Salah satu kado dan anugerah terindah Tuhan pada bangsa ini adalah dihadirkannya KH. Abdurrahman Wahid di tengah-tengah warga Indonesia yang plural dan majemuk. Kyai yang populer dipanggil dengan Gus Dur ini di samping pernah menjadi ketua umum PBNU, juga pernah menjadi presiden di Indonesia ke-4, bahkan kiprahnya diakui oleh mancanegara.
Bagi orang yang belum banyak mengenal Gus Dur, gagasan-gagasannya seringkali dianggap kontroversial, namun bagi orang yang mengenal gagasan-gagasannya dianggap brilliant melampaui zamannya. Gagasan dan pemikiran-pikirannya menjadi magnet tersendiri bagi siapapun yang ingin mengkaji dan memperdalam kajian-kajian tentang ke-Indonesia-an, kebangsaan, kebhinekaan, dan kemanusiaan, ibarat telaga yang tidak pernah surut diambil airnya.
Apresiasi masyarakat internasional kepada Gus Dur berkat pembelaan dan perjuangannya terhadap kelompok minoritas dan rentan yang mendapat perlakuan diskriminatif dan kekerasan ini mengantarkannya mendapat penghargaan “Global Tolerance Award” pada tanggal 10 Desember 2003 pada hari HAM Internasional di markas PBB, New York.
Gus Dur juga memelopori dialog lintas-umat beragama yang membuat dirinya mendapat apresiasi dari banyak pihak berkat kiprah dan perjuangannya, namun tidak sedikit yang menentang terhadap apa yang telah dilakukannya. Gus Dur membangun wacana dialogis dan implementatif yang sangat relevan di kehidupan sekarang ini dalam merawat kebhinekaan.
Gus Dur membagi pemikiran ataupun gagasan-gagasannya di ruang seminar dan karya tulis terhadap radikalisasi agama, gerakan- gerakan bertopeng agama yang mau menjadikan Indonesia menjadi negeri agama.
Pertama, yang dilakukannya adalah bagaimana membuka dialog lintas-umat beragama sehingga keberadaan forum ini bisa menjadi ruang untuk saling memberi pengayoman dan jaminan keselamatan, utamanya bagi kelompok minoritas dan marjinal.
Kedua, berperan aktif dalam upaya-upaya membangun harmoni antar-umat beragama dengan menentang radikalisme agama upaya-upaya radikalisasi di masyarakat.
Ketiga, penguatan peran masyarakat dengan memberikan pendampingan dan deteksi dini dari mantan-mantan pengikut jihadis sebagai upaya melakukan deradikalisasi di masyarakat.
Keempat, peningkatan kesadaran dan perlindungan pada anak dan perempuan yang rentan menjadi objek radikalisasi.
Kedepannya, Indonesia membutuhkan generasi-generasi Gus Dur (Gusdurian) yang toleran, yang tidak jumud terhadap dinamika masyarakat. Untuk itu, Gusdurian di masa mendatang haruslah mampu merawat kebhinekaan dan menghargai keberagaman sebagai sebuah anugerah. Gusdurian di masa mendatang juga dituntut untuk mampu membangun harmoni dalam aneka ragam perbedaan.
Kemampuan warga bangsa dalam menghargai keberagaman ini senantiasa akan menjadikan Indonesia sebagai negara adidaya dan besar yang penuh dengan warna-warni pandangan, suku, ras, agama, dan budaya yang menjadikan warganya nyaman dan aman.
Sehingga, Indonesia dapat menjadi alunan irama orkestra, yang terdiri kumpulan instrumen alat musik, tapi tetap enak dinikmati dan didengar. Bila hal ini dapat dirawat dan di-ruwat dengan baik, maka semua warga negara akan merasakan indahnya harmoni dalam keberagaman.
Indonesia merupakan negara kesatuan dengan kesamaan tekad agar lepas dari penjajahan ketika itu. Para pemuda memberikan spirit dan tekad yang sama untuk menyatukan berbagai bahasa, ras, suku, dan aliran sehingga Indonesia kemudian menjadi negara yang merdeka. Tugas merawat kebhinekaan dan menjunjung tinggi keberagaman ini menjadi harapan dan kesiapsiagaan kita bersama untuk menjaga lingkungan sekitar agar tetap beragam.
Aneka suku dan budaya serta keindahan lingkungan sekitar harus tetap dijaga agar tetap indah dan lestari. Indonesia merupakan negara yang luas dengan multi etnis, budaya, dan agama sehingga dibutuhkan upaya yang serius menjaga keragaman ini tetap harmoni. Untuk itu, tugas kita adalah menjadikan Indonesia ini tetap harmoni dalam keberagaman. Bersambung… [Bagian 2]