Sejak zaman Arya Kenceng (Raja Kerajaan Tabanan), keluarga Munang sudah terkenal dengan Munangnya. Munang berasal dari kata “muunang” yang berarti membakar, tajam, dan berkemampuan tinggi. Entah bagaimana bisa? Beliau kemudian melepaskan atribut kebangsawanannya dengan sangat mudah untuk selamanya.
Sampai suatu ketika, salah satu keturunannya, yaitu Sersan Mayor I Wayan Darna sebagai hakim dalam pasukan TRI – Sunda Kecil dan sepupunya, I Nengah Cetig ditembak oleh pasukan Belanda tatkala melakukan revolusi di sawah, sebelum masuk ke Desa Tegalinggah, tepatnya di Bedugul, Tegalinggah.
Peristiwa itu mengharuskan anak I Wayan Darna, I Nyoman Dekker A.K.A Nyoman berlari dan terus berlari ke atas bukit untuk menghindari kejaran Belanda. Tak heran nasionalisme Nyoman cukuplah tinggi, apalagi setelah peristiwa puputan margarana (Agresi Militer Belanda II) menimbulkan trauma batin (War Trauma Survivor) yang mendalam bagi Nyoman.
Merasa keinginan Nyoman untuk menimba ilmu semakin tinggi. Maka, semua keluarga di kampungnya dengan sukarela menyumbangkan hasil tani dan ternak untuk menunjang pendidikannya di daerah perantauan. Nyoman dan kawan-kawan menunggangi truk untuk berangkat dari Bali menuju Yogya dan Malang. Bersekolahlah Nyoman di SMA BOPKRI dan SMAN 1 Malang.
Setelah masa SMA-nya di Jogja dan Malang berakhir, Nyoman memantapkan hatinya untuk berumahtangga di Malang serta indekos di sana. Karena penghasilannya sebagai guru SMA kurang mencukupi, itu membuat Nyoman memutuskan untuk berkuliah di Universitas Padjadjaran Bandung.
Setelah menyelesaikan studinya, Nyoman melanjutkan kuliahnya dengan mengambil S2 Hukum Tata Negara di Universitas Brawijaya hingga bergelar drs. Melihat IKIP Malang yang baru saja berdiri, langsung saja Nyoman membuat lamaran dan mengajukan diri sebagai dosen di IKIP Malang.
Tidak berselang lama, megaproyek pun menghampiri. Soeharto baru saja meresmikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (disingkat P4) atau Eka Prasetya Pancakarsa. Untuk menyebarluaskannya, Soeharto membutuhkan sebuah medium.
Lantas, Soeharto menuju Jogja (Universitas Gadjah Mada). Sayangnya Prof. Notonagoro (Filsuf Pancasila) belum merestui pendirian sebuah medium tersebut dikarenakan ketakutan Pancasila yang didefinisikan secara kaku (tidak luwes) untuk menjadi satu-satunya asas berdampingan dengan kitab suci agama yang ada di Indonesia.
Kemudian, bertandanglah Soeharto ke Malang (IKIP Malang). Dengan sigap, IKIP Malang menyetujui melalui pertimbangan yang matang. Berdirilah Laboratorium Pancasila di IKIP Malang pada 5 Juli 1967 atas prakarsa lima belas orang.
Lima belas orang itu adalah (1) Letkol. Infanteri Darji Darmodiharjo, SH, (2) M. Mardoyo, SH, (3) Drs. Kasmiran Wuryo, (4) Drs. Nyoman Dekker, (5) Drs. P. A Sahertian, (6) Drs. M. Sudomo, (7) Drs. M. Habib Mustopo, (8) Drs. M. Noor Syam, (9) Drs. I Ktut Sudiri Penyarikan, (10) Drs. Masrukan, (11) Soebiyanto, M.Sc., (12) RM. Soebantardjo, Drs. Wahid Siswoyo, (13) Drs. Yusuf Abdurrajak, (14) Drs. Saleh Suwarno, dan (15) Al Ustadz Moh. Dawam Abdul Ghani.
Para pemrakarsa ini dikukuhkan dengan surat keputusan rektor IKIP Malang Nomor. BUM 725/ 1967, tanggal 12 Oktober 1967.
Menyandang julukan sebagai laboratorium Pancasila pertama di Indonesia dan dunia, Laboratorium Pancasila IKIP Malang digunakan sebagai tempat untuk menciptakan dan mengedarkan buku Pendidikan Moral Pancasila (untuk TK, SD, SMP, SMA, dan mahasiswa) dan buku sejarah Indonesia (untuk SMA) ke seluruh provinsi di Indonesia.
Atas kebermanfaatan dari keberlangsungan Laboratorium Pancasila ini, “… Dalam rangka ini, saya menghargai usaha Prof. Darji Darmodiharjo, SH yang telah menulis buku ini. Isi buku ini dapat menjadi bahan yang berguna untuk lebih menjelaskan hal-hal pokok yang ter dapat dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dan lain-lain yang berhubungan dengan itu. Dengan demikian dapat kita harapkan pelaksanaan pedoman itu akan lebih mantap.”
Dikukuhkanlah I Nyoman Dekker sebagai anggota DPR Komisi IX (Pendidikan, Kebudayaan, dan Agama) daerah Jawa Timur dengan Surat Tugas Nomor. C.201/K-D/1598/DPRRI/78. yang ditandatangani langsung oleh Adam Malik.
Di masa-masa inilah, Nyoman mengumpulkan semua buku ciptaannya menjadi satu bunga rampai yang bertajuk Kumpulan Karangan Bersama (Sebuah Dokumen) Dr. Nyoman Dekker (Drs. SH. ).
Hobinya ialah membaca buku. Nyoman percaya bahwasannya pustaka adalah jendela dunia. Tidak peduli itu buku berbahasa Arab, buku berbahasa Belanda, ataupun berbahasa Jepang tetap dibaca sampai habis. Rasa toleransinya perlahan tubuh. Open-minded pula pemikirannya. Apalagi, Nyoman sering terlibat dalam beragam konferensi seperti, Asean Council of Teacher (ACT), Persatuan Guru se-Dunia (WCOTP), dan Konferensi IFFTU.
Tidak lupa, Nyoman selalu mengamalkan Tri Kaya Parisuddha. Berpikir yang benar (manacika), berkata yang benar (wacika), dan berbuat yang benar (kayika) adalah inti konsep dari Tri Kaya Parisuddha.
Hal itu membuatnya dapat berteman dengan aneka tokoh penting pendidikan lintas SARA di Indonesia di antaranya, Dardji Darmodihardjo, Harsya Bachtiar, Basyuni Suriamiharja, Ketut Sudiri Panjarikan, M. Sudomo, Daoed Joesoef, Nugroho Notosusanto, Fuad Hassan, Samsuri, Rosjidan, M. A Icksan, Nuril Huda, dan tokoh penting lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Kehendak toleransi yang ditunjukkan kepada teman-temannya dan sanak keluarganya membantu Nyoman untuk mencapai kesuksesan hingga akhir hayatnya. [AR]