Tulisan ini berangkat dari kegelisahan saya sendiri sewaktu mendapat mata kuliah gender ketika masih menempuh program magister di salah satu kampus di Yogyakarta. Pada saat itu, penulis membuat tugas dengan mengangkat isu kesetaraan gender dan kepemimpinan perempuan di Jawa.
Singkat cerita ketika saya memaparkan isi makalah, saya mengawalinya dengan mengatakan sejarah itu harus diletakkan pada konteksnya. Dalam waktu dan kondisi tertentu, Jawa telah merepresentasikan kesetaraan gender.
Mengapa saya harus mengatakan demikian, karena salah satu yang masyhur dipahami oleh sebagian aktivis dan akademisi gender bahwa masyarakat Jawa dikenal dengan budaya patriarki. Banyak aspek kehidupan masyarakat di Jawa disinyalir sebagai bagian dari budaya patriarki. Misalnya, perempuan dikenal dengan istilah 3M (masak, macak, manak) atau 3R (sumur, dapur, kasur). Anggapan itu salah satu bentuk analisis kesetaraan gender di Jawa dengan menggunakan perspektif Barat.
Dalam konteks ini, saya mengkritik adanya generalisasi perspektif dengan berkesimpulan kalau perempuan Jawa termarjinalkan atau budaya patriarkinya sangat kentara. Generalisasi ini sangat keliru karena menyamakan adanya perspektif keilmuan gender Barat untuk membaca Timur.
Ketika kita menggunakan perspektif itu, ada ‘pemerkosaan’ teori karena budaya Barat dan budaya Jawa itu tidak sama. Unsur ketidaksamaan secara sosiologis ini tidak bisa digunakan untuk menggeneralisasikan teori. Jika dipaksakan jawabannya satu yaitu perempuan Jawa pasti tersubordinasi, pasti akan termarjinalkan, dan tertindas.
Argumen penguat mengapa saya mengkritik itu karena ilmu gender dan feminisme itu baru muncul setelah Barat mengalami perkembangan keilmuwan sekitar abad 18-19an. Sebelumnya, masyarakat Barat terhegemoni oleh gereja yang merangkap sebagai kepala pemerintahan. Artinya, tidak ada pemimpin perempuan dan kesetaraan gender dalam aspek kehidupan.
Dalam industri, misalnya, perempuan Barat digaji dengan upah kecil, sedangkan dibanding laki-laki. Akan kondisi ini lah akhirnya Barat menemukan teori feminisme dan gender. Namun bukan berarti setelah ada teori itu kehidupan masyarakat Barat setara. Waktu itu dan hingga saat ini Barat masih berjuang untuk mengangkat derajat perempuan.
Kondisi ini yang berbeda dengan masyarakat Jawa dalam konteks waktu yang bersamaan. Ketika Barat dikuasi oleh gereja, masyarakat Jawa sudah sadar tentang kesetaraan gender. Tidak jauh-jauh, di era kerajaan Majapahit pernah dipimpin oleh seorang perempuan yaitu ibu Gayatri dan Tribuwana Tungga Dewi.
Dua sosok ibu dan anak ini pernah mengantarkan kejayaan Majapahit sebelum diserahkan kepada Hayam Wuruk. Kalau masyarakat Jawa waktu itu tidak setera, pasti Ibu Gayatri dan Tribuwana sudah didemo oleh rakyatnya, bahkan mungkin juga ditolak oleh Gadjah Mada dan patih lainnya.
Selain itu, fakta historis lainnya adalah mayoritas perempuan Jawa ikut membantu suaminya bekerja, baik yang hidup di pesisir maupun yang hidup di perkebunan maupun persawahan. Kehidupan masyarakat Jawa di pesisir antara laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama.
Laki-laki sebagai penanggung jawab sudah semestinya mengemban tugas yang berat yaitu dengan melaut. Naluri laki-laki (yang sehat jasmani), dimanapun dan kapanpun, akan melarang istrinya untuk pergi malaut. Ketika seorang laki-laki melaut, tugas seorang perempuan menjual ikannya di pasar. Ada hubungan simbiosis dan kerjasama antara perempuan dan laki-laki.
Begitu juga kehidupan masyarakat Jawa dengan budaya tani dan perkebunan, perempuan juga memiliki andil untuk membantu suaminya bekerja di ladang. Misalnya tidak ada pembedaan keterampilan dalam menanam maupun memanen padi di sawah. Semua laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam mencari pekerjaan di sawah.
Saat ini, perempuan Jawa juga berkesempatan yang sama ikut PNS, terlibat di politik, menjadi dosen dan rektor, dan lini kehidupan lainnya. Keterbukaan kesempatan yang sama ini harus dilihat sebagai bagian dari bentuk kesetaraan. Apakah dengan fakta sosiologis di ini masih dikatakan bahwa masyarakat Jawa sangat kental dengan budaya patriarkinya?
Logika patriarki dan perempuan tersubordinasi alangkah lebih layaknya digunakan untuk menganalisis ketimpangan upah buruh di industri. Karena konteks keilmuan yang melatarbelakangi adanya teori kesetaraan itu berawal dari kesempatan kerja. Maka dari itu, teorinya juga harus digunakan untuk menganalisis budaya kerja industri. Kalau unsurnya berbeda jelas hasil analisisnya juga akan berbeda.
Saya kasih contoh lagi terkait dengan kesetaraan gender dalam aspek kepemimpinan pasca Indonesia merdeka. Mungkin seringkali kita mendengar ada orang mengatakan bahwa yang ditakutkan pemimpin laki-laki itu adalah istrinya. Pemimpin laki-laki bisa saja bersifat arogan, tegas, keras, dan otoriter, namun ia akan tunduk oleh istrinya.
Kiasan itu bukan sekedar kiasan semata. Ini menunjukkan bahwa perempuan di Jawa memiliki peran besar dalam kehidupan laki-laki meskipun ia adalah seorang pemimpin (selengkapnya lihat buku Dadi Wong Wadon, 2016).
Dalam Islam pun juga tidak ada satu klausul jelas tentang adanya perempuan dilarang untuk menjadi pemimpin. Maka dari itu, banyak ditemukan pemimpin-pemimpin di Jawa, yang notabene mayoritas muslim, bergender perempuan, baik di eksekutif, yudikatif, maupun legislatif.
Adapun hadis yang biasanya digunakan untuk melarang perempuan menjadi pemimpin itu tidak menggunakan diksi larangan. Lebih tepatnya Kanjeng Nabi Muhammad mengatakan bahwa “tidak akan beruntung suatu kaum yang mempercayakan urusan mereka kepada wanita”.
Untuk memahami hadis itu perlu melihat asbabul wurud-nya (sebab-sebab munculnya hadis) supaya tidak digunakan untuk menggeneralisir. Adapun sejarah munculnya hadis di atas karena waktu itu Persia sedang dalam kehancuran, dan raja sebelumnya menyerahkan kepemimpinan terhadap putrinya yang mana putrinya tidak memiliki kualifikasi menjadi seorang pemimpin. Ia hanya mementingkan kepentingannya sendiri daripada untuk kemaslahatan umat.
Jadi, dalam konteks ini, cukup jelas bahwa jelas yang menjadi persoalan bukan jenis gendernya tapi kualifikasi untuk menjadi seorang pemimpinnya yang harus dipertimbangkan. Ketika perempuan itu memiliki kualifikasi menjadi seorang pemimpin dan tujuannya adalah kemaslahatan umat, maka itu bukan menjadi masalah.
Kalau diandaikan lagi, ketika dalam keadaan kacau dan peperangan, semua umat muslim dibantai oleh musuh dan hanya meninggalkan seorang perempuan. Seorang perempuan ini memiliki kemampuan kualifikasi menjadi pemimpin, kalau dia tidak mengambil alih suatu kerajaan atau negara akan terjadi kekosongan kepemimpinan. Jika ada kekosongan kepemimpinan, maka menurut Ibn Taymiyyah lebih baik dipimpin oleh pemimpin dzalim seribu malam ketimbang tidak ada pemimpin dalam satu malam.
Kalau hukum perempuan dilarang sesuai nash agama, maka ia tidak bisa menjadi seorang pemimpin meskipun dalam kondisi genting sekalipun. Jika demikian yang terjadi, maka kehancuran umat muslim hanya tinggal menunggu waktu.
Maka dari itu, kesetaraan gender itu sebenarnya sudah inherent dalam masyarakat Jawa, baik Jawa era Majapahit maupun era Indonesia modern. Meski demikian, bukan berarti Jawa itu semuanya sudah setara. Tentu tidak.
Namun, beberapa fakta di atas juga harus diperhatikan bahwasannya masyarakat Jawa sudah pernah dipimpin oleh banyak figur pemimpin perempuan, dan dalam era yang sama Barat justru masih mengalami abad kegelapan.
Dari sejarah kita bisa belajar bahwa perempuan Jawa telah menorehkan tinta sebagai pemimpin yang berkualitas. Jadi, bukan persoalan gender yang menjadi persoalan, namun kualifikasi untuk menjadi seorang pemimpin yang harus diperhatikan. Kualitas dari sosok pemimpin perempuan Jawa dulu perlu kita pelajari untuk mendidik kualitas pemimpin perempuan saat ini dan di masa depan. [AA]
*Artikel ini merupakan hasil Kerjasama antara Arrahim.ID dengan Islami.co