Meledaknya lagu “Aisyah Istri Rasulullah” yang semula diperkenalkan oleh grup band Malaysia, Projector, rupanya membawa polemik di tengah masyarakat. Andai saja lagu ini tidak di-cover oleh para penyanyi tanah air, baik yang profesional maupun yang amatir, bahkan sudah muncul beragam parodi, lagu ini tidak mungkin jadi bahan “saling sindir” antara kubu Khadijah dan kubu Aisyah. Lha wong lagu ini sudah release sejak tahun 2017 kok baru memunculkan beragam “keberatan” saat ini. Kalau mau mengkritik mbok kritik berbagai sīrah Nabi yang sudah tersedia sejak dulu. Betul-betul perdebatan pop karena jelas-jelas di-drive oleh lagu pop yang diviralkan oleh media-media pop.
Tentu saja ini bukan kubu-kubuan seperti peperangan di awal sejarah Islam yang melahirkan ragam kubu yang akhirnya membentuk mazhab teologis: Ahlus Sunnah, Syiah, Khawarij, dsb. Karena kubu-kubuan di sini didorong oleh perang medsos, maka kubu-kubuan di sini juga tidak menggambarkan apapun kecuali sekadar ramai di media sosial. Jangan-jangan ini semacam pelarian dari kesumpekan wabah Corona atau efek berhari-hari hanya tinggal di rumah jadi tidak memiliki kerjaan lain kecuali cari-cari masalah dari lagu “Aisyah Istri Rasulullah”.
Setidaknya, kubu Khadijah mengeluarkan dua argumen. Argumen pertama adalah bahwa daripada mendendangkan pujaan tentang kisah cinta sweet antara Aisyah dengan Nabi Muhammad, jauh lebih heroik jika menggelorakan cara Khadijah mencintai Muhammad. Argumen ini jelas terlihat dalam tulisan Hasan Mahfudh yang berjudul “Cinta Khadijah Kepada Rasul Tak Hanya Sweet, Tapi Juga Heroik” yang dimuat di media arrahim.id ini (07/04/2020).
Mahfudh yang seorang dosen Tafsir Hadits UIN Sunan Ampel Surabaya mengulas betapa heroiknya cinta Khadijah kepada Muhammad saat suaminya gemetaran menerima wahyu pertama yang juga momen inaugurasinya menjadi seorang nabi. Saat Muhammad memintanya untuk menyelimutinya karena ketakutan dari pengalamannya didekap sang Jibril, dengan penuh ketenangan dan kedewasaan, Khadijah menyelimutinya, memeluknya, dan memenuhinya dengan cinta yang membuat laki-laki yang barusaja dilantik menjadi nabi itu terasa tenang dan damai.
Jelas Nabi Muhammad mencintai istrinya yang jauh lebih tua darinya itu dengan sepenuh jiwanya. Dari sang istri inilah Nabi Muhammad mendapatkan seorang putri yang tiap kali sang Nabi menciumnya yang terserap di hidungnya adalah bau harum surga. Hingga kematian Khadijah, Nabi tak pernah membuka hatinya untuk perempuan lain. Sebegitu cintanya Nabi pada Khadijah, hingga Aisyah tak tahan untuk tidak mengungkapkan rasa cemburunya kepada marunya yang sudah menghadap Allah.
Mahfud memang tidak menyatakan secara eksplisit bahwa tulisannya adalah wakil dari kubu Khadijah. Namun penjudulan dan caranya menarasikan, apalagi menggunakan istilah “sweet” yang digunakan Projector Band untuk menggambarkan kisah cinta Aisyah dengan Nabi, jelas-jelas menunjukkan bahwa tulisan itu diniati sebagai “serangan lembut” (soft attack) terhadap kubu Aisyah.
Argumen kedua dari kubu Khadijah malah lebih terasa nge-pop. Ada yang mengatakan mengapa yang diagung-agungkan Aisyah bukan Khadijah. Ada yang perlu dikhawatirkan jika Aisyah yang lebih ditonjolkan, para istri akan berlomba-lomba untuk membuat wajahnya glowing karena Aisyah dikenal dengan pipinya yang kemerah-kemerahan. Bahkan Nabi memanggil sayang istrinya itu dengan pangghilan yā khumairā’ (Wahai perempuan yang wajah kemerah-merahan). Istilah khumairā’ kalau dibawa ke konteks sekarang adalah glowing.
Andaikan yang diangkat adalah kisah cinta Khadijah dengan Muhammad, kata kubu ini, akan memberi efek yang lebih mendewasakan bagi ibu-ibu Muslimah yang ingin meniru kehidupan cinta istri-istri Nabi. Kisah cinta Khadijah memang tidak sweet, tapi lebih memberi nilai edukasi yang mendewasakan.
Bagi saya, perseteruan “kubu Aisyah” dan “kubu Khadijah” ini menggelikan. Bukan saja hal itu terasa kekanak-kanakan, tapi yang lebih penting adalah bahwa kisah cinta sang Nabi harus dilihat secara menyeluruh dan utuh. Kedewasaan Khadijah tidak perlu diperlawankan dengan cinta sweet ala Aisyah. Kalaupun Khadijah mencintai Muhammad dengan cinta yang dewasa, apakah kedewasaan bisa menjadi alasan untuk tidak mengharagai cinta yang menggemuruh ala perempuan muda seperti Sayyidah Aisyah. Begitu juga, apakah cinta sweet ala Aisyah harus menjadi alasan untuk meremehkan kedewasaan cinta dewasa ala Sayyidah Khadijah?
Dalam hidup, kita memerlukan keduanya. Kita memerlukan pelukan kasih yang dewasa dari istri yang mendamaikan agar kita bisa tetap merasa seperti anak kecil yang terlindungi. Kita sesekali perlu merasa seperti kanak-kanak di depan istri kita. Namun kita juga memerlukan istri kita untuk merengek manja dan mengajak kita bermain-main, agar kita merasa sebagai laki-laki dewasa yang mengayomi. Jika tetap harus ada kedua kubu tersebut, skornya harus 1:1, tak boleh ada yang dikalahkan. [mz]