Muhammad Rizky Shorfana Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Bolehkah Memilih Pemimpin Non-Muslim Menurut Ibnu Taimiyah?

2 min read

Situasi perpolitikan nasional saat ini telah dan sedang memanas. Salah satu isu yang sering muncul berkenaan pada saat pemilu yaitu terkait dengan kepemimpinan muslim dan non-muslim. Sehingga sering muncul isu-isu miring tentang kenon-musliman seorang kandidat atau keluarga kandidat. Hal ini tentu saja menarik untuk dianalisis dari sudut pandang hukum Islam.

Dalam sejarah, boleh-tidaknya non-muslim diangkat menjadi pemimpin kaum muslim sesungguhnya merupakan fenomena klasik yang senantiasa mengundang perdebatan di kalangan ulama dan peminat studi-studi politik Islam dari masa ke masa. Di satu sisi, dari sebagian ulama menganggap bahwa non-muslim tidak boleh diangkat sebagai pemimpin kaum muslimin. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa ayat dalam alquran secara jelas menyatakan demikian.

Walaupun begitu, terdapat pula beberapa ulama yang memandang bahwa esensi perdebatan bukan terletak pada apakah pemimpin harus Islam atau tidak, namun yang terpenting adalah apakah seorang pemimpin mampu untuk memimpin masyarakat dalam memperoleh kesejahteraan dan keadilan yang notabene merupakan perintah alquran dan hadis Nabi Muhammad.

Salah satu ulama yang dapat dianggap termasuk dalam kategori kedua ini adalah Taqi ad-Din Abu al-Abbas ibn Abd al-Halim ibn Abd as-Salam ibn Taimiyah atau yang lebih populer dengan panggilan Ibnu Taimiyah. Ia merupakan seorang ulama terkemuka dan disegani pada zamannya hingga saat sekarang ini. lebih dari itu, menurut Syafiq A. Mughni, Ibnu Taimiyah bahkan dianggap sebagai “titisan” yang mewarisi tingkat intelektualitas Ahmad bin Hambali hingga ia juga dijuluki sebagai Ahmad (bin Hanbal) muda.

Perlu diketahui dalam setiap pemikirannya, Ibnu Taimiyah selalu menjadikan alquran sebagai landasan utama berpikirnya. Demikian pula ketika ia menyampaikan gagasannya mengenai kosmopolitanisme. Untuk gagasan kosmopolitanisme, Ibnu Taimiyah tetap berpatokan pada ajaran bahwa Islam sebagai kebenaran haruslah menjadi kebaikan bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin) seperti yang diamanatkan oleh alquran.

Baca Juga  Membumi Saat Pandemi: Menengok Kembali Fikih Kebencanaan Muhammadiyah [Part 2]

Menurut Ibnu Taimiyah, nilai terpenting yang  senantiasa dipelihara dalam pemerintahan syari’at adalah keadilan dan mempromosikan kebaikan sekaligus juga untuk mencegah keburukan (amar ma’ruf nahi mungkar). Dalam aspek politik dan negara, beliau lebih memilih gagasan keadilan yang universal dibandingkan segala-galanya, termasuk agama. Dalam hal ini beliau menyatakan pendapatnya yang sangat terkenal, yaitu “lebih baik dipimpin oleh pemimpin kafir yang adil, daripada dipimpin oleh pemimpin Islam yang dzalim”.

Penting untuk kita ketahui, gagasan Ibnu Taimiyah mengenai kosmopolitanisme tersebut berbicara dalam konteks kepemimpinan dan kewarganegaraan. Oleh karena itu, beliau memandang manusia sebagai individu yang terlepas dari agama, ideologi, asal negara, dan ikatan-ikatan tradisional lainnya.

Berawal dari pendapatnya yang mengutamakan pemimpin yang adil dibandingkan keimanan, Ibnu Taimiyah melanjutkan lebih jauh tentang peranan negara dalam proyek kosmopolitanisme-nya. Bagi Ibn Taimiyah, tugas utama negara adalah tegaknya syariat yang tidak lain demi tegaknya sebuah keadilan yang universal. Dengan demikian, menurutnya syari’at dan keadilan universal adalah “saudara kembar” yang paralel dan harus berjalan secara bersamaan.

Jika kita telusuri lebih dalam lagi, maka pemikiran  kosmopolitan Ibnu Taimiyah tersebut tidaklah mengejutkan. Sebab beliau sendiri hidup dalam lingkungan masyarakat yang bhineka, keberagaman dan heterogen. Sebagai akibatnya dalam wilayah yang beliau tempati tersebut sering terjadi perang dan mobilitas penduduk dari berbagai bangsa sangat tinggi. Dalam satu wilayahnya tersebut, terdapat berbagai bangsa seperti Arab asal Irak, Arab asal Suriah, Mesir, Turki, Tatar dan lain sebagainya. dari masing-masing bangsa tersebut memiliki adat istiadat, tradisi, perilaku dan pikiran yang berbeda-beda.

Selain pandangannya mengenai kosmopolitanisme, doktrin terkait dengan kekhalifahan yang harus dipegang oleh kaum Quraisy dianggap sudah tidak relevan dan tidak urgen lagi untuk diyakini dan dijalankan bagi masyarakat kosmopolitan dan heterogen seperti di wilayah yang ditempatinya.

Baca Juga  Israel, “Etno-Demokrasi,” dan Paradoks Modernitas (2)

Dalam masyarakat yang heterogen, menurut Ibnu Taimiyah semua elemen masyarakat pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk memimpin atau dipimpin. Tanpa harus ada diskriminasi atau pengkultusan yang berlebihan terhadap suatu golongan atau kelompok tertentu. Slogan sentral yang dipromosikannya itu adalah kembali kepada alquran dan hadis, serta membuang jauh-jauh perbuatan syirik, khurafat, bid’ah dan pengkultusan seseorang.

Realitas sosial masyarakat yang seperti itulah yang kemudian mendorong Ibnu Taimiyah untuk tidak mengakui kehujjahan hadis yang menyatakan pemimpin harus berasal dari kaum Quraisy. Karena dalam hadis tersebut ada unsur yang menyeru kepada suatu bangsa atau golongan tertentu. Padahal bagi Ibnu Taimiyah, alquran secara tegas memuliakan manusia bukan karena keturunan dan kebangsaan, melainkan untuk dasar ketakwaan kepada Allah SWT.

Kalau melihatnya dengan konteks tersebut, maka tidak berlebihan jika pada akhirnya ia memilih untuk tidak mengakui ke-Quraisy-an sebagai salah satu syarat untuk menjadi seorang pemimpin atau khalifah. Tetapi ia berusaha menggali syarat-syarat kepemimpinan berdasarkan syari’at melalui pesan-pesan dan nilai-nilai yang terdapat dalam alquran yang dianggapnya justru lebih bermakna dan adil.

Dengan kata lain, kepemimpinan syari’ah yang memberi peluang dan hak yang sama rata secara adil kepada segenap masyarakat merupakan konsep politik yang ia tawarkan sebagai usaha memberikan solusi atas kondisi politik yang dihadapinya saat itu. Karena bagi Ibnu Taimiyah keadilan adalah penopang pemerintahan dan syarat atas datangnya pertolongan Tuhan.

Maka dari itu, memilih pemimpin berdasarkan agama yang dianutnya bukanlah sesuatu hal yang diharuskan. Melainkan memilih pemimpin itu berdasarkan nilai atas perilaku yang dimiliki oleh seseorang yang mencalonkan diri sebagai pemimpin. Karena seorang pemimpin harus dapat bertanggungjawab atas janji-janji yang diucapkannya. Dan agama bukan tolak ukur dalam melihat seseorang dapat adil dan membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.

Muhammad Rizky Shorfana Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya