Sarjoko S. Alumnus Pesantren Mathali’ul Huda Al-Kautsar Kajen, Pati. Kini menulis di beberapa media.

Beragama Secara Dewasa di Tengah Pandemi Corona

3 min read

Source: pasardana.id

Baru-baru ini beredar banyak foto dan video yang membuat kita geleng-geleng kepala. Mulai dari kepadatan bandara, pasar tradisional yang semakin sesak, hingga berjibunnya mall-mall yang baru dibuka. Ketiga peristiwa tersebut disatukan dalam satu momen penting bernama: lebaran.

Bagi orang-orang yang sudah menahan diri untuk tidak keluar rumah selama beberapa bulan lamanya, pemandangan ini tentu menggeramkan. Ada banyak komentar di Twitter yang merasa kecewa karena sudah mengembalikan tiket mudik hingga mengorbankan dirinya merasakan stres akibat terlalu lama berdiam diri. “Mengapa pengorbanan ini tidak kalian hargai?” Mungkin ini yang ingin dikatakan.

Situasinya memang penuh dilema. Sudah sekian puluh tahun kita menganggap bahwa mudik adalah sesuatu yang wajib. Apalagi ketika transmigrasi dan urbanisasi terjadi secara besar-besaran. Momen lebaran adalah momen di mana orang-orang melepas rindu dan menunjukkan perubahan. Karenanya, orang-orang sebisa mungkin tampil dengan penampilan terbaiknya.

Untuk itu, orang akan menuju ke pasar untuk memoles dirinya.

Masalahnya kita sedang berada di tengah pandemi. Mau pakai baju sebagus apapun, mungkin kita akan menikmatinya sendiri di depan cermin di dalam rumah. Sebab semakin banyak orang sadar dan akan menutup pintunya untuk menghindari penularan. Orang mulai sadar untuk berperilaku layaknya seorang carrier yang terkena virus.

Nah, sifat pandemi ini mudah sekali menular dan memiliki daya ledak yang luar biasa. Di Indonesia, pada tanggal 22 Maret baru ditemukan 2 kasus. Namun pertanggal 18 Mei, jumlah kasus positif sudah di atas angka 18.000. Ini pun yang dipublikasikan. Entah berapa banyak para pengidap virus yang tak pernah dideteksi. Dan mereka bebas berkeliaran di mana-mana.

Pada awal Ramadan, kita sudah dihadapkan pada perdebatan apakah akan ada tarawih berjamaah di masjid? Pemerintah beserta ormas Islam besar di Indonesia sudah menghimbau agar salat di rumah aja. Meski di beberapa tempat masih ada yang ‘ngeyel’ dan tetap menyelenggarakan salat tarawih berjamaah. Namun secara umum masyarakat bisa menerima Ramadan ini dijalani dengan berbeda.

Baca Juga  “Sekolah: Surga yang Tidak Dirindukan”: Refleksi Orang Tua terhadap Pendidikan Anak

Nah, di situasi mendekati lebaran kondisinya ternyata semakin rumit. Tantangan kita bukan hanya meminta umat untuk legawa agar Idul Fitri tahun ini sedikit berbeda: tanpa jamaah di lapangan, tanpa acara berkunjung ke rumah tetangga. Untuk urusan ini, saya melihat umat sudah mulai memakluminya.

Tantangan kita justru datang dari cara beragama yang sangat simbolik belaka. Hanya melihat lebaran sebatas ganti baju. Karenanya, ancaman kematian akibat Corona pun diabaikan. Lebih baik terinfeksi daripada tidak punya baju baru. Barangkali ini yang dipikirkan.

Kalimat saya barangkali kelewat kasar. Namun saya benar-benar merasa sedih ketika melihat foto atau video tenaga medis yang berjatuhan. Baru-baru ini, seorang perawat yang mengandung janin berusia 6 bulan terinfeksi, dirawat, kemudian meninggal dunia. Lalu apakah hal seperti ini tidak pernah dipikirkan?

Di momen yang lain ada banyak tenaga medis yang membuat video pendek dengan tagar #IndonesiaTerserah. Mereka tampak frustrasi dengan situasi yang semakin tak terkendali.

Di saat mereka berbulan-bulan tidak keluar dari area rumah sakit, ternyata di bawah ada banyak orang tak peduli dengan nasib dirinya sendiri. Toh, kalau nanti mereka sakit karena terkena virus, mereka pun akan ‘menyusahkan’ tim medis yang diabaikannya itu.

Sulit, memang. Namun saya punya pertanyaan besar. Sebenarnya, cara beragama seperti apa sih yang dominan dipahami masyarakat kita?

Sebelum saya menulis, saya sempat merasa bahagia karena mendapat broadcast beberapa pesantren besar di Jawa Tengah tidak melakukan open house sebagaimana hari raya biasanya. Di lain tempat, pesantren hanya menerima tamu dari warga asli, sehingga para alumni dan santri tidak diperkenankan untuk sowan untuk sementara waktu.

Saya sangat senang karena pesantren sangat dewasa dalam memandang persoalan agama dan sosial sebagaimana biasanya. Hal ini melengkapi kegembiraan saya karena banyak tokoh beberapa hari terakhir menyerukan untuk menghindari kerumunan.

Baca Juga  Pelarangan Gereja, Konspirasi Kristenisasi, dan Jaminan Kebebasan Beragama

Pun, jika di satu tempat tidak mau meninggalkan shalat Id berjamaah, ada banyak selebaran yang menyatakan hanya diikuti oleh warga setempat yang tidak punya riwayat bepergian. Tentu saja dengan mengindahkan protokol kesehatan.

Lalu mengapa peristiwa berdesak-desakan di pusat perbelanjaan terjadi? Tentu saja ada banyak faktor. Namun dalam pembacaan saya, ada problem mendasar dari cara beragama masyarakat kita.

Saya menyebutnya sebagai cara beragama yang oportunistik. Jika ada pendapat seorang ulama yang mendukungnya, ia akan memegang teguh. Namun jika para ulama memiliki pemaknaan yang berbeda, umat tak segan untuk meninggalkan pendapat semuanya. Mereka punya preferensi sendiri bernama pengalaman beragama yang sudah kita warisi selama bertahun-tahun lamanya.

Bisa jadi ini akibat pendidikan agama di ruang sosial kita yang mulai bergeser dari komunal ke arah individualistik. Seorang murid tidak lagi memiliki hubungan emosional dengan gurunya. Yang mereka rujuk adalah layar handphone yang akan dibuka sesuai dengan mood-nya. Jika benar demikian, maka ini tantangan yang tak bisa dianggap remeh.

Hal ini bisa kita lihat dalam peristiwa belakangan. Saat hampir semua tokoh dan organisasi keagamaan memiliki pandangan yang mirip terkait Covid-19, sebagian masyarakat punya cara sendiri untuk ‘mematuhinya’. Entah karena informasinya tidak sampai, atau menganggap persoalan belanja tidak lagi dalam wilayah agama, yang jelas para aktivis dakwah punya pekerjaan rumah yang sangat besar di masa mendatang.

Saya melihat bahwa kita belum berada dalam situasi beragama secara dewasa, yang penerapannya didasarkan pada tujuan-tujuan syariat (maqashid syariah). Selama ini kita terlalu banyak melihat agama dari simbol. Sayangnya simbol ini dianggap sebagai sesuatu yang antik dan tidak boleh diubah. Jika saja umat diajari untuk beragama berdasar tujuan, mereka akan bisa menimbang baik dan buruk dari kacamata yang sangat sederhana.

Baca Juga  Sufi Milineal

Misalnya, dalam persoalan salat tarawih atau id berjamaah, orang akan dihadapkan pada prinsip menjaga diri (hifz an-nafs). Apakah jika berjamaah tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain? Jika pertimbangan bahwa di desanya masih zona hijau dan mampu mencegah adanya orang lain masuk, ya tentu sah-sah saja jika ada salat berjamaah.

Namun, di sebuah wilayah yang tidak terkondisi, tentu hukum berbicara lain. Apalagi ada kaidah mencegah kerusakan diutamakan daripada mencari kebaikan.

Semangat orang untuk tampil trendy pada hari raya Idul Fitri di tengah pandemi memang sesuatu yang patut untuk direnungkan. Wallahua’lam. (AA)

Sarjoko S. Alumnus Pesantren Mathali’ul Huda Al-Kautsar Kajen, Pati. Kini menulis di beberapa media.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *