Pernyataan “laki-laki itu lebih sering menggunakan logika, sedangkan perempuan cenderung menggunakan perasaan” sudah sangat sering kita dengar. Mirisnya tidak sedikit yang menyetujuinya, padahal pernyataan itu belum tentu benar adanya.
Mengungkapkan perasaan adalah hak semua orang, hanya saja belum tentu semua orang dapat melakukannya. Mengungkapkan perasaan itu memerlukan energi, keberanian, dan kesiapan. Hal ini karena tubuh kita akan memberikan respons, seperti sesak, sakit kepala, lemas, dan lainnya.
Dalam mengungkapkan perasaan juga terkadang kita mengharapkan respons seperti yang kita inginkan, tapi belum tentu respons yang diterima itu baik. Maka dari itu, bisa dikatakan hanya orang-orang yang siap rentan yang mampu mengungkapkan perasaannya.
Lalu, kenapa pernyataan perempuan yang lebih identik dengan perasaan itu muncul?
Jawabannya mungkin karena hal ini ada kaitannya dengan perubahan mood perempuan ketika melewati masa Premenstrual syndrome (PMS). Dalam kacamata medis, perubahan mood perempuan ini disebabkan oleh turunnya kadar hormon serotonin, yaitu hormon yang bertugas memicu rasa bahagia.
Pada saat yang bersamaan, hormon stres yaitu kortisol justru mengalami peningkatan. Dampaknya perempuan mengalami ketidakstabilan emosi yang memang sering dijadikan sebagai salah satu tanda telah memasuki masa PMS.
Sedangkan, alasan laki-laki juga cenderung identik dengan logika menurut riset yang dilakukan Tel Aviv University pada 2015 yang membandingkan otak laki-laki dan perempuan, otak laki-laki 10% lebih besar dari perempuan, sehingga laki-laki memiliki kemampuan motorik yang jauh lebih kuat.
Menurut Witelson yang dikutip dari CBC News, otak laki-laki lebih rentan dibandingkan perempuan dan juga mengalami perubahan seksual yang dipengaruhi hormon testoteron. Kerentanan ini pun berpengaruh pada cara pengambilan keputusan yang melihat sesuatu dengan jalan yang lebih mudah. Adapun jika dilihat dari kacamata sosial, laki-laki dituntut dan diajarkan menjadi orang yang mengesampingkan perasaannya.
Misalnya, dilarang menangis jika merasa sedih, dituntut untuk lebih kuat jika sedang kesulitan padahal perasaannya sudah merasa tidak kuat dan tidak mampu, dan lain sebagainya.
Pernyataan itu juga muncul bisa disebabkan karena latar belakang sosial kehidupan laki-laki dan perempuan. Mayoritas laki-laki dituntut menjadi kuat oleh keluarganya, sehingga motoriknya menangkap demikian. Begitupun perempuan yang lebih banyak dikekang dan dituntut mematuhi laki- laki, cenderung memilih memendam keinginannya dan ditunjukkan melalui tindakan yang identik dengan perasaan.
Namun dibalik itu semua, logika dan perasaan merupakan sesuatu yang alami dan perlu dipelajari agar menjadi seimbang dan kita bisa mengontrolnya. Laki-laki yang mengutamakan perasaan dibandingkan logika sejauh yang saya temui itu banyak, begitupun dengan perempuan yang cenderung menggunakan logika juga banyak.
Saya sendiri termasuk perempuan yang lebih banyak menggunakan logika dibandingkan perasaan. Cara berpikir ini muncul karena saya dituntut untuk survive sedari kecil hingga sekarang. Dampaknya adalah saya cenderung mengesampingkan perasaan hingga tidak bisa mengidentifikasi emosi yang saya rasakan.
Untuk bisa mengenali emosi dan perasaan, saya belajar dengan sangat pelan bagaimana caranya mengungkapkan perasaan saya, seperti rasa tidak enak kepada orang lain, merasa tidak mendapatkan perlakuan yang adil, dan lainnya. Akhirnya saya pun mampu mengatakan tidak untuk sesuatu yang tidak ingin saya kerjakan atau tidak sesuai dengan idealisme saya.
Saya juga berteman dengan perempuan yang memilih menekan perasaannya dan memilih tidak menangis jika punya masalah. Bukankah kondisi ini sangat sesuai untuk laki-laki dalam kacamata patriarki?
Pada kenyataannya banyak juga perempuan yang tidak bisa menangis dan berupaya tampil kuat di depan orang lain. Laki-laki yang dicap kuat untuk menanggung beban apapun, bisa kita lihat contohnya pada sosok Moon Gang Tae dalam drama korea It’s Okay to be Not Okay. Dia dibebani untuk mengurus kakaknya yang autis. Moon Gang Tae digambarkan sebagai laki-laki yang harus kuat dengan beban yang diberikan ibunya, padahal dia juga belum bisa menerima kondisi yang demikian.
Dia memilih menjalani kehidupan tanpa mengungkapkan perasaannya dan memilih juga untuk menahan apapun yang berkaitan dengan perasaan, meski itu adalah kasih atau cinta. Setelah dia bertemu dengan Ko Moon Young dan bisa mengungkapkan seluruh perasaan yang membebaninya selama ini, dia pun merasa lebih lega dan bisa menikmati hidup.
Saya juga memiliki teman laki-laki yang merasa terbebani dengan budaya patriarki yang sangat mengikat. Dia keberatan dengan gambaran laki-laki yang harus kuat dan tidak bisa mengungkapkan perasaannya. Hal ini karena dia merasa sangat butuh untuk bisa menangis, bersedih, dan mengungkapkan kesedihannya.
Pun demikian dengan Rasulullah yang berhati lembut yang pernah menangis berkali-kali untuk merespons emosi kesedihannya. Saat itu Rasulullah meratapi kepergian Ibrahim yang telah wafat, air matanya mengalir deras hingga membasahi wajahnya. Melihat kejadian itu, sahabat Abdurrahman bin Auf bertanya, “Kau menangis Rasulullah? Bukankah kau sendiri melarang menangisi kematian seseorang?”
Rasulullah pun menjawab “Ibnu Auf, aku tidak melarang menangis. Yang ku larang adalah dua teriakan dosa; nyanyian yang tak bermakna dan melalaikan serta ratapan histeris saat tertimpa musibah dengan menampari wajah dan merobek-robek pakaian. Sedangkan yang terjadi padaku ini adalah ungkapan kasih sayang.”
Sebagaimana dikisahkan dalam buku Sahabat-sahabat Cilik Rasulullah (Nizar Abazah, 2011) Rasulullah pun tidak melarang laki-laki untuk menangis. Bagaimana bisa lingkungan kita telah menekan laki-laki untuk tidak menangis dan mengungkapkan perasaannya?
Mengungkapkan perasaan itu bukan kewajiban perempuan dan bukan perbuatan dosa, melainkan hal alamiah yang memang sangat diperlukan manusia. Maka dari itu, hal-hal yang berkaitan dengan perasaan bukan hanya milik perempuan, tapi milik semua orang. Bahkan, perempuan pun butuh berpikir dan mengambil keputusan menggunakan logika, begitu juga dengan laki-laki yang bisa menggunakan perasaannya.
Dengan demikian, mengungkapkan perasaan itu tidaklah mengenal gender, tetapi memang kebutuhan primer setiap manusia agar bisa lebih mengenal dirinya sendiri dan bisa memahami orang lain.
Menggunakan perasaan itu berpotensi menumbuhkan empati dan menggunakan logika itu memberikan pengalaman cara berpikir kritis. Berpikir kritis dan empati sendiri merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, keduanya ada dalam diri manusia dan setidaknya harus seimbang. Mengungkapkan perasaan pun dapat menjadi jalan kita untuk bisa melakukan rekonsiliasi dengan orang lain. [AA]