelaki yang mampu untuk menahan diri, tidak memaksa walau memiliki kuasa.
Jika anakku adalah perempuan, aku pun akan mengajaknya berdialog tentang hal ini. Adalah hak perempuan untuk menyatakan setuju atau tidak setuju atas aktivitas seksual yang akan dilakukannya. Ia memiliki hak yang sama dengan pasangannya untuk mengekpresikan cintanya.
Dengan mendialogkan hubungan seks konsensual, kita berharap sedikit demi sedikit rape culture bisa kita hilangkan. Perbincangan malam itu ditutup dengan pernyataan sekaligus izin, “Seperti kalian…aku akan menikah muda, boleh?” Kami jawab, “Boleh!” [AZH, MZ]
[Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili pendapat lembaga]