Sebelumnya: Genealogi Kesantrian Humanis Gus Dur… (1)
Kesantrian Humanis Gus Dur
Menurut Gus Baha’ (haul Gus Hur ke-10) pergaulan Gus Dur yang melangkahi batas tradisionalitas dan mendunia itu sudah pernah dilakukan oleh kakeknya, yaitu KH. Hasyim Asy’ari. Jadi hal itu bukan sesuatu yang baru dan khas Gus Dur saja, tetapi memang sudah jadi tradisi para ulama besar pesantren. Khususnya mbah Hasyim Asy’ari.
Keberpihakan Gus Dur pada nilai kemanusiaan yang oleh sebagian pembaca ditafsirkan sebagai humanisme adalah belum persis sepenuhnya. Melihat dan mengikuti kelana keilmuannya, Gus Dur lebih cocok dikerangkakan sebagai santri yang humanis.
Kesantrian humanis ala Gus Dur ini, merupakan ekstraksi dan aplikasi kesalehan tradisional khas pesantren ke dalam universalitas nilai dan praksis kemanusiaan. “Secara khas, humanisme Gus Dur terwakili melalui istilah-istilah kesejahteraan rakyat, keadilan, persamaan di hadapan hukum, demokrasi, toleransi beragama. Humanisme Gus Dur terarah kepada pemihakannya terhadap kaum lemah” (Syaiful Arif, 2017: 57-58).
Bagi Goenawan Mohammad, Gus Dur merupakan figur nekat yang berprinsip kuat untuk merangkul kemanusiaan secara lintas batas. “Dari situasinya yang terbatas ia menjangkau mereka yang bukan kaumnya, melintasi gerbang dan pagar, jadi tak berhingga, untuk menjabat mereka yang di luar itu. Terutama mereka yang disingkirkan, dicurigai, atau bahkan dianiaya: bekas-bekas PKI, minoritas Tionghoa, umat Ahmadiyah. Kita tahu ia melakukan itu dengan nekat tapi prinsipil—keberanian yang hampir tak terdapat pada orang lain” (Goenawan Mohamad, 2011: 48).
Sedemikian, sikap Gus Dur yang humanis itu, matang dari dialektika panjang. Dari hasil ia nyantri, terjadi penancapan nilai-nilai pokok Islam bertradisi pesantren. Setelah sampai di Mesir, Baghdad dan Eropa, dia mempersandingkan khazanah kesantrian dengan dinamika diskursus global.
Setelah kembali ke tanah air, Gus Dur mengalami dan mengaplikasikan nilai kesantriannya dalam kiprah kemasyarakatan. Dia mengambil tanggung jawab sebagai ketua NU, masuk ke politik praktis, menjalin dialog lintas iman dan golongan, memperjuangkan kebebasan berpendapat, membela minoritas-tertindas, dan kiprah-kiprah sosial yang lain.
Semua itu dilakukan beriringan dengan tetap sholat malam, ziarah kubur, sowan para kiai, dan mengisi pengajian-pengajian tradisional di pesantren. Ini menunjukkan Gus Dur adalah seorang santri humanis. Bukan sebaliknya.
Jalan kesantrian humanis ini ditempuh Gus Dur dengan sangat dinamis dan kontekstual. Dalam hal ini, Gus Dur praktis adalah seorang ‘pembuka jalan’ atas kontekstualisasi nilai-nilai kepesantrenan dalam bingkai realitas kebangsaan dan kemanusiaan global. [AA]